"HAH!! APA YANG TERJADI!" Mereka panik.
Semua panik, bagaimana tidak lampu gantung bergoyang begitu hebat tepat di depan mereka. Aidan tidak berani lagi, ia memilih untuk lari meninggalkan Lisa dan Rival yang masih berdiri di depan pintu ruangan rahasia.
"Aidan!!" teriak Lisa gemetar, tidak ada cara lain ia pun berlari mengejar Aidan karena sama takutnya dengan terpaksa meninggalkan Rival bersama dengan arwah wanita yang sedang marah itu.
Rival sudah tidak peduli, ia pun memilih untuk meninggalkan tempat tersebut, namun dengan cepat lampu gantung yang ada di atas terjatuh, hampir saja menimpa dirinya. Rival mulai hilang kesabaran.
"APA MAU MU!" teriaknya.
[ "Apa lagi! Bawa aku masuk ke dalam ruangan itu!" ]
"Kau tau ruangan itu begitu bahaya untukku, jadi jangan macam-macam!"
[ "Kalau begitu aku akan terus seperti ini!! ]
Lampu gantung kembali hidup, menyala, terus seperti itu tidak henti, ini membuat Rival frustasi. Seharusnya dari awal ia tidak perlu tahu tentang arwah ini. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak tahu bakal seperti ini jadinya. Dengan langkah pelan, ia mencoba untuk mengetuk pintu ruang rahasia tersebut.
"Rival." Panggil seseorang.
Rival menoleh, di samping dua langkah dari tempatnya berdiri sudah ada Qabil, memandangi dirinya dengan tatapan heran. "Sedang apa kau du sini?"
Rival menarik kembali genggaman tangannya, mengurungkan niat untuk tidak mengetuk pintu.
"Tidak apa-apa, aku hanya-" ucap Rival terpotong.
"Kau sudah siap bertemu Tuan Eric?" tanya Qabil menebak.
Rival melihat arwah penasaran itu mengangguk, tanda agar Rival menyetujuinya, itu adalah cara untuk masuk ke ruangan tersebut, Rival memejamkan mata dengan kuat.
"Tidak." ucapnya dan berlalu pergi.
Arwah wanita itu tidak percaya kalau Rival akan melakukan itu padanya, ia mulai bersedih.
"Ada apa dengan bocah itu? Kalau tidak siap, untuk apa dia ke sini?" Qabil berjalan menuju pintu.
Tentu saja arwah murid wanita itu memperhatikan Qabil, matanya terbuka lebar, seperti ia baru menemukan ide. Saat Qabil hendak menutup pintu, arwah itu menahannya untuk masuk, itu membuat Qabil kesusahan dan membuat dirinya menutup pintu dengan keras. Tentu saja itu membuat orang yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah Qabil berdiri dengan tatapan tidak suka.
"Maaf, sepertinya, pintunya sudah rusak." ucap Qabil, berjalan begitu saja, karena malu.
Tentu saja bukan karena pintu rusak tapi arwah murid wanita itu berusaha masuk dan sekarang ia sudah di dalam melihat suasana ruangan begitu berbeda dengan yang dulu.
~*~
Green baru saja sampai di sana, namun langkahnya terhenti saat melihat Lisa dan Aidan berjalan sebaliknya dari arah yang ingin ia lalui.
"Ada apa?" tanya Green kebingungan.
"Lupakan saja, arwah itu sepertinya mengamuk. Semua lampu ia goyangkan, itu sangat menakutkan." jelas Aidan.
"Pria macam apa kau! Lebih baik hilangkan saja gelar namamu dan kekuatannya api itu!" Lisa kesal.
"Memang tidak boleh aku takut pada semacam itu!?" balas Aidan.
Green melihat Rival berjalan tenang ke arah mereka.
"Rival. Di mana dia?" tanya Green, karena tidak melihat sosok arwah wanita itu di sisi Rival.
Tidak ada jawaban dari Rival, remaja laki-laki itu terus berjalan melewati mereka.
Lisa menunjuk Rival. "Ada apa dengannya?" tanya Lisa heran.
"Apa dia dirasuki arwah wanita itu?" Aidan berpendapat.
Lisa tidak menerima ucapan Aidan, dengan refleks ia memukul bagian belakang Aidan.
"Apa yang kau lakukan!" Aidan kesal dengan perlakuan Lisa.
"Jaga bicara mu itu."
Green tidak sanggup lagi, ia memilih meninggalkan mereka yang masih bertengkar. Ia terus berjalan mencari sosok Rival. Namun langkahnya terhenti, saat melihat Lyne yang berjalan masuk ke dalam kegelapan, itu membuat dirinya penasaran.
"Apa yang dia lakukan? Lyne!" Green mencoba mengejar.
Namun sayang, ia kehilangan jejak saat bergabung memasukki bayangan hitam pantulan dari tembok kastil, di sana tidak ada apa-apa selain tembok batu alam. Lalu kemana Lyne? Pertanyaan itu yang terus terucap di belakangnya. Green mencoba menelusuri setiap kastil tersebut. Tetap saja tidak apapun.
"Hah... Apa aku salah ya? Mungkin saja aku salah orang. Kalau begitu aku harus cepat kembali ke kelas, bisa-bisa reputasi ku sebagai murid teladan hilang begitu saja." ucap Green.
Green memilih jalan melewati taman, karena lebih cepat dari jalan biasanya. Namun nasibnya kali ini sedang buruk atau apapun itu, tanpa disengaja ia menginjak sesuatu yang rapuh. Jika itu daun kering itu tidak mungkin.
AAKKGG!!!
Green terjerembab ke dalam lubang yang dalam.
~*~
Lisa terus melihat ke arah pintu, menunggu seseorang datang masuk ke dalam kelas. Namun yang ia tunggu tidak kunjung masuk ke dalam kelas.
"Di mana Green? Kenapa dia belum masuk kelas?" Lisa melihat Lyne masuk, berjalan melewati Lisa dan duduk di kursinya, tepat di depannya.
Rasa ingin bertanya pada Lyne harus sirna karena Lisa masih tidak berani mengajak ngobrol dengannya, bagaimana tidak, akhir-akhir ini ia dan Lyne kurang begitu akrab semenjak Rival akrab dengannya, tapi ini demi Green.
Dengan lembut Lisa mencoba menepuk pundak Lyne. Ia menoleh dengan tatapan muka yang dingin dan kurang bersahabat, Lisa merasa itu buka Lyne yang ia kenal, itu terlihat seperti orang asing yang menyamar sebagai Lyne.
"Ya?" tanya Lyne.
Lisa melambai-lambaikan tangannya, tanda dirinya sudah salah. "Maaf, bukan apa-apa." ucap Lisa merasa malu.
Lyne pun kembali ke posisinya. Benar dugaan Lisa, itu bukanlah Lyne sahabatnya, lalu di mana Lyne yang asli. Ini membuat Lisa pusing, belum tahu Green ke mana ini sudah ditambah Lyne yang begitu asing.
"Lisa..."Panggil Lyne, sudah menoleh melihat Lisa dengan tatapan yang begitu membuatnya merinding ketakutan.
"Ya?" Jawab Lisa ngeri.
Lyne terdiam beberapa saat, membuat Lisa menunggu apa yang ingin Lyne kata padanya, dengan sedikit gerakan tangan untuk menghilangkan kegugupannya.
"Kira-kira ke mana Green?" tanya Lyne melihat tempat duduk Green yang kosong.
"Sebenarnya, itu yang ingin aku tanyakan padamu dari tadi. Tapi aku takut." jelas Lisa.
"Takut? Memang aku seseram itu ya?"
Lisa mengangguk.
Lyne tersenyum. "Kalau begitu maafkan aku."
"Hah! Tidak! Kamu tidak salah kok." Tolak Lisa.
Suasana semakin canggung, guru masih sibuk dengan pekerjaannya sebelum ia memberikan kami para murid berupa tugas mencatat apa yang sudah ia tulis di papan tulis. Lyne masih tersenyum, malah itu membuat Lisa semakin takut, memang lebih baik Lyne tidak tersenyum saja.
"Lyne." Panggil guru yang berjaga.
Lyne menoleh. "Ya?"
"Jangan mengobrol di jam pelajaran."
"Maafkan saya." Lyne menunduk merasa bersalah. Mencoba menunduk, lanjut mencatat
~*~
Green merintih kesakitan saat ia tersadar dari pingsannya, berusaha melihat sekitar. Green bisa merasakan energi negatif di dalam lubang ini.