Setiap malam salju turun lebat sampai jalanan tertutupi setebal empat puluh centimeter. Meski begitu tidak menghentikan aktivitas warganya, mereka masih bisa berlalu-lalang untuk pergi bekerja.
Rumah makan juga tampak ramai di musim dingin ini, mereka menyediakan sup panas gratis untuk pekerja lapangan. Ada juga kios baju hangat yang selalu diserbu pelanggannya.
Wajar saja, bisnis adalah musiman. Jadi ada pepatah tengkulak bilang, bila ingin memperoleh laba tinggi harus tahu musimnya.
"Salju deras sekali sepanjang musim ini." Kata Rose yang membeku di jendela, dia suka melihat hirup-pikuk orang-orang yang berjalan menerjang salju.
"Ya, sejak Desember." Sahut Freud yang masih sibuk dengan berkasnya.
"Rasanya aku sampai merindukan hujan." Lanjut Rose.
"Jangan bercanda, Rose. Negri ini telah menimbun terlalu banyak dosa; penyamun, perampok, penculik, bahkan tikus berdasi berkeliaran bebas hingga langit kebanyakan terlihat menangis. Kau senang melihat hal seperti itu?" Tanya freud, dia mengambil pemantik dan mulai kembali menyalakan tungku arang agar tehnya tetap hangat.
"Kurasa bagus! Manusia selalu bersikap bodoh yang membuat bumi kotor, dan langit membersihkan kotoran manusia di bawah sini." Kata Rose.
"Dari mana kau dapat kalimat itu." Freud terkejut atas pernyataan Rose.
"Oh, ayolah! Aku ingin rumput hijau lagi! Freud!" Lanjut Rose.
Freud tersenyum. Dia ikut menatap ke luar jendela. Salju memang tak lelah turun sejak permulaan musim. Bahkan membuat para tamu yang menghadiri pesta pada malam Natal kemarin dibuatnya terpaksa menginap, dan merayakan Natal di pagi harinya.
"Surat kabar pagi ini memberitakan ada banyak orang meninggal karena badai salju." Rose mendapati tangannya mulai membeku dan menggosoknya perlahan.
"Ya, seperti Gold Blood." Jawab Freud.
"Gold Blood karya Yuval Doherty." Kata Rose sambil tersenyum, karena semalam mereka baru membacanya.
Karya itu menceritakan petualangan seorang penyair. Dia hanya mementingkan karyanya dan membuat syair setiap harinya. Makan dan minum tidak diperhatikannya, apalagi menabung kesiapan di musim dingin. Sampai tiba di musim dingin yang semuanya serba sulit, dia kelaparan dan mati karena kesalahannya sendiri.
"Kurasa itu cara yang sangat anggun untuk meninggal dalam keadaan utuh, tubuh akan tetap pada sikapnya saat hidup. Bukankah sebuah mahakarya Alam." Freud menghampiri Rose, tangannya mengusap perlahan tangan Rose sedingin es.
"Kau punya selera yang aneh, Freud. Mati membeku!" Kata Rose tegas. Freud menyeringai, kembali mengambil cangkir tehnya, meminta Rose untuk memegangnya.
"Hangat, Freud!"
Rose bertemu kembali dengan Freud dari perpisahan panjang, kira-kira lebih empat tahun sejak peristiwa itu. Banyak atau tidak yang berubah, mereka tidak tahu. Tapi yang paling terlihat adalah perubahan besar, Freud.
Freud transisi ke dewasa, sekarang hampir tidak pernah lagi menangis, dia lebih sering menenggelamkan diri ke tumpukan berkas-berkas dan buku.
Hal ini membuatnya lebih terlihat gentleman, kutu buku, dan sekarang Freud sudah menjadi orang terpercaya di kementrian arsip negara.
Rose kembali menatap Freud. Terlihat mata cokelat yang lembut, tubuhnya tinggi beberapa belas sentimeter dari Rose. Dadanya semakin bidang, suaranya sedikit berat, dan gaya rambutnya berubah. Tapi dia tetap laki-laki paling manis, paling lembut, paling cerdas, dan paling tampan disepanjang London. Versi Rose.
"Kau tidak pernah meminta kembali ke kampung, Rose." Kata-kata Freud membangunkan lamunan Rose.
"Kau tidak ingin pulang?" Tanyanya kembali.
Rose menggeleng. "Untuk apa? Aku sudah tak punya apa-apa di sana. Keberadaanku di sini sekarang, menemanimu."
Freud tersenyum tipis. Memang sudah banyak hal yang mereka lalui bersama. Mereka sudah perlahan-lahan bisa membaca ekspresi dan saling melengkapi. Tetapi wajah Freudlah yang mudah ditebak, meski dia tak mengucapkan sepatah pun kata. Tetapi sekarang, dia menginginkan pergi.
"Mau ke pasar? Festival di Mountain Gralova?" Tawar Freud.
Freud menyodorkan secarik brosur festival itu, warna yang meriah pastilah selalu menarik pembacanya. Kini Freud kebelet ingin pergi ke sana.
"Ayolah, selagi masih siang. Hari ini sudah tidak ada jadwal pertemuan, semua sudah kosong. Kamu tahu, kan? Aku akan sakit jika terlalu lama terperangkap di sini," lanjutnya.
"Freud, baru saja aku memberitahumu dari surat kabar pagi ini, bahwa banyak orang tewas di musim dingin. Dan aku akan termasuk di dalamnya kalau mengajakmu keluar." Tegas Rose jengkel.
"Yah kita bisa pergi diam-diam, kan?" Freud tersenyum nakal.
"Kau mau aku berlutut?" Lanjutnya. Rose tersenyum. Freud sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Jangan konyol." Rose tertawa.
"Rose, istana ini telah membelenggu pikiranku, tradisi dan aturannya akan membunuhku perlahan. Disini tidak ada kebebasan. Please, temani aku keluar." Pinta Freud.
"Berlutut," Rose memberi perintah.
Freud perlahan menjatuhkan tubuhnya dan berlutut. Rose tertawa, lalu cepat menariknya berdiri.
"Memalukan sekali, Freud Macgregor, kau berlutut di depan adikmu! Ayo, pergi!" Kata Rose membawa Freud pergi.
...
Mountain Gralova Fun Fair adalah festival perayaan jalur perdagangan lintas provinsi, yang digelar selama satu pekan. Mereka menggelar bermacam-macam kedai. Terdapat juga atraksi pertunjukan, namun hanya beberapa seperti tari es.
Freud sudah lama ingin mengunjunginya. Tetapi dia selalu tidak bisa keluar dari istana vampir itu. Istana yang menghisap setiap kebebasan yang ada.
"Untunglah, kali ini aku berhasil membujuk Rose." Freud bergumam.
"Ada yang kau cari, Freud?" Tanya Rose.
"Tidak juga. Aku hanya inggin melihat-lihat." Freud menatap berkeliling.
"Freud Macgregor!" Begitulah ketika marah, Rose akan menyebut nama lengkap lawan bicaranya. Biasanya hanya ke Freud saja, lainnya tidak.
"Jangan sampai kita pergi sia-sia. Lihat ada penjual buku. Kau mau ke sana?" Rose menunjuk ke sebrang jalan, terdapat toko dekat jembatan. Freud melihat toto yang ditunjuk Rose, dan mengangguk setuju.
Freud dan Rose berada di London sebagai utusan negara yang bertanggung jawab atas ekspor-impor batu bara. Sejak bulan April, mereka terjebak dalam penuntasan kasus Aristocrat korup sampai bulan Januari.
Karena itulah Freud berada di istana vampir atau istana negara sepanjang musim, dan memerlukan sesuatu sejenak untuk mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan.
"Apa ini Literasi Majalah bulan Desember?" Tanya Freud, membalik sebuah majalah dan membacanya sekilas.
"Hai, Nak. Sayang sekali, minggu depan baru datang edisi Januari. Apa yang kau baca?" Tanya si penjual.
"Memories of Queen Vegas," jawab Freud, merogoh uang ke dalam saku mantel.
"Itu juga kesukaanku. Ada juga Crazy Mr. Tubles! Masuklah, Nak, liat-liat lagi. Aku punya banyak." Pemilik toko merasa senang.
Freud mengangguk dan memasuki tokonya.
Diambilnya beberapa eksemplar, dia memang maniak buku. Puas dengan buku mereka meninggalkan toko dan membawa dua buah buku. Mereka berjalan melihat-lihat toko piringan hitam di sebelahnya. Rose terlihat memiliki ketertarikan pada musik dan suaranya memang luar biasa.
"Kau mau ke mana, Rose?" Tanya Freud.
"Entahlah." Rose mengangkat bahu.
"Aku tidak terbiasa belanja." Sambungnya.
"Kau tidak pernah ke festival?" Tanya Freud.
"Kamu mengejekku, Freud? Tentu saja pernah. Ada banyak festival di kota lama, seperti festival musim hujan, yang paling kusuka. Banyak sup jamur, jamur panggang, anggur segar, kue-kue, madu, dan pai rum." Rose fokus menceritakan.
"Malam hari kami mengumpulkan ranting apel dan menari dekat api unggun sambil bernyanyi. Menyenangkan sekali." Wajah Rose terlihat girang, pipinya memerah mendapati Freud memandanginya.
"Apa lagi yang kalian lakukan di musim Hujan?" Tanya Freud.
"Kami sering meluncur di atas aliran air di bukit, atau menunggu pelangi dari rumah pohon. Tapi tentu saja yang paling menyenangkan adalah sup golem."
"Sup golem?" Freud mencoba memahami.
"Yess, Sir, sup golem."
Sup golem adalah hidangan khas kota lama. Pada hari paling dingin dan hujan lebat, atau kapan pun masyarakat merasa bosan, mereka akan membawa tungku batu besar ke aula kota. Semua warga sekitar akan membawa bahan masing-masing yang dimasukkannya bersama kaldu kemudian memakannya bersama-sama.
"Kedengaran menyenangkan sekali, beramai-ramai memasukkan bahan sup yang berbeda-beda lalu memakannya bersama teman-temanmu. Tentu saja, karena semua orang punya teman di kota lama." Freud tersenyum.
"Ya, memang! Asyik sekali." Rose tersenyum.
"Jika demikian, kenapa kau tidak ingin kembali ke kota lama? Kalau aku jadi kau..." Freud memandang dalam ke mata Rose.
"Aku akan bertanggung jawab pada pekerjaanku, Freud." Sambung Rose. Dia tersenyum dan meraih tangan Freud untuk meyakinkannya.
"Oh, Freud, aku tidak akan pergi. Aku adikmu yang diangkat oleh keluarga Macgregor beberapa tahun lalu dari panti greja, kalau saja tidak karena peristiwa mengerikan itu, mungkin aku masih di kota lama." Rose menatap Freud dengan sedikit genangan air mata.
Freud mengangkat bahu, merasa empati meski mungkin tidak diperlukan. Freud mencoba berpikir, setengah berharap bisa menemukan sesuatu untuk menghibur Rose. Dilihatnya permainan memanah di sebrang tempat mereka berdiri dan segera menarik Rose.
"Pilih satu." Kata Freud.
"Aku?" Tanya Rose.
"Astaga, aku tidak tahu." Dia tertawa.
"Kau tetap seperti dulu, Rose. Apa susahnya memilih?" Freud sedikit memaksanya.
"Oke, jangan marah." Lanjut Rose.
Kemudian Freud fokus membidikkan busur panah yang diberikan pedagang ke arah arloji saku yang dipilih Rose, menarik busur, dan ....
"Wow! Luar biasa! Akurasimu semakin baik saja, Freud." Teriak Rose.
Rose yang merasa senang spontan memeluk Freud. Pipinya menempel ke pipi Freud yang kemerahan karena malu, haru, dan senang. Freud membiarkan dirinya terbenam dalam kesenangan Rose.