Sejujurnya Ana masih merasa sangat penasaran mengenai hubungan Ilham dengan Hany, tapi saat Ilham mau memberi penjelasan secara lebih rinci, entah kenapa Ana malah merasa tidak ingin mengetahuinya.
Dengan melihat ekspresi yang ditunjukkan saja, Ana mengerti Ilham begitu menyayangi Hany. Sangat sayang sampai membuat Ana merasa sejak awal dialah yang tidak memiliki tempat di hati Ilham.
"Aku sebenarnya nggak mau bahas Hany saat kita lagi kencan begini, kencan pertama juga lagi, tapi aku ingin Ana mengerti tentang semuanya."
Ana menunduk, memang sepulang sekolah dia dan Ilham sengaja datang ke cafe dulu seolah ingin melakukan kencan, hanya saja topik obrolan yang mau dilakukan membuat Ana dilema, "Emang yang benar tuh hubungan kalian seperti apa sih?"
"Udah kujawab kan? Kami berteman secara backstreet setelah adanya masalah Bang Yudha. Ayahnya Hany pernah menamparku dan memakiku gara-gara melihat Hany yang masih mau berteman denganku, ayahku yang tahu tindakan itu marah sampai mendatangi rumah Hany untuk protes. Sejak kejadian itu hubungan keluarga kami jadi sangat buruk sampai-sampai nama Hany nggak boleh disebutkan lagi."
Ilham menatap kedua tangannya yang sedang bertautan di atas meja kemudian kembali bicara, "Sebagai anak yang baru lulus SD, kejadian itu jadi semacam trauma untukku. Aku takut. Jujur aku sangat takut orang tua Ana tidak akan mengizinkan kita pacaran karena masalah Bang Yudha."
Melihat tangan Ilham yang seakan sedang gemetar, secara naluriah Ana menggenggamnya untuk menenangkan, "Yang jadi pacarku kan kamu, Il. Dibanding melihat masalah yang pernah terjadi pada kakakmu, orang tuaku pasti lebih menilai kepribadianmu."
Sebuah senyum kecil terukir di wajah Ilham "Aku senang yang jadi pacarku itu kamu. Walau sejujurnya aku nggak ada niat mengajakmu pacaran gini."
"Eh?"
Ilham tertawa pelan melihat ekspresi kebingungan Ana, "Apa Ana tahu? Bang Yudha mengakui perbuatannya beberapa hari setelah lulus SMA, yang berarti dia melakukan hal itu ketika masih di bangku SMA. Padahal dia bisa tahan diri atau pakai pengaman kan? Tunggu, bukan itu intinya."
Setelah sadar sudah terlalu larut dalam rasa jengkelnya, Ilham berdehem sejenak sebelum kembali bicara, "Gara-gara kejadian itu terjadi tepat setelah kelulusan SMA, aku pikir bisa tahan perasaanku sendiri dan nggak pacaran dulu sebelum lulus sekolah. Tapi aku terlanjur jatuh cinta padamu."
Dengan canggung Ana melepaskan tangannya yang sempat menggenggam tangan Ilham sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, "Maaf."
"Kenapa minta maaf? Ini kesalahan yang nggak akan pernah kusesali kok."
"Tetap aja aku merasa bersalah."
"Salah itu jika Ana sampai membuatku lupa untuk beribadah, tapi berkat Ana sekarang aku jadi malah seneng saat mau salat Tahajud."
Selama beberapa hari ini Ilham menepati ucapannya dengan menelepon Ana pada jam setengah tiga pagi agar bangun lalu mengerjakan salat Tahajud. Dan sebelum telepon ditutup, Ilham juga selalu mengatakan merasa senang dan semakin bersemangat untuk bangun tepat waktu.
Ada kalanya Ana merasa malu mendengar kalimat yang seperti gombalan sampai dia mengakhiri panggilan secara sepihak, tapi dilain sisi dia juga senang dibangunkan oleh orang yang disukai, "Aku beruntung bangat punya pacar alim kayak Ilham."
"Justru aku yang merasa beruntung punya pacar yang membuatku semakin mendalami ilmu agama."
Melihat ekspresi puas yang tergambar jelas di wajah Ilham, Ana malah merasakan kebalikannya, "Um, apa aku nggak harus pakai hijab atau coba lebih feminin lagi?"
"Untuk apa?"
"Biar kita kelihatan serasi. Ilham juga pasti senang kan jika aku bisa sampai kayak Ajeng?"
Ilham menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Apapun yang terjadi tolong jangan contoh Ajeng. Oke dia emang kelihatan alim, saking alimnya bahkan sampai membuatku ingin salat taubat. Tapi ucapan yang pernah dikatakannya itu loh, walau emang bener, aku tetep ngerasa ada yang nggak beres sama pola pikirnya?"
"Kalian ternyata pernah ngobrol? Emang apa yang Ajeng katakan?" tanya Ana yang cukup terkejut mendengar fakta tentang Ilham yang ternyata pernah terlibat obrolan dengan perempuan teralim di kelas mereka.
"Dibanding suka rela masuk neraka, mending dipaksa untuk masuk surga."
Ucapan itu membuat Ana tertawa, "Putra emang pernah ngomong kalau Ajeng kadang punya sisi sadis, tapi nggak nyangka Ilham yang bahkan jarang bangat berinteraksi dengan Ajeng ternyata punya pendapat yang sama."
Ilham menghela napas, masih tidak habis pikir dengan kalimat yang diucapkan oleh salah satu teman sekelasnya itu, "Ada kesempatan yang buat kami bisa ngobrol berduaan, tapi baru sebentar ngobrol udah sepakat 'oke, kita ternyata emang nggak cocok'."
"Kok bisa? Kan Putra tuh udah kayak ekornya Ajeng di sekolah, mau ke mana aja selalu ngikut."
Walau selalu mengekori Ajeng selain saat mau ke toilet di sekolah, sempat ada kesempatan yang membuat Ajeng datang ke sekolah sendirian, "Waktu sebelum PKL, aku dan Ajeng sempat disuruh guru BK untuk ikut hadir di acara menjelang UN anak kelas 3."
Ana ber-oh sejenak, paham dengan kejadian yang terdengar mustahil terjadi ternyata sudah pernah terjadi, "Aku baru tahu."
"Kenapa sekarang kita malah ngomongin Ajeng?" tanya Ilham yang heran dengan topik obrolan yang sudah sangat melenceng, "pokoknya jangan paksakan dirimu. Entah mau coba bersikap feminim kayak Hany atau berpenampilan kayak Ajeng, pokoknya jangan."
Sedikit lupa dengan topik pembicaraan mereka, Ana terdiam sejenak untuk mengingat sebelum bicara, "Kok malah dilarang? Bukannya bagus jika aku bisa pakai hijab kayak Ajeng?"
"Cewek emang wajib menutup aurat. Tapi menurutku lebih baik jangan paksakan untuk melakukan sesuatu yang belum siap kamu lakukan hanya untuk membuat kita terlihat serasi atau karena pendapat orang lain."
"Tapi aku emang punya niat mau pakai hijab, nggak salah kan kalau Ilham sedikit mempercepat niatanku itu?"
"Jangan. Tolong bangat jangan jadikan aku sebagai alasan Ana mau pakai hijab," tolak Ilham sambil mengibaskan kedua tangannya, "ini pengalaman langsung dari Amel ya. Gara-gara Bang Yudha yang jadi alasan dia pakai hijab, dia jadi terkesan terpaksa bangat pakai hijab kalau mau pergi ke luar rumah. Aku nggak mau Ana kayak begitu."
Jika tidak dilakukan dengan tulus, ada kemungkinan Ana akan setengah hati melakukannya ya? Tapi kalau tidak memaksakan diri, Ana pasti sulit untuk memulainya, "Ugh, ini membuat dilema."
"Aku tahu, makanya aku nggak pernah komentarin cewek yang belum pakai hijab atau masih sering buka-lepas," ucap Ilham dengan nada pasrah.
Mau sesering apapun membaca Al Quran atau mendengar ceramah agama, Ilham tetap saja merasa maklum dengan perempuan yang belum mau memakai hijab.
Entah kenapa, tapi Ilham tidak menjadikan hijab sebagai alat ukur untuk menilai tingkat iman kaum hawa. Masih ada salat, mengaji, sedekah, dan sifat yang bisa dijadikan tolak ukur.
Jadi mau ada perempuan yang masih buka-lepas hijab, secara terang-terangan tidak mau pakai hijab, atau punya alasan remeh melepas hijab setelah berkomitmen untuk terus memakainya, Ilham bahkan tidak akan membatin dengan menghujatnya.
Mungkin karena Ilham tidak ambil pusing dengan masalah macam itu, makanya Ana lah yang kini menjadi pacarnya.