Prolog
Suatu pagi, enam bulan setelah ayahnya menghilang...
Emily menghentikan langkahnya di depan sebuah toko fashion dalam perjalanannya menuju sekolah. Angin pegunungan menampar wajahnya. Dingin. Emily memperhatikan siluetnya yang terpantul di kaca toko yang gelap, tubuhnya yang jangkung terlihat ringkih. Beberapa kilogram bobotnya sudah menghilang selama beberapa bulan ini, didera beratnya persoalan setelah ayahnya menghilang.
Beberapa baju model terbaru terpasang pada manekin yang diletakkan pada bagian depan toko itu. Dulu Emily pasti dengan sukacita akan memindai dan menandai baju yang disenanginya di toko pakaian terbesar di kota kecilnya itu. Lalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk berbelanja di toko itu sepulang sekolah. Biasanya sih Adella, sahabatnya yang paling modis seperti dirinya. Terkadang Riana dan Enji juga ikut, kalau mereka tidak punya kegiatan ekskul. Sekarang, pandangan Emily seakan menembus baju-baju model terbaru yang dulu disenanginya. Semangatnya telah lama surut, penampilannya pun sudah tidak seheboh dulu.
"Kamu sedang melihat apa?," tanya Riana-sahabatnya-sambil menggamit lengan Emily. "Kalau mau melihat baju nanti aja. Kita ada ulangan matematika pagi ini, jangan sampai terlambat."
Emily mendesah. "Kamu salah. Aku tidak melihat baju. Tapi ini."
Tangan kanan Emily meraba sebuah selebaran yang ditempel di kaca toko, lalu merenggutnya lepas dan meremasnya menjadi gumpalan. Lantas melemparkannya ke tempat sampah.
Tak perlu membaca apa yang ditulis pada selebaran itu, karena Emily sudah hapal isinya diluar kepala. Kata per kata.
'Direktur PT. Zillian Persada, Benny Dirgantara, dilaporkan menghilang bersama karyawannya yang bernama Maya Natasha. Bagi pihak yang mengetahui keberadaan mereka diharapkan bersedia melapor ke pihak yang berwajib, atau menghubungi nomor WhatsApp 08xx 5551 3331'
Berita mengenai hilangnya Benny Dirgantara dan Maya Natasha sudah beberapa bulan ini berseliweran di layar kaca, memancing rasa ingin tahu publik. Reporter-reporter haus berita kerap berkumpul di halaman rumah Emily, membuat hari-harinya yang sulit terasa semakin sulit. Emily mulai merasa jengah diikuti para pencari berita. Kehidupannya mendadak kacau, bahkan untuk sekedar keluar hang out dengan sahabat-sahabatnya saja dia nyaris tak bisa. Emily juga mulai merindukan Ray. Merindukan saat-saat dia bisa pergi bersekolah berjalan kaki dengan tenang. Pergi hang out dengan sahabat-sahabatnya ke Slow Rock Cafe, satu-satunya cafe modern di kotanya yang kecil. Juga merindukan saat-saat belajar bersama Ray, cowok paling pintar di sekolah yang disewanya sebagai guru les, yang dicintainya diam-diam.
Namun tak ada yang mengalahkan rasa rindunya pada ibunya. Meski tak pernah menanggapi kata-katanya dengan serius, Emily merasa sangat bahagia saat bersama ibunya. Sayangnya karena dipicu perselingkuhan ayahnya, Tania Zillian, ibu Emily mengalami depresi yang berat, sehingga harus dirawat di sebuah klinik rehabilitasi mental di kota provinsi. Emily cuma bisa mengunjungi ibunya di akhir pekan, karena tempat ibunya dirawat terletak jauh diluar kota.
Apakah kalian mengira ibu Emily mendadak gila karena suaminya berselingkuh? Tidak, bukan begitu kenyataannya. Tania Zillian memang sudah lama menderita bipolar, depresi dan anxiety sejak dia masih menjadi seorang penyanyi terkenal di Indonesia. Belakangan penyakitnya itu semakin parah, dan mulai terendus oleh media massa. Penampilan Tania semakin kacau, karirnya perlahan-lahan mulai terjun ke jurang. Itulah sebabnya mengapa mereka memutuskan pergi meninggalkan ibukota dan pindah ke kota kecil tempat kelahiran Tania. Apalagi nenek Emily kemudian meninggal, mewariskan usaha keluarga yang sudah cukup besar, sayang jika tidak diteruskan.
Meski sangat menyukai kota kecil yang indah ini, terkadang Emily menyesali kepindahan mereka kesini. Jika mereka tidak pindah kesini, mungkin sosok bernama Ray dan Maya tidak akan pernah mereka kenal. Emily tidak akan jatuh cinta pada Ray, pun demikian ayahnya juga tidak akan mengkhianati ibunya demi Maya.
Mungkin ibu Emily masih menderita gangguan jiwa, tapi mungkin tidak akan separah ini keadaannya. Mungkin Ayahnya masih pergi bekerja dengan wajah merengut karena terpaksa meninggalkan hobby-nya melukis, tapi setidaknya mereka masih bersama-sama. Mungkin Emily tidak akan mengenal cinta pertama, namun itu bukanlah akhir dunia. Waktunya masih panjang untuk jatuh cinta lain kali.
Namun takdir bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Kenyataan juga bukanlah sesuatu yang bisa diedit. Karena hidup bukanlah sebuah skenario film yang bisa ditulis ulang, disesuaikan dengan keinginan sutradara.
Hidup ya hidup. Jalani atau mati.
That's it.
Sesederhana itu. Namun sekaligus rumit.
.
.
.
.
Kota Alpan, Agustus 2020
"auu..wuuu...uuu aaa' uuu aaa'!"
Emily menghentikan langkahnya di lereng bukit, memandang hamparan danau Kembar di depannya. Pesona Danau Kembar di kota kecil ini selalu saja membuatnya terpesona, terbius oleh pancaran magis awan-awan putih yang berarak menaungi danau. Bagai payung-payung putih yang melindungi hamparan air berwarna biru kehijauan itu dari sengatan matahari.
Tadinya Emily bermaksud meneruskan langkahnya mendaki bukit kecil ini. Namun sesuatu menganggu kegiatan hikingnya pagi itu. Bunyi suara anak-anak menggema memecah hening pagi.
"uuu aaa' uuu aaa'"
Mata Emily menyipit. Darahnya seketika berdesir.
Meski melihat dari kejauhan, Emily bisa menebak apa yang terjadi. Segerombolan anak-anak menganggu seorang anak berkebutuhan khusus autis yang baru pindah ke kota ini beberapa hari yang lalu.
Anak-anak itu, sekitar lima atau enam orang mengelilingi anak lelaki penyandang autis itu dengan menirukan gerakan seekor monyet. Iya monyet! Kentara terlihat dari gerakan tangan mereka yang pura-pura menggaruk kepala dan perut, disertai suara uuu aaa' yang riuh. Anak-anak itu berteriak dan mendesak korbannya sampai ke tepian danau. Si anak laki-laki autis terlihat ketakutan, kaki dan tangannya menyentak-nyentak panik.
Bergegas Emily berlari menuruni bukit sambil berteriak marah, mencoba menghalau anak-anak nakal itu.
"Oiii...dasar nakal kalian ya! siapa yang ngajarin kalian membully, hah!? Awas kalau diulangi lagi, aku adukan pada ayah kalian!"
Mendengar teriakan Emily, anak-anak tadi serentak berhamburan. Mereka semua mengenal Emily, anak pemilik perusahaan perkebunan terbesar di kota itu. Sebagian besar orangtua anak-anak itu bekerja di perusahaan yang dikelola ayah Emily. Tentunya ancaman akan diadukan mampu membuat mereka semua lari tunggang langgang ketakutan.
Emily mendekati anak laki-laki autis itu, mencoba menenangkannya. Tapi anak itu malah menjerit-jerit dan berteriak dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti Emily.
"Terimakasih sudah membela Chris," sebuah suara membuat Emily menoleh. Seorang cowok bertubuh jangkung mendadak muncul dan menghampiri si anak laki-laki yang tantrum, membujuknya dengan kata-kata lembut dan suara menenangkan. Selang beberapa menit saja anak mulai tenang, cowok itu berjongkok, mengajak si anak lelaki itu untuk naik ke punggungnya. Lalu menggendongnya pulang.
Emily masih membeku. Anggukan dan senyuman cowok itu ditanggapinya dengan malu-malu.
Tubuh itu, bukanlah tubuh kekar sempurna, bukan pula tubuh sexy ala artis-artis Korea. Dan wajah itu, tidaklah setampan wajah artis sinetron remaja. Namun secara keseluruhan, kemunculan sosok itu mampu membuat dunia Emily mendadak bergeming. Denting simponi cinta mendadak riuh mengalunkan nada dihatinya.
Pagi itu, Emily merasakan sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya bisa terjadi pada dunia nyata: jatuh cinta pada pandangan pertama.