Kina menghembuskan napasnya pelan. Gadis itu berdiri dengan posisi kedua siku tangan yang bertopang pada ketinggian meja bar di depan dapur. Kina hanya merasa lelah saja karena memang sudah melakukan banyak aktivitas seharian tadi. Mencuci pakaiannya, membereskan dapur setelah Likha memasak tadi siang, lalu menyapu area depan kamar yang dihuni para cewek. Maklum saja karena ditempati banyak orang, jadi setiap hari harus disapu sendiri.
Tap!
Satu tepukan pelan dirasakan Kina di bahu kirinya. Berasal dari tangan Felicia, gadis yang tampak sederhana malam ini dengan gaya rambut memakai jedai.
"Lo ngapain bengong? Jangan bengong sendirian." Ujar Felicia perhatian.
"Hehe, cuman capek aja. Gue gak ikutan masak boleh gak? Ya giliran dong, tadi siang kan gue udah di dapur sama Likha. Hmm, capek aja sih." Kata Kina jujur. Badannya merasa sedikit pegal-pegal dan tenaganya semakin berkurang.
Gadis itu tidak sadar saja bahwa ia memang langsung tidak enak badan ketika setelah bertemu dan berbincang dengan wanita blasteran tadi. Jadi Kina hanya memperkirakan bahwa tubuhnya lelah karena banyak kegiatan.
Felicia mengangguk. "Iya gue ngerti. Biar gue sama Andrea yang siapin makan malam kali ini. Itu Likha juga cuman nyiapin nasi aja. Hahaha yang santai dong Kin, gak mungkin gue sama Andrea gak mau bergilir nyiapin masak."
Mendengar jawaban itu Kina pun nyengir. Sorot kedua matanya semakin sayu, seperti orang yang mengantuk.
"Ada apa sih nih? Ribut?" Tanya Ryan yang tiba-tiba muncul dan menimbrung.
Otomatis Felicia yang rishi dengan kehadiran sepupunya itu berdecak pelan. "Apaan sih lo. Dateng-dateng cuman penasaran aja. Bantuin noh sesekali ikutan nyiapin makan malam. Toh lo juga ikutan nelen makanannya!!" Serunya ketus.
Ryan yang pembawaannya tengil dan santai itu nyengir. "Hehe iya iyaa Fel. Ini gue juga mau jadi pahlawan kesiangan. Mau bantuuuu etdah. Butuh bantuan apaan sih? Sini gue jabanin deh. Kasian juga lihat kalian pada murung di dapur." Ujarnya dengan diselingi gelak tawa, seraya menggulung lengan kaos panjangnya sampai ke siku.
Kina terkekeh saja melihat kelakukan Ryan, sedangkan Felicia tetap menganggap serius. "Udaahh.. gitu-gitu Ryan dateng bantuin kan." Cetusnya.
Felicia menoleh lagi pada Kina. "Emang kadang pinter kadang o'on tuh anak. By the way, ada ide masak gak? Tadi siang kan juga lo yang nyaranin menu."
"Hmmm, gimana kalau goreng sosis jumbo aja? Di freezer kan masih ada dua pack tuh. Gorengnya sembilan aja, dipres sama jumlah orang. Lauk lainnya bikin ayam mentega aja, gampang prosesnya."
Mendengar saran itu, Felicia tersenyum dan mengangguk. "Oke deh, gue ambil saran lo. Ya udah kalau capek, mending lo ke atas aja dulu. Nanti kalau udah mateng, gue panggil lo."
Kina tersenyum. "Oke deh Fel, thank you ya…"
"Sama-sama… jangan dipaksain kalau capek. Kita di sini mau liburan, bukan nyari stress, hahahaha…"
***
Saat Kina baru saja menapakkan kedua kakinya di lantai dua, ia sudah dikagetkan dengan Alan yang berdiri di belokan dinding. Apalagi pria itu mengenakan t-shirt warna putih dan celana jogger abu muda. Hampir saja Kina mengiranya hantu.
"Alan ih!! Kamu ngapain di sini?" Tanya Kina sambal menepuk pelan lengan kanan pacarnya.
Alan terkekeh dan langsung menarik Kina dalam rengkuhannya. Menyudutkan gadis itu ke dinding. "Ssstt…jangan keras-keras. Aku ke sini nyuri-nyuri waktu tauk. Pengen juga berduaan sama kamu sebentar."
Langsung saja Kina tersipu, kedua pipinya agak kemerahan dan menunduk malu.
"Kamu nggak masak sama yang lain hm?" Tanya Alan sembari menyibak rambut samping Kina yang hampir menutupi sudut mata.
Kina menggeleng. "Capek, jadinya naik ke sini karena kepingin istirahat aja sebentar."
"Kamu sakit sayang?"
"Eh, nggak kok Al. Gak tahu aja badan tiba-tiba pegal-pegal gitu."
"Agak stress itu. Mau aku sembuhin nggak?" Tanya Alvan dengan senyum penuh maksud.
Kina terkekeh geli. "Gimana caranya? Jangan aneh-aneh ya kamu." Ujarnya seraya menoel pelan ujung hidung Alan yang mancung itu.
"Caranya gini…"
Cup!
Kecupan singkat Alan daratkan pada bibir kekasihnya. Membuat Kina langsung tersenyum malu.
Dan di detik selanjutnya, gadis itu seolah juga menginginkan. Membuat Alan melanjutkan aksinya dengan memberikan pagutan yang lembut dan tidak memburu. Keduanya larut di kesempatan dalam kesempitan. Mencuri-curi waktu agar bisa merasakan manisnya bibir meski hanya sejenak.
Masih saling tertaut bibir, mereka tidak menyadari bahwa pintu kamar lain yang berada di lantai dua itu berderit. Terbuka sedikit, padahal kamar itu kamar kosong yang terkunci.
Hal itu tidak segera menyadarkan sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Dan selanjutnya… PRANG!!
Bunyi benda yang jatuh dan pecah itu langsung membuat tautan bibir keduanya terpisah begitu saja. Kina dan Alan dalam posisi yang masih saling merengkuh itu langsung menoleh pada sumber suara.
Brak!!
Pintu kamar kosong yang terbuka pelan tadi, tiba-tiba tertutup kembali. Membuat sepasang mata bulat Kina melotot karena takut, dan melepaskan kedua tangannya yang berkalung pada leher Alan.
"Al, kamu lihat kan?"
Alan mengangguk dan menelan salivanya. Ia langsung menggenggam tangan kanan Kina untuk ia ajak berjalan mendekati sumber suara benda jatuh tadi. Mengabaikan pintu kamar kosong.
Di lantai dua itu setelah lorong kamar dan toilet, memang jika berjalan lurus akan mendapati area santai seperti ruang tamu namun tidak terlalu luas seperti ruang tamu. Mungkin ruang santai itu digunakan untuk mengobrol dengan keluarga dan menghadap ke arah balkon sambal menikmati udara.
"Lampu nakas yang jatuh." Ujar Alan.
Kina diam saja dengan menggigiti bibir bawahnya. "Serius cuman itu? Pintu kaca balkon itu aja gak pernah ada yang buka, otomatis juga nggak ada angin dong Al. Masa jatuh gitu aja?" Tanyanya risau.
"Udah jangan terlalu takut. Mungkin karen cicak atau apa. Biar aku yang beresin sama Alvin atau Leo nanti. Ada pecahan kacanya soalnya."
Kina mengangguk dan tetap merengkuh siku tangan Alan karena takut. "T-terus pintu kamar kosong itu kenapa ya?"
"Angin mungkin."
"Nggak mungkin!! Itu setahuku dikunci kok. Please, sekarang aku takut banget." Keluh Kina yang kedua matanya sudah berkaca-kaca.
Alan menyentuh punggung tangan kekasihnya. "Hei… nggak perlu takut. Nggak ada apa-apa, oke? Kan ada aku sama yang lainnya. Kalau gitu sekarang kita turun lagi yah. Duduk-duduk di bawah sama yang lain aja, sambal nonton televisi." Bujuknya lembut.
Kina pun mengangguk. "I-iya deh." Balasnya mengalah. Tiba-tiba juga, ia merasa rasa pegal-pegal di bagian punggungnya mereda begitu saja. Padahal ia belum sempat istirahat di kamar. Oh, jangan-jangan ciuman kekasihnya memang seampuh itu? Ups.
"Vin!! Leo… atau siapa deh terserah. Ikut gue beresin di atas yok. Ada benda yang pecah." Seru Alan setelah ia dan Kina sudah kembali ke lantai satu.
Yang namanya merasa disebut, langsung menoleh ke sumber suara. Alvin duluan yang menyahut. "Kenapa bisa ada yang pecah?" tanyanya serius.
Sedangkan Leo tersenyum miring sambal mengunyah snacknya. "Kalian habis ngapain di atas? Sampe ada yang pecah gitu. Aseekk… hahahaha. Itu juga gandingan terus kagak dilepas-lepasin." Serunya dengan menyemburkan gelak tawa.
Membuat Kina gugup dan mengusap tengkuknya. Dan ia langsung melepaskan tangannya dari genggaman hangat Alan.
Yang lain juga langsung nyengir karena perkataan Leo.
"Jangan pada bercanda!! Gue serius ini. Lampu nakas yang jatuh, bahan bawahnya keramik. Jatuh gitu aja, mungkin karena ditaruh terlalu minggir." Ujar Alan yang ternyata serius.
Langsung yang bangkit berdiri adalah Alvin. "Gue yang bantu lo." Serunya menawarkan diri, dengan raut wajah yang serius.
*****