Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 22 - 22. Nahas

Chapter 22 - 22. Nahas

"Brakkk!"

Pintu sebuah mobil pick up itu dibanting cukup keras agar dapat menutup dengan sempurna. Wanita paruh baya yang baru saja keluar dari mobil bagian depan tersebut, bergegas menuruni barang-barang miliknya yang ia letakan di bagian belakang mobil yang tidak beratap tersebut.

"Kemari," cetus Bik Arum seraya menjulurkan kedua tangan layaknya hendak menggendong anak kecil.

Seorang gadis berparas cantik nan lugu itu meraih salah satu tangan sang ibunda agar dapat mendarat dengan sempurna.

"Brukkkk."

Kedua kaki mulusnya itupun akhirnya berpijak di atas tanah, Juwita pun menyeka butir keringat di keningnya. Terik matahari siang hari cukup membakar kulitnya. Meski ia duduk di bagian belakang mobil yang terbuka hingga angin menerpa tubuhnya.

Ya, Juwita dan sang ibunda baru saja menumpang di sebuah mobil pick up milik salah seorang tetangganya. Mereka berdua tak sengaja bertemu sang pemilik mobil di pinggir jalan ketika hendak pulang usai berbelanja di pasar.

Barang-barang belanjaan milik Juwita dan Bik Arum sudah selesai diturunkan dari mobil. Bik Arum bergegas menghampiri kembali sang sopir dari jendela mobil bagian kiri bekas tempat duduknya tadi.

"Berapa ongkos yang perlu kami bayar, Pak?" imbuh Bik Arum.

Pemilik mobil yang memiliki kulit dengan warna gelap akibat sering terpapar sinar matahari itu menggelengkan kepalanya.

"Tidak perlu! Bahkan kalian berdua tidak memiliki sepeser uang pun lagi berkat pencopet brengsek itu! Sudahlah, lekas bawa barang-barang belanjaan kalian dan tenangkan pikiran kalian di rumah! Saya tidak bisa membantu apa-apa lagi selain mengantar kalian berdua pulang ke rumah. Maafkan saya," ujar sang sopir dengan raut iba.

Seketika Bik Arum menelan saliva. Kini ia tampak tengah meratapi kembali nasib naasnya hari ini.

"Begitukah? Kalau begitu saya mengucapkan banyak terima kasih. Pertolonganmu hari ini amatlah berarti bagi kami berdua. Kalau saja kau tidak menemukan kami di pinggir jalan tadi, mungkin kami baru akan sampai di rumah esok hari. Kami telah kehilangan seluruh uang kami. Tanpa kau, kami hanya akan pulang dengan kedua kaki yang lemas." Bik Arum mengiba.

Mendengar hal itu, Juwita lekas-lekas mengusap lembut pundak sang ibu.

"Ibu, sudahlah. Mari kita bergegas masuk untuk beristirahat terlebih dulu! Hari ini sudah cukup berat untuk kita!" anjur Juwita lirih.

"Ya, benar apa yang putrimu katakan. Juwita, cepatlah bawa ibumu masuk!" timpal sang pemilik mobil.

Juwita menganggukkan kepala seraya memaksakan senyumnya di tengah kekacauan hatinya saat ini, paling tidak sebagai tanda ucapan terimakasih atas pertolongan sang pemilik mobil.

"Terimakasih, Paman. Kau sudah bersedia membantu kami tanpa mengharap imbalan apapun. Sekali lagi, terimakasih." Juwita menundukkan kepalanya di akhir kalimat.

"Sama-sama, permisi." Sang sopir pun bergegas tancap gas dan berlalu dari hadapan Juwita dan Bik Arum.

"Ibu, Ayo!" seru Juwita sembari menjinjing beberapa kantong belanjaan.

"Apa yang hendak aku katakan pada nenekmu, nanti?" tutur Bik Arum pesimis.

Seketika Juwita mengurungkan langkah kakinya, kemudian menghembuskan napas pendek dan menatap lirih wajah sang ibu.

"Apa lagi kalau bukan menjelaskan yang sebenar-benarnya? Bahwa kita memang baru saja kecopetan!" sahut Juwita dengan entengnya.

Bik Arum lekas-lekas memelototi putri semata wayangnya yang lugu itu.

"Apa kau pikir berkata jujur tidak akan berdampak buruk bagi kesehatan nenekmu?" sergah Bik Arum.

"Apakah ibu pikir sejauh ini nenek masih kurang cerdik untuk mengamati setiap gerik dan tutur ibu? Bahkan nenek jauh lebih cermat dalam mendeteksi sebuah kebohongan dibandingkan dengan diriku!" sahut Juwita.

Bik Arum terhenyak untuk beberapa saat, kemudian membuang napasnya berat-berat.

"Kenapa akhir-akhir ini nasibku selalu buruk," keluh Bik Arum dengan raut putus asa.

"Ibu, setidaknya saat ini kita dapat berkumpul bersama lagi. Anggap saja bahwa hal itu merupakan satu keberuntungan yang tak ada tandingannya. Mari, cepat kita masuk!" tutur Juwita lembut untuk menguatkan sang ibu dan juga dirinya sendiri.

*****

"APAAA?"

Suara berat seorang wanita tua itu cukup menggelegar, seolah menggema di setiap sudut rumahnya. Bahkan, mungkin saja suara tersebut menembus lubang-lubang pentilasi hingga sampai ke telinga para penghuni rumah-rumah yang lainnya.

Tak hanya itu, kedua bola matanya pun membulat dengan sempurna. Seolah ia hendak menerkam dua orang perempuan yang tengah duduk di hadapannya.

"Bagaimana bisa hal itu terjadi? Juwita, cucuku, apakah kau tidak bisa menjaga dan mengawasi wanita tua ini?" oceh Nenek Sari penuh emosi.

Juwita mengangkat wajah cantiknya yang sedari tadi tertunduk lesu. Ia dan sang ibunda duduk bersebelahan di ruang tamu, menghadap seorang wanita tua renta yang duduk di hadapannya.

"Aku sudah berupaya semampuku, namun terkadang seorang pencuri handal memiliki keberuntungan sementara korban hanya tertimpa kemalangan. Kejadiannya begitu cepat, aku kehilangan jejak dalam satu kedipan mata." Juwita menjabarkan nasib naas yang baru saja menimpa dirinya dan juga sang ibunda sewaktu di pasar tadi.

"Baiklah kalau begitu, anggap saja kita memang sedang membuang sial. Tetapi, paling tidak, kau sudah menyisihkan sebagian uangmu di rumah, kan?" cecar Nenek Sari lagi.

Bik Arum seketika tercengang, ia tak tahu harus berkata apa. Ia berpikir bahwa apapun yang akan ia jelaskan saat ini, seolah hanya untuk menembakkan peluru pada dirinya sendiri. Bik Arum masih tertunduk lesu menyesali kebodohan dirinya sendiri. Hingga beberapa detik berlalu, ia bisa mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan Nenek Sari.

"Tidak," gumam Bik Arum seraya menggelengkan kepala.

Dengan cepat Juwita menoleh ke arah sang ibu yang duduk di sebelahnya, memandangi wajahnya lekat-lekat dengan raut takjub. Tak kalah takjubnya dengan nenek tua berambut putih di hadapannya itu.

"A-apa?" sahut Nenek Sari begitu pelan, seolah ia tidak lagi memiliki tenaga untuk menginterogasi anaknya itu.

Seketika Nenek Sari menyandarkan tubuhnya yang lemas di bangku tempat duduknya. Juwita pun bergegas pindah pada bangku di hadapannya untuk menghampiri sang Nenek yang nyaris pingsan. Sementara Bik Arum hanya terperanjat namun tetap bertahan di tempatnya.

"Nenek, kau baik-baik saja?" tandas Juwita memastikan seraya memegangi bahu sang nenek.

"Ibu, maafkan aku," rintih Bik Arum seraya menitikan air mata.

"Ibu, Nenek, sebaiknya kita sudahi pembicaraan ini. Ibu dan Nenek perlu beristirahat sekarang juga," anjur Juwita berupaya menengahi.

"Bagaimana bisa aku beristirahat sementara nasib keluarga ini sedang terancam?" imbuh Nenek Sari risau.

Bik Arum hanya menundukkan wajahnya yang kini banjir air mata. Ia merasa amat bodoh, telah menghancurkan nasib keluarga kecilnya dalam sekejap mata.

"Nenek, tidak perlu memikirkannya terlalu berat. Paling tidak kita masih bisa membawa pulang barang belanjaan kita dengan utuh. Kita masih memiliki modal utama untuk membuka usaha kue kecil-kecilan. Aku yakin hasil berjualan kue dan donat nanti akan cukup untuk sekedar menyambung hidup kita," pungkas Juwita membesarkan hati sang nenek maupun sang ibu.

"Yang kupikirkan saat ini bukanlah soal perut. Aku tidak keberatan bila harus menahan rasa lapar. Aku sudah renta dan mungkin tidak lama lagi akan tutup usia. Yang kupikirkan saat ini adalah bagaimana nasib masa depanmu kelak. Setelah ibumu baru saja melenyapkan tabungan pendidikanmu itu," papar Nenek Sari lirih.

Juwita tersenyum getir, memandangi wajah renta sang nenek yang begitu menyayanginya.

"Nenek, Ibu, tidak perlu memikirkan soal nasibku kelak. Yang terpenting saat ini adalah aku hidup bahagia hanya dengan kehadiran kalian berdua. Soal masa depanku nanti, aku akan terus berusaha semampuku." Juwita pun memeluk hangat tubuh renta sang nenek.

Nenek Sari menyambut hangat pelukan cucunya tersebut, ia membelai lembut lengan Juwita.

"Hhh, ya, satu hal yang perlu aku dan ibumu ingat, bahwa kami tidak kehilangan harta paling berharga yang sesungguhnya, yaitu dirimu!" timpal Nenek Sari.

*****