Chapter 2 - Kepergian

"Belum tentu dia tidak tahu, Robinson. Bagaimana kita bisa tahu? Sudahlah," Matthew mencoba kembali menenagkan Robinson, dia mulai bisa menguasai diri.

"Nah, begitu lebih baik. Dengar Robinson, ketika aku bertemu dia untuk yang terakhirnya."

Matthew menceritakan pesan-pesan yang pernah dibicarakan oleh almarhum. Almarhum adalah orang yang teliti dalam mempercayai seseorang, dia tidak akan mudah menilai orang hanya dari luarnya.

Hal ini dibuktikan, dia mengakui Erick Robinson adalah anak baik, dia tahu caranya berterimakasih. Dalam status sosial ini, banyak orang tua lain tidak pedulikan pada anak kandungnya sendiri dan sebaliknya. Namun berbeda dengan Erick, dia berbakti kepada almarhum.

"Nah! Tidakkah kamu senang mendengarnya?" Matthew menghela nafas panjang, sebentar menatap Robinson, yang akhirnya menyeruput teh darjeelingnya kembali.

"Beliau pernah berkata, bahwa di dunia ini hanya ada satu orang yang benar-benar memiliki jiwa kesatria, yaitu Pak Roebuck Matthew." Robinson melihat kilas balik ingatannya bersama almarhum.

"Ah, teman lama selalu suka menyanjung. O ya, ada satu lagi yang selalu dia bicarakan sehubungan dengan dirimu. Tapi, aku ragu mengenai hal ini, apakah kamu sebaiknya tahu atau tidak." Nada bicara Matthew berganti lebih tenang namun ragu.

"Terserah Pak Matthew saja. Saya tidak bisa menghentikan kemauan seseorang untuk berbicara. Pak Matthew pasti memiliki alasan tersendiri untuk menyampaikan atau tidaknya." Kata Robinson tenang.

"Ini tentang putrinya." Matthew kembali menatap Robinson.

Dia menjadi bersemangat ketika membahas ini, dia tahu siapa sosok yang akan dibicarakan dan segera lebih memperhatikan.

"Oh! Tentang Ann! Ada apa, kenapa dengan Ann?"

"Yah, almarhum senang karena Tuan Robinson bukan anak kandungnya. Sebab pikirnya almarhum, nanti kamu dan Ann ada," pipi Robinson memerah, "Sudahlah, mungkin seharusnya aku tidak membahas hal ini. Tapi, waktu itu ekspresi wajahnya sangat kelihatan bersungguh-sungguh."

"Andai saja saya memiliki kesempatan itu, Pak. Maksud saya, saya ini orangnya tidak terlalu mementingkan kekayaan ataupun dengan kedudukan. Karena saya tidak pernah ada ketertarikan untuk terjun dan bertarung di medan tempur." Robinson menjawab dengan keraguan.

"Ann adalah gadis yang berperasaan halus, tetapi dia sudah begitu terbiasa berada ditengah situasi seperti itu, sehingga dia beranggapan bahwa laki-laki seharusnya ambisius. Dia pasti tidak mau menikah dengan saya, karena dia tahu saya tidak akan menjadi orang sukses." Lanjutnya pesimis.

Matthew bangkit dari tempat duduknya. Dia ambil secangkir teh darjeeling dan berjalan ke perapian.

"Omongkosong! Kamu terlalu rendah hati, Robinson. Apalah yang diketahui gadis seumuran dia tentang bagaimana menilai seorang pria?" Tatapan Matthew serius tertuju pada lukisan tepat di atas perapian, lalu memalingkannya ke Robinson.

"Anak itu sebenarnya tipe gadis yang berbakti, tidak berani menentang kemauan ayahnya. Asal kamu tahu, sejak Ann mulai dewasa, seingatku belum pernah satu kali pun dia mengajukan kemauannya sendiri sebagai alasan untuk menolak sesuatu." Lanjut Matthew.

Dimasa itu anak perempuan, sejak dini sudah dididik untuk mentaati perintah ayahnya, karena perintah raja adalah mutlak. Ajaran orang-orang aristocrat kala itu, sangat mempercayai kehendak Dewa. Dan Raja adalah bentuk pengejawantahan Dewa yang kompeten dalam kepemimpinan sosial.

"Aku sering menasihati dia agara belajar memikirkan apa yang diinginkan hatinya. Terkadang budaya sosial kita memang sedikit kolot terhadap perempuan. Tetapi setiap individu berhak memiliki kehendaknya sendiri dan memilih jalan hidupnya." Matthew menuangkan pemikirannya yang maju.

"Tentu, saya sepemikiran dengan Pak Matthew. Tapi, Pak, saya tidak mau melamar Ann yang semata-mata hanya untuk memenuhi niat Bapaknya." Robinson berdiri dan sedikit mengeres kursinya, tangannya menangkis udara.

"Mungkin sebaiknya tidak. Eh, memang tidak boleh. Ya, kamu tidak boleh melamar Ann semata-mata hanya karena keinginan bapaknya. Kamu harus bisa membuatnya balik menyukaimu."

"Ann pasti akan senang sekali apabila dia bisa memenuhi keinginan ayahnya sekaligus keinginannya sendiri. Tapi, kamu pasti akan melamar dia, kan?" Matthew bergerak ke belakang Robinson sambil memegang pundak rampingnya itu.

"Setidaknya saya bisa menjamin, bahwa saya tidak akan melamar gadis lain." Dengan yakin Robinson menjawab dan berbalik menatap Matthew.

"Baahh, untuk apa pakai gadis-gadis lain segala! Ann pasti akan menerima lamaranmu," tiba-tiba wajah Matthew muram, "sayangnya, kamu punya satu kekurangan fatal."

"Kekurangan apa, Pak? Eh maksud saya, saya punya banyak kekurangan. Kekurangan yang mana Pak matthew maksud?" Robinson terkejut dan cemas.

Matthew mengambil sebuah buku bercover warna hitam dan merah, judulnya ditulis dengan tinta emas dari atas meja. "Lihat ini, Robinson. Aku sekarang sedang memegang sebuah eksemplar buku yang paling bejat, buku paling keji yang pernah lolos tangan sensor." Matthew memegang buku itu dengan sarung tangannya.

"Aku belum membacanya. Aku tidak akan pernah mau mengotori pikiranku dengan sampah seperti ini. Tapi, aku sudah membaca apa kata sudat kabar tentang buku ini. Judulnya saja sudah cukup bagiku," Matthew membacanya, "Buku Pegangan Revolusioner, oleh Freud Macgregor, Anggota Kelas Berada yang Malas."

"Tapi, Freud kan." Robinson tersenyum.

"Demi Semesta! Jangan kamu sebut si pembawa petaka itu di dalam rumahku!" Matthew melempar buku itu ke dalam tempat sampah. Setelah merasa lega dia mendekati Robinson dan berbicara dengan serius.

"Robinson, keyakinan ku dari almarhum tentang kebaikan hatimu. Aku juga tahu bahwa orang ini adalah bekas teman sekolahmu dan merupakan sahabatmu sejak kecil. Tapi, dengar dengan sungguh-sungguh, aku meminta kamu untuk memikirkan perubahan yang telah terjadi." Matthew berjalan memutar.

"Kamu sudah seperti anak sendiri bagi almarhum sahabatku dan kamu pun diizinkan tinggal di rumahnya. Dengan sendirinya teman-temanmu pun bebas keluar masuk, termasuk Si Freud ini." Lanjut Matthew.

Matthew mengambil sedikit jeda dengan berjalan ke jendela untuk mendapatkan udara segar. Dibaliknya sudah terdapat barisan pasukan, mereka baru saja pulang dari pemakaman. Semuanya berstelan serba hitam, tanda masih dalam situasi berkabung.

"Robinson, kamu memanggil Annie dengan nama baptisnya, dia pun begitu. Selama ayahnya masih hidup, aku tidak punya hak untuk ikut campur. Itu bukan urusanku."

"Tapi, Robinson, sekarang Freud sudah dewasa dan Annie sudah menjadi seorang wanita, dan bapaknya sudah meninggal. Kita memang belum tahu persis apa isi surat wasiatnya dengan diriku, tetapi aku yakin bahwa akan ditunjuk oleh surat itu untuk menjadi wali Annie." Kata Matthew.

Robinson kembali duduk tenang. Dia bersiap mendengarkan lebih banyak. Matthew berdiri di dekat jendela, matanya menyorot ke arah Robinson.

"Sekarang aku tidak mau kalau Annie sampai berdekatan dengan Freud hanya karena semata-mata Annie tidak mau menyinggung perasaanmu. Itu tidak adil. Itu tidak boleh terjadi! Nah, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Matthew.

"Tapi, Pak, Annie sendiri sudah menerima Freud, apa pun pandangan dan pola pikirnya, Freud akan tetap disambut baik sebagai seorang yang pernah mengenal almarhum." Jawab Robinson dengan optimis.

"Edan!" Matthew jengkel, dia berjalan menuju patung John Bright yang sama sekali tidak menunjukkan simpati pada Matthew. Sambil berbicara Matthew mendekati patung Herbert Spencer yang juga sama acuhnya.

"Sebelumnya aku meminta maaf, Tuan Robinson. Aku selalu berpendapat bahwa toleransi sosial juga ada batasnya. Kamu tahu aku bukan orang yang fanatik ataupun punya prasangka. Aku sekadar Roebuck Matthew, tanpa embel-embel seperti aristocrat lainnya."

"Aku berdiri tegak membela keadilan dan kebebasan nurani, sementara mereka membungkuk-bungkuk di depan peribadatan dan opera. Kesempatan demi kesempatan telah direnggut dari Groningen dan diriku, karena pandangan-pandangan kami yang maju," Matthew berhenti sejenak mengambil napas panjang.

"Tetapi, aku masih tahu batas anarkisme, cinta bebas, leberalitas dan semacamnya itu. Kalau Annie memang berkenan menjadi anak asuhku, dia harus belajar menghormati keinginan walinya dan mendiskusikannya denganku terlebih dahulu. Sampai hati aku tidak rela, sungguh tidak rela, kalau Freud Macgregor memasuki rumah ini. Ann harus melarangnya masuk, dan kamu juga." Lanjut Matthew.

Bebarengan kepala pelayan masuk kembali ke ruangan. Dia tampak memiliki pesan penting yang harus segera disampaikan.

"Tapi.." Robinson terhenti bersamaan kedatangan kepala pelayan.

Matthew mengalihkan perhatiannya ke kepala pelayan, "Sebentar, Robinson. Ada apa?"

"Tuan Freud Macgregor ingin bertemu dengan Anda." Jelas kepala pelayan. Seluruh ruangan terdiam. Kedua orang itu syok dengan kedatangan Freud yang secara mendadak.

"Freud Macgregor!" Matthew terkejut.

"Astaga Freud!" Sahut Robinson.