Malam bulan purnama adalah salah satu momen yang sangat dinanti-nantikan oleh banyak orang, khususnya kalangan anak-anak. Orang-orang di Desa Ngasem sering menyebutnya sebagai malam padang bulan, di mana bulan pada malam itu berbentuk lingkaran sempurna dengan cahaya lebih terang dari biasanya. Sebulan sekali mereka bisa menikmati malam padang bulan, sehingga mereka seringkali menikmati momen pada malam tersebut hingga larut malam.
Terbatasnya lampu membuat suasana lingkungan terlihat lebih terang karena adanya pantulan cahaya dari bulan. Sebagian orang di Desa Ngasem masih banyak yang menggunakan damar ceplik sebagai pengganti lampu maupun lilin. Damar ceplik itu terbuat dari botol bekas yang diisi sumbu dan minyak tanah maupun solar. Pada bagian tutupnya dilubangi untuk tempat sumbu. Pada sumbu itulah nantinya akan dibakar, sehingga menghasilkan api yang cukup tahan lama.
Lapangan terlihat ramai dipenuhi anak-anak yang sedang bermain dan beberapa remaja nongkrong di pinggir lapangan sambil menyanyikan lagu Padang Bulan dengan diiringi musik dari gitar dan tepukan tangan. Mereka akan menghabiskan waktu dengan kesenangan tanpa membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Canda Tawa mereka menyambut datangnya bulan yang sempurna dengan suka ria karena mereka tidak akan menyia-nyiakan pada momen tersebut.
Ayo kita mainan petak umpet!" Ajak Asep. Dia adalah salah satu anak dari kalangan keluarga berada di Desa ngasem. Setiap kali dia mengajak teman-teman, pasti semuanya akan ikut. Mungkin karena dia memiliki banyak uang, sehingga banyak anak yang mau berteman dengannya.
"Ayo!" Seru anak-anak kecil yang ada di sana.
Ada 10 anak yang langsung membentuk barisan melingkar, mereka terdiri dari 6 anak laki-laki dan 4 anak perempuan. Permainan tersebut hanya diminati beberapa anak saja karena untuk anak usia di bawah 4 tahun tidak diperbolehkan ikut. Bukan karena pilih kasih, hanya saja mereka tidak ingin menanggung resiko karena bermain petak umpet itu membutuhkan mental pemberani.
"Kita pakai hompimpa saja, yang beda sendiri itulah yang jaga biar nggak kelamaan," ujar Surya.
"Oke," sahut Dimas.
Tangan mereka bertumpuk dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Secara bersama-sama mereka mengucapkan kata, "Hom-pim-pa!"
Pada kata 'pa' masing-masing dari mereka memperlihatkan salah satu telapak tangan, baik bagian atas maupun bawah. Dari kesepuluh anak ada salah satu yang berbeda, yaitu Anes. Oleh karena itu, dialah yang nantinya akan berjaga dan mencari teman-temannya yang bersembunyi di segala tempat. Tiba-tiba tubuh dia merinding saat hembusan angin menusuk pada setiap pori-pori.
"Anes yang jaga, nanti dihitung sampai sepuluh saja, Nes, agar nggak kelamaan!" Pinta Asep.
"Sebentar!" Anes menatap kedua tangannya secara bergantian. "Kenapa bulu kudukku meremang ya? Aku merasa ada yang aneh, bagaimana kalau kita bermain yang lain saja?"
"Ah itu sih alasan kamu saja karena nggak mau jaga, aku yakin pasti kamu takut ya? Kalau takut lain kali nggak usah ikut main, bikin kelamaan saja dan gayanya sok berani," ejek Sindi.
"Teman-teman, coba lihat benda itu!" Teriak Asep menunjuk sebuah benda terbang di langit. Semua orang yang berada di lapangan langsung menatap benda tersebut.
"Aku merasa tidak asing dengan benda itu, bentuknya seperti keris, tapi aku nggak tahu namanya. Aduh, kenapa aku jadi merinding gini?" Tanya Sindi pada dirinya sendiri seraya memegang kedua tangannya. Mungkin karena bulu kuduknya ikut meremang.
"Itu gaman," sahut Tejo tiba-tiba.
"Gaman?" Gumam Surya.
"Iya, kata bapak aku, gaman itu benda yang sering terbang pada malam padang bulan. Bendanya memang menyala dan berbentuk seperti keris maupun tombak," jelas Tejo.
"Tapi tadi yang terbang itu warnanya--"
"Surya! Anes! Pulang sekarang!" Perintah Siti secara tiba-tiba, orang tua Surya dan Anes, sehingga membuat teman-teman Surya merasa sedikit terkejut. Siti memiliki sebelas anak, 4 anak sudah meninggal dan 7 anak masih hidup karena hidup di zaman tradisional belum ada program keluarga berencana, sehingga rata-rata warganya memiliki banyak anak.
Surya langsung bangkit dan menggandeng tangan Anes sebelum Siti marah kepadanya. Dia berkata, "Teman-teman, Aku pulang dulu ya. Ayo, Nes!"
"Iya, Sur. Hati-hati di jalan!" Jawab teman-temannya secara bersamaan.
Anes adalah adik Surya yang kedua, dia berumur 8 tahun. Nasib dia seperti Surya yang terpaksa keluar dari sekolah, cuma bedanya dia keluar ketika duduk di bangku kelas 1, sedangkan Surya terpaksa keluar dari sekolah ketika duduk di bangku kelas 4 karena harus membantu ekonomi keluarga. Mereka berdua seringkali minder dengan ejekan teman-temannya, tapi mereka hanya pasrah karena apa yang dikatakan mereka itu memang benar sesuai dengan kenyataan.
Bayangkan saja, sepatu untuk sekolah saja tidak punya, tas tidak punya, hanya plastik hitam yang mereka gunakan untuk tempat membawa buku ke sekolah dan sandal apa adanya sebagai alas kaki. Seragam memakai bekas dari tetangga dan yang paling parah, penghapus saja tidak punya, mereka hanya menggunakan air liurnya untuk menghapus goresan pensil yang salah di buku tulis. Sudah pasti itu akan membuat dirinya minder bukan? Bahkan tak cukup dengan ejekan saja, terkadang ada beberapa teman yang membully sampai menyakiti fisiknya.
"Kamu itu gimana sih? Sudah tahu ngajak main Anes, malah nggak ingat waktu, dia itu anak perempuan Surya. Anak perempuan nggak pantas pulang malam. Kamu tahu sendiri kan kalau setiap malam kampung ini sangat gelap karena minim penerangan dan ingat bahwa malam itu banyak setan yang berkeliaran. Kamu mau kalau adikmu diculik Wewe Gombel?!" Omel Siti di sepanjang jalan.
"Iya, Bu. Aku minta maaf," ucap Surya sambil menundukkan kepala. Mau memberikan alasan apapun hanya akan sia-sia saja karena Siti tidak akan peduli dan tidak suka jika anaknya banyak yang alasan.
"Wewe Gombel itu apa, Bu?" Tanya Anes.
"Wewe Gombel itu setan yang memiliki payudara besar. Memangnya kamu mau diculik dia, kemudian disembunyikan ke dalam payudaranya itu?" Tanya Ibu.
"Nggak ah, aku takut."
Kini mereka berdua telah sampai di dalam rumah. Surya segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang terbuat dari lempengan kayu panjang bekas yang disusun secara berjajar seperti bentuk ranjang pada umumnya tanpa kasur hanya tikar jenis samak yang digunakan sebagai alas di atas ranjang, itu pun ranjang dari hasil buatan Sholeh, ayah Surya. Satu ranjang tersebut digunakan untuk tidur dua orang, yaitu Surya dan adiknya yang pertama, dia bernama Arga.
Kedua mata Surya langsung terpejam. Mungkin karena dia terlalu kelelahan, tapi tiba-tiba dia merasa ada yang aneh di dalam tubuhnya. Dia merasa kalau tubuhnya tidak bisa bergerak dan terasa kaku, seakan seperti ada orang yang mengikat dan menindih tubuhnya. Tak lama kemudian, dia juga merasakan berat dengan beban yang ada di atas dadanya.
"Surya, ayo, main sama aku! Di sana tempatnya bagus banget loh," ajak anak laki-laki yang tak Surya kenali, lagian wajahnya tidak terlalu jelas, mungkin karena Surya masih ngantuk berat. Jika dilihat dari bentuk tubuhnya, dia seperti seumuran dengannya. Ada satu hal aneh yang terjadi secara tiba-tiba, dia merasa kalau tubuhnya tidak sekaku tadi.
"Kemana?" Tanya Surya. Anak laki-laki tersebut tidak menjawab, hanya senyum di bibirnya sebagai jawaban. Namun, sorot matanya kosong dan bibirnya itu terlihat pucat.
Surya seperti orang bodoh, tubuhnya seakan bagai robot karena dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Tubuh Surya seperti diprogram menggunakan remot, sehingga tubuhnya bergerak di luar kesadaran. Kini kedua kakinya terus melangkah mengikuti arah anak laki-laki itu akan pergi, tapi dia mendengar ada suara dari arah belakang yang terus memanggil namanya.
"Surya!"
"Surya, kamu mau kemana?!"
Surya tidak bisa melihat siapa orang yang memanggil namanya. Kepalanya tidak bisa digerakkan ke samping kanan maupun kiri, apalagi ke belakang. Hanya matanya lah yang bisa bergerak. Dia sangat takut untuk melihat keadaan di sekelilingnya. Banyak pepohonan besar nan rindang dan suara burung hantu yang membuatnya tambah takut, sedangkan tubuhnya masih saja kaku. Akhirnya Surya memilih untuk memejamkan mata.
"Ibu, tolong aku!" Teriak Surya lalu menangis. Aneh, suara tangis dan teriakannya tadi tidak bisa keluar jelas, seperti teriakan batin saja. Mulutnya saja sulit dibuka, rasanya seperti sedang di bekap oleh seseorang. Matanya sulit dibuka kembali dan suara tadi terus terngiang-ngiang di pendengarannya.
Surya mencoba untuk tenang sambil membaca do'a dan mantra apa saja yang dirinya bisa secara berulang-ulang hingga akhirnya dia bisa menjerit, "Argh!"