Mas Hendra sibuk dengan ucapannya sendiri. Seolah buta kalau aku sedang tak dalam kondisi yang bisa dengan senang hati meladeni ucapannya yang tak penting itu.
Haduuuh, ingin mengelus dada rasanya aku. Mas Hendra ini jadi suami minta dihujat banget! Bikin dosaku makin bertambah saja!
"Aku bisa menjaga penampilan dan mengurus badan. Nggak kayak kamu, Ran. Setelah menikah, bukannya tambah terurus, kok kamu malah tambah hancur, Ran?" cetus Mas Hendra lagi nggak pakai otak.
ASTAGA! Rasanya ingin kubanting kuali ini ke arahnya! Memangnya gara-gara siapa sampai aku tidak terurus seperti ini??
Dan juga, memangnya gara-gara siapa dia masih tetap terurus begitu??
Kalau tidak ingat dosa, pasti sudah kuajak ribut Mas Hendra ini. Aku pun berusaha menyabarkan diri dengan sesabar-sabarnya.
"Kalau suami ngajak ngomong itu, nyahut apa, Ran. Ini malah dicueki aja. Dosa nanti kamu!" sungut Mas Hendra kemudian.
Menahan gemuruh di dada, aku membalas, "Aku sibuk, Mas! Sana kamu cepat pergi saja ke masjid."
Tak kutoleh ia sedikit pun. Fokus saja aku ke gorengan di kuali. Aku takut kalau menatapnya, bisa-bisa emosiku membuncah dan malah membuat perang terjadi di rumah ini.
"Iya ya. Kenapa aku malah ngajak kamu ngomong? Ya udah, aku pergi dulu, Ran. Asalamualaikum!"
Baru saja aku ingin menjawab salam, suara tangisan Kanisa dari kamar tiba-tiba terdengar.
Aku yakin Mas Hendra juga mendengarnya. Namun, bukannya dengan cepat menghampiri Kanisa, Mas Hendra malah berlalu begitu saja melewati kamar dan makin berjalan ke ruang depan. Sama sekali tak peduli pada tangisan Kanisa yang melengking itu!
"Ran! Itu anak kamu nangis jangan lupa diurusin. Jangan ngurusin pempek melulu," cetus Mas Hendra sambil tetap berjalan ke depan.
"Mas! Jangan pergi dulu! Diamkan dulu Kanisa, Mas!" teriakku sambil sibuk mengangkat gorengan pempek.
Tapi Mas Hendra pura-pura budek!
"Mas Hendra, Kanisa na—aw!" Panggilanku berganti menjadi pekikan sakit saat tanganku terkena cipratan minyak panas. Akibat buru-buru.
Namun, tetap saja, tak sedikit pun Mas Hendra bergerak untuk membantuku! Ia lanjut saja dengan kegiatannya sendiri. Keluar rumah dan menutup pintu dengan suara cukup keras.
Padahal anaknya menangis dan istrinya terluka! Sibuk mau mengejar ibadah di masjid, tapi lupa pada ibadahnya di rumah untuk mengurusi anak dan istri. Dasar Mas Hendra! Kalau saja aku punya kekuatan super bisa memanjangkan tangan, pasti sudah kutarik Mas Hendra kembali agar mengurusi dulu anaknya yang menangis itu!
***
Hendra POV
Aku sudah berkali-kali menahan kuap selama mengikuti doa-doa dan tasbih di masjid. Tadi saat salat pun, nyaris saja aku menguap lebar-lebar jika tak cepat menutup mulut rapat-rapat.
Ck. Ini semua gara-gara Ranti.
Gara-gara Ranti yang tak becus mendiamkan Kanisa tadi malam, aku jadi susah untuk tidur nyenyak. Sudah capek-capek kerja seharian, eh ketika pulang ke rumah, mau istirahat saja susah.
Dia tidak tahu apa kalau membawa mobil mengelilingi kota itu capeknya setengah mati. Cuma bisa duduk di dalam mobil mengharapkan ada pesanan online penumpang yang masuk. Mana pula ada pandemi, makin sepilah penumpang yang masuk dalam orderanku.
Lagi. Sekali lagi aku menahan kuap. Mataku pun rasanya berat. Segera aku usap-usap sampai terasa perih.
Gara-gara Ranti dan Kanisa pula, aku sampai melewatkan salat tahajud. Ranti tidak membangunkanku! Dasar istri yang tak peduli pada ibadah suaminya.
Aduh dasar Ranti ini. Menghambat ibadahku saja. Harusnya tadi dia membangunkanku dengan sungguh-sungguh sampai aku terbangun, bukannya malah sibuk saja mengurusi pempek baunya itu. Dia jauh lebih mementingkan pempek dibandingkan suaminya sendiri.
Harusnya, kalau Ranti tidak bisa mengikuti ketaatanku dalam beribadah, setidaknya dukunglah aku. Ini bukannya mendukung, malah menghambat.
Dasar Ranti itu. Aku yakin kalau dia di rumah pasti tak sempat salat Subuh. Hanya sibuk mengurus jualan pempek tak seberapa itu. Menambah dosaku saja. Nanti bagaimana tanggung jawabku pada Tuhan kalau istriku tak rajin salat? Ck. Menyebalkan.
Harusnya Ranti itu merasa bersyukur mempunyai suami yang tahu beribadah seperti diriku ini. Sesibuk-sibuknya aku bekerja, aku masih tetap menyempatkan diri untuk beribadah. Tak pernah lupa untuk salat.
Coba lihat lelaki di luaran sana. Jarang yang seperti diriku ini. Lihat saja di masjid sekarang ini. Nyaris tidak ada pemuda yang salat berjemaah di masjid. Bapak-bapak pun kebanyakan langsung pergi setelah salat. Hingga selain diriku, hanya tersisa para tua bangka di sini.
Lihat kan? Aku sungguh kepala keluarga yang saleh.
Bodoh Ranti kalau tak mengikuti jejakku dalam beribadah. Sudah ada orang yang siap membimbing ke surga, eh malah ia sibuk dengan urusan dunia yang hanya fana.
Beberapa lama kemudian, selesai sudah kegiatan di masjid ini. Para bapak-bapak pun saling bersalaman dan bersiap keluar masjid. Termasuk aku. Aku tentu merasa bangga karena selalu mengikuti kegiatan di masjid sampai benar-benar selesai.
Ketika telah keluar dari masjid, aku berpapasan dengan Bu Hamidah, mertuanya pak RT.
"Wah, Nak Hendra rajin sekali setiap subuh selalu di masjid."
Aku membusungkan dada jumawa. "Iya, Bu, biar siap menjemput rezeki, hehe."
"Beruntung sekali Nak Ranti punya suami seperti kamu. Tidak seperti menantu saya tuh. Nyaris tidak pernah ke masjid, sibuk saja bekerja. Kasihan anak saya bagaimana nanti di akhirat. Ah, seandainya saja saya juga punya menantu seperti Nak Hendra, saya pasti akan tenaaang sekali meninggalkan anak saya bersama Nak Hendra," ucap Bu Hamidah memujiku.
Tingkat kebanggaanku tentu makin melesat tinggi. Tuh, dengar sendiri kan? Aku ini adalah menantu idaman. Banyak orang tua yang merasa rugi karena tak mendapati anak mereka menjadi istriku. Sungguh Ranti adalah orang yang beruntung.
Saleh, tampan, postur badan tetap bagus meski sudah punya anak, punya rumah meski pemberian orang tua, punya mobil meski menyicil, pekerja keras.... Sungguh paket lengkap diriku ini. Beruntung sekali Ranti mendapatkan aku sebagai suami. Tidak seperti diriku yang merasa apes mendapatkan Ranti sebagi istri.
Tadi saat sebelum berangkat ke masjid, aku memperhatikan penampilan Ranti dari atas ke bawah. Berbeda denganku yang sudah mandi dan rapi wangi siap ke masjid, Ranti tadi malah mengenakan daster kumel compang-camping dan keringat yang membanjiri tubuhnya.
Ugh. Dasar Ranti tak tahu bagaimana caranya menyenangkan suami. Harusnya ia berdandan dulu saat melek mata. Toh, menyenangkan pandangan suami adalah pahala kan? Begitu saja Ranti tidak tahu.
"Nak Rantinya tidak sekalian diajak ke masjid, Nak Hendra?" tanya Bu Hamidah kemudian.
"Tidak, Bu. Sesungguhnya kan sebaik-baiknya ibadah perempuan adalah ibadah di rumah saja," jawabku menjelaskan.
Lagi pula, malu-malui saja kalau Ranti berkeliaran di luar rumah dengan tampilan compang-samping seperti itu. Bisa mencoreng harga diriku sebagai suami. Bisa-bisa aku dikatai orang-orang tak bisa mengurus istri dengan baik. Padahal dasar Ranti saja yang malas mengurus badan.