Chereads / DUNIA ANGEL / Chapter 2 - Ingatan Lampau

Chapter 2 - Ingatan Lampau

Tanpa sadari ternyata sudah terlalu lama aku berbicara sambil memperagakan ala-ala sutradara. Amel melihatku hanya tertawa sopan, sementara aku berceloteh.

"Sekadar klarifikasi, K, Nona Konsultan Kreatif yang Budiman, aku tidak membeli rumahmu." Kata Amel.

Aku mafhum bahwa bicaraku kecepatan, tapi aku tidak sanggup memperlambatnya. "Keputusan bijaksana, barangkali. Apalagi kondisinya sudah bobrok begini. Beli rumah, jangan beli masalah, begitu kan?" timpaku.

"Karena kau meminta agar kita tidak ditemani siapa-siapa hari ini—permintaan yang sangat wajar, omong-omong!—aku membujuk mas agen properti yang baik hati supaya berkenan meminjami kunci dan waktu di rumah ini."

"Aku yakin yang kau lakukan pasti melanggar peraturan, tapi akan kujaga rahasiamu baik-baik."

"Apa kau piawai menjaga rahasia, K?" tanyanya serius.

"Lebih piawai daripada sebagian orang." Aku terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Lebih seringnya, rahasia yang menjagaku," semata-mata karena kesannya misterius sekaligus berbobot.

"Bolehkah aku mulai merekam sekarang, K?" Amel mencari sesuatu di bagian saku baju dan tasnya.

"Apa, bukannya mencatat? Aku membayangkan kau siap sedia sambil memegang pulpen dan note hitam. Sehari-hari kau sembunyikan dengan hati bangga di saku tas kerja. Note yang berlabel dan berpembatas warna-warni, tiap warna menandai halaman-halaman untuk topik riset tertentu, gambaran kepribadian orang-orang, dan sembarang komentar cermat mengenai cinta dan kematian."

"Ha! Sama sekali tidak sesuai dengan gayaku." Amel kentara sekali menjadi santai dan lantas menyentuh sikuku.

"Ini rahasia ya, tapi aku tidak bisa membaca tulisanku sendiri. Malahan, aku termotivasi menjadi penulis justru karena ingin membalas semua guru dan anak-anak yang mengolok-olok tulisan tanganku karena mirip cakar ayam." Senyumnya sungkan dan tulus, alhasil membuatku semakin menyukainya.

Aku juga suka karena dia tidak mengecat rambutnya yang beruban, karena posturnya tegak tapi tidak kelewat kaku, karena dia menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanannya, karena dia tidak kunjung menyeletuk bahwa rumah masa kecilku telah menjadi bangunan tua kosong angker.

Aku berujar, "Ah, balas dendam rupanya! Beri saja memoar dengan judul Metode Menghina Mesti Mati! Dan kemudian kirimkan buku itu kepada guru-guru Anda, mereka pasti akan kebingungan karena sudah lama pensiun. Kemudian masing-masing dibubuhi tanda tangan merah yang tidak terbaca, tentu saja."

Amel membuka tas kerja dan mengeluarkan ponsel pintarnya. Aku pelan-pelan membungkukkan badan ke lantai dan memungut topinya. Setelah mengebuti tepiannya dengan sopan, meletakkan topi itu di atas kepalaku sambil berlagak. Topi itu ternyata kekecilan.

"Apa pendapatmu tentang ini?!"

"Kau lebih cocok mengenakan topi itu daripada aku."

"Apa kau betul-betul berpendapat begitu?"

Amel tersenyum lagi. Kali ini, senyumnya tak bisa kubaca. Jemarinya mengetuk dan menyapu layar sentuh ponselnya dan berkumandang bunyi bip ke seisi ruang keluarga yang kosong. Bunyi itu tidak enak didengar; dingin, final, tidak bisa dibatalkan.

Katanya, "Bagaimana kalau, kau memulai dengan bercerita tentang Tunner dan seperti apa dia sebelum segalanya terjadi?"

Aku melempar pandangan ke penjuru ruangan, sedikit mendongak. Kepalaku dipenuhi gambaran peristiwa itu atau kesengsaraan yang tidak pernah diharapkan.

Pandangan ku terpaku pada bercak hitam di lantai, apa itu? nodanya seperti genangan air namun sedikit merah, di situ rupanya, aku membatin.

Kataku, "Tunner ku—"

Kemudian aku terdiam karena aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kakak perempuanku tidak menua sama sekali, bahkan dalam kurun lima belas tahunan ini dan sebelum segalanya terjadi itu tidak ada.

***

Aku memberitahu Amel, kejadian yang menimpa Tunner dan keluarga kami tidak memiliki titik awal maupun permulaan. Andaipun ada, kejadian itu terjadi saat aku berumur delapan tahun, bahkan aku yang sekarang berusia seperempat abad tidak mampu mengingat ulang.

Parahnya lagi, kenanganku telah berkelindan dengan mimpi buruk, dengan ekstrapolasi, terdistorsi mitos kakek-nenekku, paman-bibiku, dan segala macam legenda urban yang tersebar melalui media ranah populer, aliran komentar tiada habis-habisnya di situs web/blog/saluran YouTube yang dikhususkan untuk acara tersebut.

Intinya, pengalamanku sendiri lintang pukang menjadi satu dengan semua informasi tersebut. Sehingga sekarang tidak bisa aku bedakan lagi.

Malahan, riwayat pribadiku sudah bukan milikku sendiri, karena telah terlanjur dihantui oleh kekuatan dari luar, dalam arti harfiah maupun kiasan, bisa dibilang hampir sama mengerikannya seperti peristiwa itu sendiri. Hampir!

Mumpung Amel mengunakan alat canggih perekam. Aku bisa berceloteh panjang tanpa membuatnya kesulitan mencatat. Kuberi contoh kecil sebelum mulai bercerita betulan.

Sewaktu usiaku empat tahun, orangtuaku dua kali menghadiri acara 'Memperbaiki Pernikahan' di akhir pekan yang disponsori oleh pemuka setempat. Aku mengetahuinya tidak langsung dari orangtuaku, melainkan dari orang kedua-ketiga-keempat.

Kata orang-orang, Ayah bersikeras untuk ikut karena ingin memperbaiki hubungan keluarga yang memang sempat renggang. Dalam rangka menggapai kehidupan serta pernikahan yang lebih selaras dengan firman Tuhan, Ayah mendonasikan waktunya mengikuti acara tersebut.

Pada saat itu, Ibu bukanlah penganut agama apa pun dan sangat menentang gagasan ayahku. Hal ini wajar, karena Ibu lebih mementingkan kehidupan rasional daripada tunduk pada dogma. Tapi, entah apa yang merasukinya, beliau tetap saja ikut. Bahkan beliau beliau tidak pernah memberitahuku ataupun orang lain, alasannya ikut.

Akhir pekan pertama berjalan lancar, mereka menginap di kabin kayu limas, jalan-jalan di hutan, mengikuti diskusi kelompok dan sesi tanya-jawab. Sesi ini dimaksudkan agar setiap pasangan menulis jawaban mereka atas pertanyaan seputar pernikahan, yang dikaitkan dengan pelajaran atau teks tertentu dari Alkitab. Setelah itu bergiliran membaginya kepada seluruh anggota kelompok.

Akhir pekan kedua sedikit terhalang, seharusnya mereka atau para jamaah 'Memperbaiki Pernikahan' sudah melakukan semedi atau meditasi. Jamaat mengelar tikar dengan dibakarnya aromatik herbal di sudut-sudut ruangan. Tetapi acaranya terganggu dengan terbakarnya salah satu kendi aromatik itu.

Akhir pekan ketiga rupanya kurang mulus, konon Ibu meninggalkan acara 'Memperbaiki Pernikahan' dan Ayah. Hal ini terjadi selepas Ayah berdiri di hadapan seluruh hadirin, dan mengutip sebuah ayat mengenai kewajiban istri untuk takluk di hadapan suaminya.

Nah, berdasarkan dua fakta ini, pertama orangtuaku meninggalkan lokasi acara lebih awal pada akhir pekan ketiga, dan ujung-ujungnya menginap semalam di sebuah kasino di Platinum; kedua, meskipun Ayah memang menjadi taat beragama ketika kami berdua sudah lebih besar, beliau tidak pernah ke tempat peribadatan selama bertahun-tahun sebelum upaya eksorsisme.

Aku mengungkit fakta-fakta ini dalam rangka memberikan konteks keterangan menyeluruh yang akurat, sekaligus menyoroti bahwa beliau mungkin saja tidak mengutip ayat tersebut, karena itu pembagian random orang-orang di sana. Tapi, bukan pula maksudku untuk menyampaikan bahwa mustahil Ayah menyortir ayat tersebut kepada Ibu, sebab berbuat demikian justru sesuai dengan karakternya.

Selanjutnya kita bisa menebak, yaitu Ibu angkat kaki dari pondok retro sambil bersungut-sungut. Ayah berlari mengajarnya untuk meminta ampun dan mengucapkan permohonan maaf bertubi-tubi, dan kemudian, untuk menunjukkan kesungguhan hatinya, mengajak Ibu ke kembali ke Platinum.

Hemat ku dari akhir pekan 'Memperbaiki Pernikahan' hanya ini; kedua orangtuaku pergi dan berjanji akan segera kembali.

Satu-satunya kata yang diingat oleh diriku empat tahun adalah 'pergi'. Waktu itu aku belum memahami konsep jarak ataupun waktu. Sepahaman ku adalah bahwa mereka pergi. Aku yakin mereka pergi karena bosan meladeni aku yang gemar membuat berantakan seisi rumah.

Selagi orangtuaku pergi, adik perempuan Ayah, Bibi Juwita, mengasuh Tunner dan aku. Waktu ini Tunner bereaksi biasa-biasa saja, tidak ada keanehan apapun, tapi aku kelewat takut dan panik, sehingga tidak bisa tidur sesuai pola rutinku.

Aku dengan saksama membangun benteng dari boneka-boneka kapuk berbentuk binatang di seputar kepala, sementara Bibi Juwita mendendangkan lagu demi lagu untukku.

Entah lagu apa, tepatnya tidak penting, menurut bibiku, asalkan aku rajin mendengarkan radio pasti ketemu.

Oke, mungkin kamu heran kenapa di bagian ini aku sering membuat catatan kaki untuk merunut siapa-siapa saja narasumber dari ceritaku sendiri. Tapi bersabarlah, di bagian pra-awal ini, aku semata-mata ingin menunjukkan bahwa bercerita dengan sebenar-benarnya itu sulit, dan sulit pula untuk menaksir tingkat kebenaran sebuah cerita.

Mengesampingkan banyaknya pengaruh dari luar, sejujurnya aku sungguh-sungguh mengingat sejumlah bagian dari kejadian lampau. Saking jelasnya dan terperinci, adegan-adegan itu terpatri di dalam benakku, aku takut kalau bakal terseret di dalam labirin memori.

Siluet bagian tidak jelas selalu tampil, munculnya dari alam bawah sadar, yang menurut sebagian orang dianggapnya ketidak wajaran. Tapi, yakinlah, setiap kejadian yang terlupakan bukan hilang namun terpendam di sana.

Keberadaannya akan muncul seiring adanya pemicu penghubung alur kejadian yang—aku khawatir—kupepatkan dan dicampuradukkan secara tidak sengaja dalam kepalaku.

Baiklah! Baiklah! Kamu jangan pusing terlebih dahulu, karen aku terlalu banyak bicara yang aneh-aneh. Sambil mencamkan itu semua baik-baik, mari kita mulai lagi.

Inti yang kucoba sampaikan melalui pendahuluan bertele-tele ini adalah, aku sejatinya tengah berusaha semaksimal mungkin untuk memutuskan harus mulai dari mana. Meskipun, kalau dipikir-pikir, ceritaku memang sudah dimulai, kan?