Teman dari gadis SPG yang mengaku kenal dengan Nakula datang. Laki-laki itu dengan tenang menatap ke arah Jane dan Nakula.
"Tolong diajari temannya ini. Kalau sama pelanggan, jangan seenaknya. Bekerja yang profesional. Memangnya dia yang punya toko?" ucap Jane dengan kesal.
"Maaf ... maaf. Teman saya baru di sini. Jadi belum benar-benar paham peraturannya. Biar saya saja yang melayani Kakak ya."
Laki-laki itu tersenyum manis. Dia begitu sungkang menatap wajah Jane yang masam. Sementara Nakula tidak ada ekspresi. Di dalam benaknya, sudah tercetak masalah besar yang harus mereka tanggung.
"Alya, ke belakang dulu sana," ucap pria yang sudah menolongnya.
"Tapi—"
Alya masih tidak terima. Gadis itu mendapat pelototan galak dari seniornya.
"Oke. Tapi dicatat penjualan atas namaku ya."
Alya berbisik di telinga temannya. Hal itu masih saja terdengar dari telinga Jane. Dia menatap ke arah Nakula.
"Terserah kau saja Sayang. Mau cari yang lain juga tidak apa-apa," ucap Nakula yang mengerti arti tatapan Jane.
Jane yang sedang emosi seketika mereda. Panggilan Sayang yang Nakula lemparkan dengan begitu lembut, mampu menghipnotisnya.
"Ya sudah saya jadi ambil," ucap Jane setelahnya.
Pria di depannya itu tersenyum. Syukurlah masih ada kebaikan hati dari customernya ini. Tinggal bagaimana dia nanti membuat perhitungan pada anak baru tersebut.
"Aku pikir kau akan pergi dari sana dan meninggalkan semua belanjaan kita. Lalu kau akan naik taksi dan meninggalkan aku sendiri," ucap Nakula terkekeh.
"Iya tadinya memang akan begitu kok," ucap Jane dengan santai.
Dia sudah merobek keripik singkong yang tadi mereka beli. Tidak lupa menyodorkan pada mulut Nakula yang sedang menyetir di sebelahnya.
"Kok bisa berubah pikiran?" tanya Nakula heran.
"Mas-Mas SPG tampan, aku suka deh."
Ckit.
Nakula mengerem mendadak. Untung saja jalanan sudah sepi. Tidak ada mobil atau kendaraan lain di belakang. Kalau ada mereka bisa celaka.
"Apa sih Nakula. Kan bisa pelan-pelan."
Jane yang keningnya terbentuk dashboard kesal sekali dengan Nakula. Bisa-bisanya pria itu mengerem mendadak seperti ini.
"Maaf Jane. Itu semua juga karena kau yang asal bicara saja."
Kening Jane Nakula elus sebentar. Barulah dia menjalankan kembali mobilnya.
"Sakit ya?" tanya Nakula tanpa rasa berdosa.
"Tidak kok. Ini mah tidak ada apa-apanya, dibanding omelan bos yang buat sakit kepala," sindir Jane.
"Ck. Kapan aku marah-marah si Sayang?" ucap Nakula yang mana panggilan sayang itu tidak hilang. Buat Jane berpaling ke arah jendela.
"Nakula itu ada warung bakso. Kita makan di situ saja ya."
Jane menunjuk gerobak bakso yang mangkal depan gedung apartemen miliknya.
"Yah kok makan bakso. Katanya mau masak."
Meski berkata begitu, Nakula tetap menepikan mobil.
"Malas ah sudah keburu lapar. Kalau tidak mau ya sudah biar aku saja yang makan."
Nakula tetap ikut Jane turun. Dia langsung ke penjual.
"Dua dibungkus saja Pak," ucap Nakula.
"Eh. Makan sini saja."
Jane tentu saja protes. Mana enak kalau dibawa pulang lebih dulu.
"Sudah malam, mendung juga di luar. Bawa pulang saja."
Jane hanya bisa pasrah saat penjual memasukan bakso ke dalam plastik. Dengan sedikit tidak iklas menerima dari tangan Nakula.
"Kau bawa yang ringan saja. Biar aku yang berat," ucap Nakula saat mereka sudah mulai masuk apartemen.
Jane menurut, tenaganya juga sudah mulai habis untuk berdebat.
Di dalam apartemen juga Nakula yang menyiapkan makanan. Jane hanya duduk dan memperhatikan kecekatan Nakula.
"Lelah ya Nyonya. Ini makanannya."
Nakula tersenyum lebar. Disodorkannya semangkok bakso ke hadapan Jane.
"Terima kasih Bos. Sudah malam begini masih fit saja," ucap Jane yang penasaran dengan Nakula.
Baru akan menyendokkan kuah ke mulut. Jane harus terpaku lagi merasakan kehangatan tangan Nakula yang mengikat rambutnya ke atas. Dia sendiri saja tidak sadar kalau rambutnya terurai.
"Eh, terima kasih."
"Sama-sama. Kalau semakin malam, memang aku akan lebih kuat kok. Mau coba?" ucap Nakula dengan seringai mesumnya.
Jane hanya bisa mencibir. Dia begitu sebal jika Nakula selalu saja bercanda seperti itu.
"Cepat habiskan makananmu Nakula. Aku sudah mengantuk. Besok saja beres-beres belanjaannya."
"Aku bantu nanti. Kalau tidak masuk kulkas segera, sayuran itu akan busuk. Belum lagi daging-daging yang kita beli tadi."
Jane memutar bola matanya malas. Dia sudah akan belanja sedikit. Tapi Nakula membawa terlalu banyak. Jika begini salah siapa coba.
"Ya terserah saja. Tapi besok saya terlambat saja datangnya," ucap Jane santai.
"Memangnya kenapa?" tanya Nakula heran.
"Ya karena kelelahan kau kerjai seperti ini," ucap Jane tidak acuh.
"Oh betul juga. Kau tidak masuk saja tidak apa-apa kok. Asal dua ronde ya."
Jane hampir saja menyemburkan bakso yang baru masuk ke mulut. Untung saja dia ingat begitu sayang membuang-buang makanan.
"Itu mulut sudah napsu sekali. Bisa tidak direm lagi."
Nakula tersenyum manis. Yang mana senyum itu membuat jantung Jane berdetak begitu keras.
"Maklum, lama tidak dapat jatah," ucap Nakula santai.
"Memang istrinya orang mana?" tanya Jane iseng.
"Singapura."
Mendengar jawaban Nakula, Jane merasa ada yang menyentil relung hatinya. Tapi dia merasa lega jika Nakula jujur seperti ini. Jadi tidak ada lagi bau harapan dalam dirinya.
"Oh," ucapnya singkat.
"Kau sudah selesai, biar kucuci langsung mangkoknya."
Jane mau menolak, tapi Nakula sudah mengambilnya. Pria itu begitu cekatan melakukan pekerjaan rumah. Beruntung sekali Perempuan yang menjadi istrinya.
"Jangan bengong saja. Itu daging-daging bawa masuk freezer. Nanti busuk."
Jane yang sedang memandang ke arah Nakula tersentak. Dia melihat ke tumpukan belanjaan dan memilah untuk segera dirapikan.
Pukul sepuluh malam, semua telah selesai. Tapi Nakula tidak ada tanda-tanda akan pulang.
"Ehem Nakula. Aku mau mandi," ucap Jane yang kata-katanya harus terputus di tengah jalan. Yang mana membuat Nakula menoleh.
"Maksudnya kau mau ajak aku mandi bersama begitu?" ucap Nakula senang.
"Ya tidak. Maksudku, apa kau tidak pulang? Ini sudah malam."
Jane mendadak kesulitan bernapas saat wajah Nakula mendekat ke arahnya. Dia tidak bisa mundur, karena terhalang tembok.
"Di luar hujan. Aku menginap di sini ya. Besok pagi ke kantor bersama. Boleh kan?" tanya Nakula.
"Eh bagaimana ya. Tidak ada baju laki-laki di sini."
Jane memberikan alasan. Tidak mungkin juga Nakula tidak berganti pakaian. Keringat seharian pasti membuat tidak nyaman.
"Aku beli kok tadi sekalian. Tenang saja perkara itu."
"Hah!"
Nakula tersenyum misterius. Yang mana membuat Jane bergidik ngeri.
"Kau seperti merencanakannya."
Jane ketakutan sendiri saat tangan Nakula melingkar ke lehernya. Desiran itu begitu aneh. Dia hampir meledak takut saat ini.
"Ya bagaimana ya. Kau yang mengundang sih," bisik Nakula tepat di telinga Jane.
***