Chereads / DUNIA ANGEL / Chapter 7 - Aku Tidak Mau Mengingat

Chapter 7 - Aku Tidak Mau Mengingat

Tunner mendekatiku perlahan, tangannya menyentuh buku Boboku dengan erat. "kau tidak keberatan dengan ceritaku, kan, Nona Angel?" Wajahnya sedikit melow, kantung matanya terkesan seperti bendungan yang sudah dipenuhi oleh air, siap meluap.

Tangannya tampak berkeringat dingin sesaat memegang sikuku.

Aku hanya terdiam melihatnya seperti itu, karena mencoba memahami apa yang dia rasakan, mungkin ini penting menjadi pendengar yang baik, tempat curahan rahasia seseorang.

Kita akan mengerti akan penderitaannya, kesulitannya dan emosionalnya. Hal ini bagus dalam pengobatan psikis dan mental.

"Tidak, sih." Aku tak percaya pada Tunner dan tidak tahu apa sebabnya dia berusaha keras sekali untuk meyakinkanku bahwa dia mendengar cerita itu kali pertama bukan lewat internet. Aku sudah delapan tahun dan bukan lagi bayi yang mudah dikelabui.

Sewaktu aku masih kecil sekali, Tunner kerap memberitahuku bahwa tatanan kamarnya berubah sendiri pada malam hari ketika dia tidur dan mengatakannya dengan amat serius, sambil berpura-pura panik dan takut.

Sehingga aku, kemudian ikut-ikutan panik ketakutan, emosiku membuncah dan terancam air mataku tumpah.

Melihat ekspresiku, dia dengan santainya mengatakan, "Sudah, sudah. Ya ampun, aku hanya bercanda. Santai, Angel Monyet." Aku benci dipanggil "Angel Monyet!"

"Eh, coba lihat gambaranku." Tunner bergeser ke merapatkan duduk dan membuka 'Panah Menembus Dunia', kemudian meletakkannya di pangkuan kami berdua. Buku terbuka di halaman kota Malaya, tapi Tunner telah merusak judul dan mengubah huruf-hurufnya.

Tunner telah membuat gambar tangki raksasa berbentuk tabung yang bagian depannya robek bergerigi serta mencoret-coret seisi kota dengan spidol cokelat. Dia juga menggambar wajah binatang sebagai korban kejadian itu, yang sedang meronta-ronta untuk membebaskan diri dari gulali yang memerangkap mereka. Gulali mengombak ke atas kereta yang sial, sedangkan para penumpangnya, menjerit ketakutan.

Aku ingin menonjok Tunner, menonjok wajah tololnya yang tersenyum-senyum. Kakakku mengolok-olok aku dan bukuku yang baginya tampak konyol. Meski demikian, aku tetap tak mampu berpaling dari halaman itu. Gambar itu seram dan niscaya membuatku bermimpi buruk, tapi aspeknya yang mengerikan justru memikat.

Tunner berkata, "Lihat. Itu Bobo," sambil menunjuk sosok kucing cakar ayam bermata X yang sedang mengulurkan tangan keluar dari banjir gulali, untuk menggapai uluran tangan siapa saja yang bersedia menolong. Tapi, tidak ada yang menolong.

Kututup buku itu tanpa berkata-kata. Tunner memindahkan buku ke pangkuanku dan kemudian mengusap-usap punggungku.

"Maafkan aku. Mungkin aku seharusnya tidak menceritakan ini kepadamu."

Aku bereaksi cepat, terlalu cepat mengatakan, "Tidak. Ceritakan apa saja padaku. Aku mau mendengar semua ceritamu. Tapi, besok aku minta cerita yang lama, ya. Boleh, kan? Cerita karangan mu?"

"Ya, Angel. Aku janji."

Aku pelan-pelan meluncur dari tempat tidur, sengaja berpaling dari Tunner untuk memandangi diding dan sekumpulan poster.

Aku tidak memperhatikan ketika kali pertama masuk ke kamar, tapi poster-poster itu ditempel sedemikian rupa sehingga bertindihan. Yang tampak hanyalah bagian-bagian tertentu tubuh penyanyi, atlet, sepasang mata. Di tengah-tengah kolase anggota tubuh tersebut, segalanya seolah difokuskan ke satu mulut yang entah sedang tertawa atau mengeram.

"Hei, apa pendapatmu tentang poster-poser itu?"

Aku sudah muak. Aku kerepotan memegangi kedua buku yang berat bukan main. "Butut," kataku, berharap komentar itu bakal menyinggung perasaan Tunner barang sedikit.

"Kau tidak boleh bilang apa-apa kepada Ibu ataupun Ayah, karena nanti bisa-bisa keduanya kalut, tapi saat aku bangun, kamarku sudah seperti ini, sumpah, dan sewaktu melihat poster-poster di cermin—"

"Diam! Kau tidak lucu!" aku lari dari kamar Tunner, tidak ingin dia melihatku menangis.

***

Amel sangat serius menyimak ceritaku ditunjukkan dengan tatapan seriusnya, beberapa saat berkedip namum tidak menguap. Aku memberikan isyarat untuk menjeda cerita dan menyuruh Amel mematikan alat perekamnya.

Alat itu sudah bekerja sangat lama, dia pantas untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya.

"Terimakasih, Nona Amel sudah berkenan mendengarkan cerita panjang ini."

Amel tampak kurang enak, dia segera melempar tubuhnya untuk duduk bersamaku di bangku penuh ketombe. Suara ringkik kursi sangat terdengar jelas, bergema ke selurus ruang tamu ini.

Aku tidak paham akan tindakannya ini karena pikiranku tertuju pada desing kursi yang sedikit bergoyang hampir rubuh.

Aku mencoba mendorong Amel supaya berdiri sejenak untuk membetulkan posisi, namun.

"Aaasstttt.."

Terdengar suara sedikit mendesis dari mulutnya, napas Amel tersendat berat tapi masih bisa mengimbangi irama jantung. Aku memperhatikannya lebih jelas lagi. Amel sedang tidak berada di tubuhnya. Siapa ini yang sedang mengambil alih, ucapku dalam hati.

"Kamu baik-baik saja, Amel? Kenapa dengan tanganmu yang tampak kaku itu?" aku mencoba membuatnya sadar dengan mengingatkannya akan hal-hal kecil seperti posisi duduk, deru napas, tangan yang kaku. Namun semua itu tidak membuahkan hasil. Amel sedang kerasukan, jiwanya disingkirkan.

"Apa tujuanmu kemari?" kata sosok di dalam tubuh Amel. Dia berbicara dengan wajah ditutupi rambut. Giginya masih tertancap satu sama lainnya.

"Aku hanya rindu rumah masa kecilku. Kenapa kamu bisa disini?" jawabku dengan tenang. Sepertinya aku sedikit mengenali sosok ini, tapi apakah mungkin sebuah roh masih bisa bertahan dalam waktu hampir satu abad lamanya.

"K?!"

"Apa kamu mengenaliku?"

"Rumah kardus—"

"Oh , ya, dimana itu sekarang aku sangat merindukannya. Kau tahu aku kecil lebih suka bermain di sana bersama sahabatku, tentunya bukan manusia, dia berbulu tebal dan lembut dengan mata coklatnya."

Aku kembali mengingat siapa dia, soalnya waktu aku kecil salah satu boneka di dalam rumah kardus ada yang aneh.

Aneh disini bukan bentuknya, dia boneka beruang kutub berwarna putih kapas. Ukurannya sedikit besar, mungkin seukuran anak usia dua tahun. Dia seperti penjaga di rumah kardus kami, bahkan Tunner sangat suka menculiknya dan dibawa ke kamar untuk menemani tidur.

"Aku beruang. Bisa kah kamu mengantarku ke ruang makan?" tanyanya.

"Baiklah tapi kamu mau berapa lama berada di tubuh temanku, sekarang dimana dia, apakah baik-baik saja?" aku khawatir dengan kondisi Amel, karena tubuh yang dalam kondisi kerasukan roh, maka tubuh akan menyesuaikan ruhnya. Sehingga terkadang banyak orang yang kerasukan bertingkah aneh seperi macan, monyet, orangtua, dan itu sangat membebani tubuh korbannya.

"Hanya sebentar, aku merindukanmu." Dia segera berdiri perlahan, melangkahkan kaki setapak demi setapak. Sepertinya roh ini memang sudah paham akan tubuh korbannya, dia tidak terlalu memaksakan diri untuk berjalan.

Sesampainya di dapur kami duduk berhadapan. Dapurku memang luas mungkin bisa muat dua mobil. Bagian belakangku adalah tempat memasak, ini merupakan posisiku saat sedang makan dan tentunya ditemani Mr. Ban. Dia adalah boneka beruang kutub besar, yang selalu mau menemaniku makan karena sosoknya hampir mirip anak usia dua tahun, dan itu membuatku nyaman.

"Bagaimana kabarmu, Mr. Ben?" tanyaku cepat. Amel mengangkat wajahnya dan tersenyum manis seperti dia sudah kembali, namun itu masih Mr. Ben.

"Kamu masih mengingatku, K. Aku sangat merindukanmu semenjak kejadian itu. Kau sangat ingin ku lindungi namun Dia menghalangiku." Suaranya sedikit tersendat tapi lancar berbicara. Sosok Mr. Ben tidaklah jahat, sebenarnya dia lebih ke mengayomi.

Waktu aku kecil hampir terpeleset di kamar karena air ikan yang tumpah, dia melindungi tubuhku membentur lantai dan meja. Tentu saja saat itu, aku tidak berpikir aneh-aneh, imajinasi anak kecil sangat luas, bahkan belum bisa membedakan boneka ber-roh dan mainan. Semuanya tampak hidup.

"Oh, Mr. Ben! Jangan kau ungkit kembali kejadian itu, bulu kudukku menjadi merinding."

Kami bercerita melepas rindu hampir tiga puluh menit. Mr. Ben sangat merindukanku, karena aku dianggap anak olehnya. Aku tidak pernah bertemu sosok aslinya seperti apa, tapi melihat sikap Mr. Ben dia pasti orangtua yang baik. Di penghujung pertemuan kami saling berpelukan perpisahan, sepertinya Mr. Ben sudah bisa meninggalkan tubuh Amel dan kembali ke alamnya.

"K. Kepalaku pusing. Apa yang terjadi, aku merasa ada di tempat padang rumput penuh bunga, namun sendirian."