Ketika Fei dan Ren sedang berbincang di kamar, tiba-tiba muncul Nai, sepupu Fei, membuka pintu kamar dan memergoki adanya Ren di dalam sana. Nai segera memanggil ibu dan ayahnya untuk mengadukan Fei yang dituduh memasukkan lelaki ke kamar.
Ternyata paman Win dan bibi Wen adalah orang yang tidak sayang pada Fei, terbukti dari sengitnya bibi Wen menuduh Fei. Belum lagi si paman yang sepertinya takluk ke istrinya dan tidak berusaha membela Fei.
Nai memprovokasi agar Fei diusir saja dari rumah mereka ketimbang menjadi aib dan pembawa sial. Bibi Wen masih menimbang-nimbang karena ternyata selama ini Fei di rumah itu dijadikan layaknya pembantu.
Saat mereka sedang sibuk menuduh Fei, terdengar suara berwibawa, "Apakah kalian sudah selesai?" Ren menginterupsi percakapan ibu dan anak.
Bibi Wen, Paman Win, dan Nai segera menoleh ke Ren.
"Kau! Siapa kau! Kenapa pakaianmu aneh, setengah telanjang begitu?" Paman Win memulai interograsi disertai mata melotot. Saat ini, Ren memang masih memakai pakaian dia dari era dulu. Bertelanjang dada dan hanya memakai celana kain dengan bordiran emas di bagian ujung dan kain batik melilit di pinggang.
Sebenarnya, pakaian terakhir Ren tidak seminimalis itu. Masih ada selendang batik yang dijadikan kain selempang di dada, dan ada pula mahkota kepangeranannya beserta selop kain berhias bordiran dari benang emas asli. Namun itu semua menghilang di lorong waktu saat tubuh sang pangeran diputar-putar di portal sebelum mendarat di tahun 2022.
Maka dari itu, yang tersisa darinya hanyalah celana panjang kain hitam dan kain batik di pinggang, sehingga dia memang terlihat makin mencurigakan ketika berada di kamar seorang gadis lajang.
"Pih, pasti mereka baru saja melakukan hal bejat!" bakar Nai sambil mencibir ke Fei, sepupunya.
"Bukan begitu, Paman!" Fei menggeleng berulang kali, wajahnya terlihat putus asa, tak tahu harus menjelaskan dengan cara bagaimana, karena tuduhan mereka semua keliru.
"Berani sekali kalian menudingkan tuduhan keji kepadaku!" Marah atas fitnahan sepihak dari keluarga paman, Ren maju dan matanya menyalakan aura murka.
Paman Win segera mundur selangkah ketika Ren mengkonfrontrasi dia begitu, Beliau seakan melihat mata Ren bersinar meski sepersekian detik. Ada semacam gentar menyelip di hati Beliau.
"Heh! Memangnya kau pikir kau siapa?!" hardik bibi Wen dengan mata melotot ke Ren sembari busungkan dada dengan sikap pongah.
Mulut Ren berkomat-kamit cepat dan tangannya mengibas ke bibi Wen. Segera saja, bibi Wen tak bisa lagi berkata-kata dan hanya mengeluarkan suara "Aaghh … haarghh … uugghh … haakkhh …."
Suami dan putrinya tentu saja sangat terkejut melihat bibi Wen secara mendadak menjadi bisu dan gagu.
"Mih! Kamu kenapa, Mih?" Paman Win panik menanyai istrinya, namun bibi Wen masih menjawab dengan kata-kata gagu beserta sikap gusar.
"Mamih, kamu kenapa jadi begini?" Nai tak kalah panik dengan ayahnya. Lalu dia beralih ke Ren dan berkata sengit, "Kau! Kau apakan mamih aku? Aku akan lapor polisi dan kau akan dipenjara!"
Swaapp!
Tangan Ren sekali lagi mengibas, kali ini ke Nai. Sama seperti ibunya, Nai pun menjadi gagu, tak bisa bicara normal.
"Nai!" Mata paman Win mendelik terkesiap melihat putrinya juga bernasib seperti istrinya. Beliau langsung menyadari bahwa Ren bukan orang biasa. Tidak berani bertingkah kasar seperti istri dan putrinya, dia menoleh ke Ren sambil mengiba, "Tuan, tolong kembalikan mereka agar bisa bicara lagi, Tuan, aku mohon …."
Ren membuang pandangan dari paman Win yang mengiba. "Salahkan saja mereka yang tak bisa menjaga mulutnya. Kalau kau tidak bisa menertibkan mereka, maka biar aku saja yang melakukannya."
Cemas jika istri dan anaknya akan bisu gagu selamanya, paman Win sampai rela bersujud di depan Ren, makin mengiba dengan wajah memelas, "Tuan besar, aku mohon ampuni mereka. Tolong berbelas kasih pada mereka, Tuan besar."
Bibi Wen dan Nai melotot kaget melihat tindakan paman Win, mereka memegang lengan paman Win dengan tatapan protes. Namun, alih-alih paman Win takut pada mereka berdua, dia kini lebih takut pada Ren. Dia segera menarik turun tangan istri dan putrinya, memaksa keduanya ikut berlutut seperti dia. "Mamih, Nai, cepat memohon ke Tuan Besar agar menyembuhkan mereka. Ayo!"
Sebenarnya bibi Wen dan Nai ingin protes, tapi mereka sadar mereka akan susah dan malu jika menjadi orang bisu gagu begini. Mereka selalu menjunjung harga diri mereka sendiri dan tak ingin terlihat memiliki cacat apapun di depan warga sekitar.
Dikarenakan mengharapkan kemampuan bicara mereka kembali pulih, tak ada opsi lain selain menjatuhkan lutut mereka di depan Ren. Suara gagu mereka bersahutan dengan kalimat memohon paman Win.
Ren melirik ketiga orang yang kini berlutut mengiba padanya. "Andai kalian tidak bermulut kotor dan menuduh sembarangan, aku tak perlu melakukan hal keji seperti itu ke kalian."
"Maafkan kami, Tuan Besar … maafkan kami yang sudah salah ini, tolong ampuni kami … ampuni anak dan istriku, Tuan Besar …." Paman Win terus berusaha memeras air matanya agar keluar meski tak berhasil. Sebaliknya, istri dan anaknya sudah bisa meluruhkan air mata mereka lebih lancar.
"Aku ingin lihat dulu bagaimana kelakuan kalian setelah ini. Jika aku lihat kalian masih bertindak sewenang-wenang pada Fei atau orang sekitar kalian, maka silahkan nikmati saja kebisuan kalian selamanya," ancam Ren. Dia sudah memiliki gambaran besar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, yaitu penindasan mereka bertiga terhadap Fei.
"Kami berjanji, Tuan Besar! Kami akan bersikap baik!" Paman Win mewakili anak dan istrinya. Bibi Wen dan Nai mengangguk-angguk cepat bagai ayam mematuk makanannya.
Fei menghampiri Ren dan berkata pelan, "Anu … Mas Ren … sudah, jangan begitu pada mereka." Ia jadi tak tega sendiri melihat bibi dan sepupunya menjadi gagu. Dari sorot matanya, jelas dia berempati pada mereka berdua.
"Kau ini!" Ren melirik tajam Fei. "Bukankah mereka sangat jahat padamu? Untuk apa mengasihani mereka?" Ren sebagai pangeran sudah merasakan bagaimana rasanya sakit ketika ditusuk dari belakang oleh orang-orang terdekatnya.
Seperti apa dia menyayangi adik tirinya, Rajendradiatama? Sangat sayang dan sering berbagi barang yang dia terima dari ayahandanya ke adiknya itu.
Seperti apa dia menghormati ibu selir Asmitadahayu? Sangat menghormati, layaknya dia menghormati ibunya sendiri, Permaisuri Nindirawardhani.
Tapi nyatanya, apa yang sudah mereka lakukan pada keluarga tercintanya? Begitu kejam. Oleh karena belajar dari pengalamannya sendiri, Ren tidak ingin mengasihani orang yang berlaku kejam terhadap keluarganya sendiri.
Kalau memang menurutnya tindakan keluarga paman Win sudah keterlaluan pada Fei, apa salahnya jika dia membalaskannya untuk Fei?
Ini karena Ren memiliki dugaan bahwa sikap lemah dan penakut Fei sejak mereka bertemu adalah hasil dari penindasan mental dan fisik yang diberikan orang-orang sekitarnya terhadap gadis itu.
Sepertinya Ren harus mengajari Fei bagaimana menjadi kuat secara mental dan fisik setelah ini.