Chereads / When I Fall in Love / Chapter 26 - 26. Rumah

Chapter 26 - 26. Rumah

Mendatangi rumah pacar memang bukan sesuatu yang aneh. Tapi karena baru beberapa hari pacaran sudah diajak datang ke rumah, rasanya terlalu cepat. Meski sadar akan hal itu, Ilham sekarang malah membawa Ana mendatangi rumahnya.

"Wah, ini pertama kalinya Ilham membawa perempuan ke rumah."

Begitu masuk langsung disambut oleh sang ibu, Ilham tegang. Entah kenapa dia mendadak ingat Yudha yang juga pernah mengajak pacar ke rumah dan malah memberi kabar yang menjadi sebuah masalah besar.

Padahal Ilham sendiri tahu tidak ada kesalahan yang dibuatnya sampai mengajak Ana datang ke rumah sekarang, atau jangan-jangan membawa perempuan ke rumah sudah menjadi kesalahan untuknya?

Ilham kan belum pernah mendapat izin secara langsung untuk memiliki pacar, tapi bukannya mengatakan sekarang sudah punya pacar, Ilham malah langsung mendatangkan pacar ke rumah.

"Salam kenal, Tante, namaku Ana."

"Boleh kan Ilham ajak teman main ke rumah?" setelah Ana mengenalkan dirinya sendiri, Ilham bertanya dengan gugup. Walau dia sengaja memilih kata 'teman', sang ibu pasti mengerti Ana bukan sekedar teman biasa.

"Tentu boleh, justru Ibu senang Ilham mau mengenalkan teman begini."

Melihat senyum lembut tergambar di wajah sang ibu, refleks Ilham menghela napas. Lega ternyata mendapat respon positif lebih dari yang diduga.

Padahal Ilham pikir tidak boleh berpacaran selama masa SMA karena adanya masalah Yudha, tapi dugaan itu salah begitu melihat ada ekspresi antusias yang ditunjukkan sang ibu saat menatap Ana.

Walau cukup lega, Ilham tetap harus mengatakan alasan kenapa mendadak mengajak Ana main ke rumah, "Apa kami boleh pinjam dapur, Bu? Ilham mau ajak Ana buat kue."

"Apa ada tugas dari sekolah?"

Diam. Ilham tidak langsung memberi jawaban begitu ingat untuk siapa kue diberikan. Nama Hany dilarang disebut agar tidak memicu suatu masalah, dengan terpaksa Ilham memilih sedikit berbohong, "Ilham ingin mengajarkan Ana aja kok."

"Boleh saja kok kalian memakai dapur, Ibu juga sedang tidak memiliki pesanan. Tapi Ilham ganti baju dulu ya? Kalau sampai kotor, nanti nodanya sulit dihilangkan."

Ilham mengangguk kemudian menatap Ana yang berdiri di sampingnya, lebih spesifik yang sedang dilihat adalah kemeja putih seragam yang digunakan. Ada resiko kotor juga walau nanti memakai apron, tapi menyuruh ganti baju terkesan sangat tidak masuk akal.

"Nanti Ilham pinjamkan sesuatu buat Ana. Ya udah Ilham masuk kamar dulu ya?"

Karena Ilham langsung berjalan ke arah salah satu pintu yang tertutup lalu masuk begitu saja, otomatis Ana yang ditinggal merasa semakin canggung.

Ini kan pertama kali baginya datang ke rumah cowok sendirian, sudah begitu berstatus pacar lagi. Apa coba yang harus Ana lakukan sekarang? Bicara duluan atau menunggu ibunya Ilham yang bicara?

"Tidak perlu gugup begitu, duduk aja dulu, Ilham tidak lama kok."

"Iya, Tante," Ana menurut dengan mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Keadaan yang semakin membuat rasa canggung kian bertambah karena ibunya Ilham ikut duduk juga.

"Sudah berapa lama Ana berteman dengan Ilham?"

"Kami sekelas sejak kelas satu, Tante, tapi baru-baru ini dekatnya," Ana mencoba menjawab serileks mungkin untuk membuat dirinya sendiri nyaman.

"Bagaimana Ilhan saat di sekolah?"

Bagaimana apanya? Ana mengerjap sesaat sebelum menjawab sejujur mungkin, "Ilham baik, banyak yang suka karena sering jadi imam di mushola sekolah."

Sebuah tawa ringan diberikan ibunya Ilham, "Ternyata Ilham bisa juga ya? Padahal dia tidak niat saat dulu dipaksa masuk pesantren loh."

Dipaksa? Ana baru mengetahui Ilham masuk pesantren bukan atas kemauan sendiri. Sangat tidak disangka mengingat cowok itu menerapkan ajaran agama yang terbilang baik, bahkan sampai salat tepat waktu dan tidak ketinggalan segala macam salat sunahnya.

Padahal jika bukan dari kemauan sendiri, hasil yang didapat setelah keluar dari pesantren tidak mungkin terlihat jelas seperti halnya Ilham. Malah ada yang berakhir menjadi remaja bandel setelah lepas dari lingkungan yang mengekangnya dalam kurun waktu cukup lama.

"Ana mau pakai yang mana?"

Fokus mata Ana berpindah ke Ilham yang keluar dari pintu sambil menunjukkan sweater berwarna merah dan jaket varsity berwarna coklat, "Terserah Ilham aja."

Setelah memilih sweater yang dianggap memiliki bahan lebih adem, Ilham meminta Ana ikut ke dapur untuk mulai membuat kue dengan bahan-bahan yang sudah mereka beli tadi.

Tidak ada pembicaraan yang berarti terjadi setelah mereka sudah berduaan. Ilham fokus mulai membuat kue, sedangkan Ana memilih memperhatikan saja sambil sesekali membantu ketika mendapat kalimat permintaan tolong.

Tidak nyaman. Walau Ilham memang ingin fokus dengan adonan yang sedang dibuat, dia tidak tahan dengan situasi ini. Kesannya Ana masih merasa marah ditingkat lebih rendah dibanding saat di sekolah tadi, "Aku sengaja beli bahannya agak banyakkan karena mau memberikannya juga pada Ana."

"Aku juga dikasih?" tanya Ana heran.

Ilham mengangguk. Mana mungkin pacar sendiri tidak diberikan ketika perempuan lain justru mendapat yang lebih istimewa, "Nggak banyak kok, Ilham nggak mau Ana protes jika berat badanmu sampai bertambah."

"Hah?" Ana mengerjap, heran sejenak mendengar ucapan Ilham, "kenapa harus protes? Ana justru ingin menambah berat badan tiga sampai lima kilo loh."

Ilham mengalihkan pandangan dari adonan untuk menatap Ana yang berdiri di sampingnya, "Loh, cewek kan nggak suka saat berat badannya naik, kenapa Ana malah terbalik?"

"Tanpa melakukan apa-apa berat badanku mendadak bisa turun, dan waktu mau menaikannya lagi tuh susah bangat walau jadwal makanku udah tiga kali sehari."

Ada ternyata orang yang memiliki masalah seperti ini ya? Ilham baru tahu, "Mungkin porsi makan Ana nggak banyak atau mungkin Ana kurang minum susu."

"Aku bahkan juga udah coba minum obat cacing, Il. Tapi tetap aja berat badanku turun lagi setelah senang naik satu kilo."

Ilham menahan diri agar tidak tertawa melihat ekspresi merengut Ana yang menggemaskan. Lucu bangat sih pacarnya ini, "Ilham baru tahu loh ada yang kesulitan menaikkan berat badan di saat ada orang yang mati-matian melakukan berbagai macam program diet."

Ana menghela napas, "Begitulah. Tapi aku nggak mau ambil pusing lagi sih karena pertumbuhan tinggiku belum berhenti."

"Setahuku berhenti pada usia 20 atau 21 tahun ya? Emang lebih baik nggak usah mikirin pola makan sih. Daripada sok-sok diet terus punya tubuh pendek dan nyesel, mending juga nikmatin dulu masa pertumbuhan selama masih bisa terjadi."

Ana mengangguk, puas ternyata mereka punya jalan pikiran yang sama, "Bener bangat."

"Manusia emang kadang nggak ada puasnya, jadi lebih baik bersyukur aja dengan apa yang udah kita miliki. Ah, tolong potongkan strawberry dong, An," walau menikmati obrolan yang sedang dilakukan, Ilham tidak melupakan kegiatannya yang sedang membuat kue.

Jangan karena asyik pacaran di dapur membuat kualitas kue yang dibuat berkurang. Kan tetap memalukan walau ini sekedar bentuk kado ulang tahun bukannya untuk dijual.

"Semuanya?" tanya Ana sambil menunjuk strawberry untuk sekedar memastikan.

"Iya, dia sangat menyukai strawberry sih, harus kuberikan lebih dong karena dibuat sendiri."

"Ilham pengertian ya?" gumam Ana yang tidak dapat menahan nada irinya.

Bukannya merasa bersalah, Ilham justru menyeringai dan sedikit mendekati Ana untuk berbisik di telinga kirinya, "Cemburu ya?"

Ana langsung mengambil jarak untuk menjauh sambil menutup telinganya dengan wajah merah padam.

Ilham ikut mengambil langkah mundur, ngeri dengan keberadaan pisau yang sedang Ana genggam. Sepertinya dia bertindak jahil pada saat yang sangat salah, "Aku ngagetin ya? Maaf, tolong jangan marah lagi ya?"

Ana mengusap-usap telinga memakai tangan kirinya. Dia kaget bukan karena apa yang baru Ilham lakukan, melainkan karena ingat dengan kejadian di UKS, "Ilham iseng ah."

"Kan nggak tahu ternyata telinga Ana ternyata sensitif."

"Nggak sesitif kok. Aku nggak pernah bereaksi berlebihan gini kalau ada orang lain yang berbisik, aku cuma ngerasa suara Ilham kedengeran beda jadi secara refleks langsung ngejauh," ucap Ana sambil meneruskan kegiatan memotong strawberry yang sempat gagal dilakukan.

"Beda gimana?"

"Kedengeran lebih serak dibanding biasanya."

Ilham mengangguk paham kemudian kembali mendekati telinga Ana lagi, "Maksudnya seperti ini?"

Refleks Ana kembali membuat jarak, tapi kali ini tidak bisa terlalu jauh karena tangan kanannya yang sedang memegang pisau sedang ditahan oleh Ilham, "Udah kubilang kan jangan dilakukan!"

Karena kali ini sudah menahan pisau agar tidak diarahkan padanya, Ilham tertawa puas, "Habis reaksi Ana lucu sih."

"Ilham kalau iseng lagi kuaduin sama Arka nih."

Mendengar Ana menyeret nama cowok lain, ekspresi Ilham seketika berubah menjadi jengkel, "Kenapa malah Arka? Kadang aku ingin protes deh dengan kedekatan kalian yang terkesan di luar batas normal."

"Kalau gitu aku juga ingin mengeluhkan besar rasa pedulimu pada Han–... hmp!!" belum selesai Ana bicara, Ilham sudah membungkamnya lebih dulu, "Jangan katakan. Nama dia dilarang disebut di rumahku."

Saat tangan kanan Ilham yang tadi membungkamnya sudah dilepaskan, Ana hanya bisa memberikan sebuah pertanyaan, "Kenapa?"

"Aku pasti akan memberi penjelasan nanti. Untuk sekarang tolong bangat jangan bahas sesuatu yang berkaitan atau bahkan sekedar nyebut nama itu."