Esok siang yang mendung, Thyria baru terbangun dari tidurnya di kamar. Dia menyingkap selimut dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Sebuah gaun dipilihkan pelayan rumah. Pelayan paruh waktu untuk bekerja mengurus rumah seluas ini.
Ayah mereka bisa saja mempekerjakan pelayan penuh waktu dengan tinggal seatap. Namun demi menjaga identitas Thyria yang bersifat sangat rahasia, maka mereka hanya bekerja di pagi hari sampai sore dengan pulang ke rumah masing-masing.
Setelah selesai mengurus penampilan Thyria, pelayan mengatakan kalau mereka telah menyiapkan sarapan pagi di meja makan seperti biasa. Seperti biasa juga Thyria tidak pernah bernapsu lagi dengan semua makanan mewah itu, di mana dulu sewaktu kecil dia masih bisa memakan apa yang manusia makan pada umumnya.
Tetapi seiring bertumbuhnya usia, napsu makan itu mulai berkurang secara teratur dari tahun demi tahun, sampai benar-benar tidak lagi tertarik pada makanan mereka selain darah. Thyria mulai menyadari perubahan itu ketika beranjak remaja. Sekarang di usianya yang ke dua puluh tahun, Thyria sadar bahwa dia dan keluarganya itu berbeda.
Ayah dan kakak. Mereka hanya hidup bertiga di rumah sejak dulu, tanpa pernah tahu keberadaan ibu mereka. Walau tahu dirinya berbeda dari mereka, Thyria tetap menganggap kedua pria itu sebagai keluarganya.
Keluarga yang sangat dia sayangi....
Ini adalah hari minggu, dan biasanya pria itu akan selalu berada di rumah, di ruang perpustakaannya.
Maka Thyria membuka pintu perpustakaan. Seperti yang sudah dia harapkan, pria itu terlihat duduk di sofa sambil menunduk membaca buku. Thyria hanya melihatnya dari sisi belakang, jadi dia menyelinap ke dalam dengan langkah mengendap-endap mendekati sofa yang diduduki Lancer.
Dalam hitungan tiga detik, Thyria segera melompat memeluk leher Lancer dari belakang, bermaksud untuk mengejutkannya. "Kakak!" Namun reaksi Lancer justru biasa saja seakan sudah mengetahui rencananya datang kemari.
"Apa kakak tidak terkejut?" keluh Thyria dengan nadanya yang terdengar kecewa.
Lancer tersenyum tipis. Buku tebal di tangannya lantas ditutup. Dia meraih kepala Thyria di sampingnya, wajahnya yang menoleh membuat mereka dapat menatap mata dengan lebih dekat. Sesaat Lancer tertegun melihat bagaimana cerahnya wajah pucat Thyria yang tersenyum lebar. Dari jarak sedekat ini membuat Lancer dapat memandangi iris rubby Thyria.
"Indah ...." gumam Lancer tanpa sadar.
"Huh? Apanya yang indah?" Thyria dapat mendengar suara kecilnya. Matanya mengerjap melongo dengan mimik penuh tanya.
"Kau." Lancer mengucapkan tanpa berpikir lagi. "Adikku yang cantik," tambahnya mengulas senyum lebar sambil mengusap kepala Thyria yang bermahkotakan surai hitam.
Tiba-tiba saja senyum lebar Thyria menyusut ketika pandangannya menatap leher Lancer. Leher itu tertutupi kerah kemeja putihnya, dan Thyria masih ingat dengan jelas bagaimana perbuatanya semalam. Ketika ingat dia telah melukai orang paling berharga, Thyria kembali murung. "Apakah itu terasa sakit?" tanyanya, mengubah suasana mereka menjadi canggung.
"Apa yang kau pikirkan? Duduklah di sini," ujar Lancer menepuk bantalan sofa di sisinya. Pria ini tidak ingin membahas tentang semalam. Baginya yang lalu biarlah berlalu. Hanya karena tidak mau melihat ekspresi muram itu menghiasi wajah Thyria yang cantik.
Lantas Thyria mengikuti perintahnya. Duduk di sebelah Lancer sambil menatapnya dengan khawatir. Lancer tahu itu, tapi dia tidak suka Thyria mengkhawatirkannya. "Aku baik-baik saja. Apa kau ingin kubacakan buku cerita?" tawar pria itu mengingat kebiasaan mereka dulu. Lancer sering membacakan buku dongeng sewaktu Thyria anak-anak.
"Apakah ada buku baru? Aku sudah membaca semua buku dongeng di perpustakaan ini," ucap Thyria memindai pandangannya ke sekitar, di mana seluruh dindingnya tertutupi dengan rak buku yang tinggi-tinggi, tidak ada satu space kosong yang tersisa selain penuh dengan berbagai macam buku.
"Tentu ada. Aku baru membelinya kemarin siang saat melewati toko buku dan teringat denganmu di rumah." Lancer itu lelaki yang sangat perhatian.
"Kenapa kau teringat denganku?" tanya Thyria dengan polos.
"Karena kau orang yang berharga," kata Lancer kemudian beranjak untuk mendekati sisi rak buku dan mengambil satu buku tebal di sana.
Pada saat itu tatapan Thyria menangkap sebuah koran yang terletak di sudut meja. Thyria iseng membukanya dan ternyata koran itu adalah koran baru di pagi ini. Sebuah judul terbaca olehnya dalam hati. "Apakah Pembunuhan Misterius Ini Dilakukan Vampir?" Thyria tertegun membeku. Tapi dia melanjutkan membaca isi berita dari judul tersebut sampai ke bawah.
Begitu Lancer berbalik, dia berderap dengan tenang ketika menghampiri gadis itu kemudian merebut koran dari tangannya. Sontak membuat Thyria terkejut. Dia menatap Lancer dengan kaget sebelum berdiri untuk merebut kembali koran itu. "Kakak, kembalikan, aku belum selesai membaca," kata Thyria meraih koran, akan tetapi Lancer tidak membiarkannya.
"Kakak~" rengek Thyria.
"Aku akan membacakan buku cerita yang lebih menarik dari koran ini," ujar Lancer mengelak.
"Tidak mau, aku belum selesai membacanya, sebentar saja~ ya?" Thyria tidak menyerah. Dia maju selangkah dan mencoba mengambil koran itu yang seketika disembunyikan ke belakang tubuh oleh Lancer.
"Tidak, sweetheart." Lancer menggeleng.
Thyria mengabaikan penolakan itu. Alhasil terjadilah perebutan koran dengan Lancer yang kekeh mempertahankan selama beberapa saat. Beberapa pelayan yang melewati pintu terbuka itu sempat melihat sekilas kakak beradik itu bermain-main.
Tiba-tiba Thyria salah melangkah, rok gaunnya terinjak dan membuatnya terhuyung ke depan. Tanpa bisa dicegah lagi Thyria jatuh, membuat Lancer terdorong ke belakang hingga mereka terjatuh bersama di atas sofa. Waktu seakan membeku, terhenti, ketika tatapan Thyria terkunci pada iris kuning Lancer yang berkilauan, hidung mereka yang bersentuhan, dan bibir mereka hampir saling bertemu.
Lalu mata rubby itu berpindah turun memandang leher Lancer. Semakin lama Thyria menatap lehernya, semakin membuatnya ingin mengulangi kejadian semalam.
Pupil Lancer yang terbelalak kaget, perlahan menatap Thyria dengan sorot hangat. Lelaki itu seakan tersihir oleh kecantikan Thyria yang murni ketika dia mengangkat tangannya dan mendorong tengkuk gadis ini mendekat. Membuat jarak wajah mereka nyaris terkikis, dan mata Lancer setengah terpejam menunggu bibir gadis ini menyentuh kulit lehernya.
Keduanya tidak ada yang tersadar lebih dulu untuk memperbaiki posisi mereka, karena dapat menimbulkan kesalahpahaman oleh dua pelayan yang menonton di luar pintu itu. Dua pelayan itu terkaget memelotot lalu dengan terburu-buru mereka pergi seolah tidak melihat apa-apa.
Tapi sedetik kemudian Thyria tersadar bahwa ini salah. Maka dia dengan terkejut sontak bangun dari atas Lancer. Jika terlambat sedetik saja mungkin lelaki ini sudah terluka untuk kedua kalinya.
Mereka terduduk dengan canggung. Thyria merasa malu akan hal barusan. Begitu juga dengan Lancer yang bungkam.
***