"Saka, Bapak ingin, kalian segera memberikan secepatnya keturunan untuk keluarga Asgala."
Degh.
Hampir saja jantung Sisy melompat dari tempatnya, sedangkan matanya yang bulat, semakin membulat sempurna, kini tatapannya dalam pada bapak mertuanya yang memakai kacamata bening.
Uhuk, uhuk, uhuk.
Saka seketika keselek dengan susu putih yang ia minum, hingga membuatnya membutuhkan air minum untuk menyegarkan tenggorokannya.
"Sesy, tunggu apa lagi! Berikan air minum untuk suamimu!" Perintah pak Johan, dengan begitu lembut.
Sisy yang sedang memikirkan pembicaraan pak Demian, seketika mengalihkan tangannya untuk mengambil gelas bening, dan mengisinya dengan air putih lalu memberikannya pada Saka.
Mata tajam Saka, hampir saja lepas saat menatap Sisy yang bergerak kurang cepat sebagai seorang istri, wajahnya memerah akibat menahan nafas.
Sedangkan Johan? Jangan ditanya lagi perasaan lelaki itu, ia sangat jengah dengan Sisy yang selalu saja tidak peka dengan keadaan.
Acara sarapan itu, berjalan dengan begitu hening, tak ada lagi obrolan yang keluar dari mulut siapapun, semuanya masih serba baru untuk mereka semua.
"Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor." Saka mulai berdiri dari tempat duduknya.
Semuanya mulai pergi dari tempat duduk mereka masing-masing, terkecuali dengan Sisy, wanita itu justru ingin membantu asisten hotel untuk membersihkan meja makan, namun segera dicegah oleh Renata.
"Cukup Sesy, ini bukan tugasmu, sudah ada pelayan di sini. Dan ternyata kamu adalah gadis yang baik ya, tidak seperti cerita Saka pada Mama." Renata mengelus rambut Sisy.
Mengulas senyum, Sisy merasa kalau Sesy ternyata memang benar tidak disukai oleh Saka, sehingga lelaki itu bercerita hal yang tidak-tidak pada ibunya sendiri.
"Dia memang baik, dia adalah gadis kecilku, Sisy Landina, dan bukan Sesy Diana." Alena, membatin dengan menatap wajah manis Sisy.
"Ehkm." Terdengar deheman dari seorang lelaki, dialah Saka, lelaki itu ingin sekali mencintai Sisy seperti seorang suami yang mencintai istrinya, tetapi ia masih saja tak bisa.
"Kalau begitu, Mama permisi dulu ya," ucap Renata, dan memberikan kode pada Sisy untuk menyalami Saka. "Ayo Jeng." Ajak Renata pada Alena. Akhirnya keduanya pergi meninggalkan Sisy dan Saka berdua di tempat itu.
"Apa kau pikir, dengan pujian Mama padamu seperti itu, bisa merubah perasaan benciku padamu? Hem. Tidak Sesy, aku tetap membencimu. Pernikahan ini! Tidak pernah aku inginkan!" Saka menatap tajam manik bulat dan bening Sisy.
Bibirnya terkatup dengan rapat, sedangkan matanya menatap tajam juga pada Saka, sebenarnya bukan hanya Saka yang tidak menginginkan pernikahan ini, melainkan untuk dirinya juga, ini bahkan sangat memuakkan untuk dirinya.
Tanpa perduli apa yang membuat Saka membenci Sesy, sampai seperti itu, Sisy justru meninggalkan Saka tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Sial! Dia memperlakukan aku seperti orang yang tidak kenal? Kenapa dia malah jadi seperti itu? Padahal...." Saka tak melanjutkan bicaranya, ia mengepalkan tangannya, lalu melangkahkan kakinya untuk menuju ke arah Sisy.
Sisy buru-buru melepaskan tangan kekar yang menahan lengannya, ia membalikkan tubuhnya dan menatap Saka dengan jengah. "Apa lagi? Bukankah kau membenciku? Ya sudah, sialahkan pergi!"
Saka semakin terkejut, lelaki itu, mengerutkan keningnya dengan heran. "Kenapa kau seperti ini, Sesy? Seharusnya sebagai seorang istri, kau melayani suamimu dengan baik, bukan malah seperti ini!
"Untuk apa? Kau saja membenciku!" ucap Sisy singkat, penuh sinis.
Tatapan mereka kini beradu lagi dengan tajam, keduanya menatap dalam manik yang hitam, namun hal yang aneh terjadi pada Sisy, ia justru merasakan kini jantungnya semakin berdebar kencang, dengan diiringi tatapan yang tak ingin lepas.
"Awas kau nanti malam! Aku akan membuatmu lemah dan tak bisa bangun!" ancam Saka, dan menunjuk wajah Sisy.
Debar jantung Sisy, semakin hebat, apa maksud Saka? Kenapa dia mengatakan hal itu, sungguh kali ini Sisy menelan Saliva takut.
Saka meninggalkan Sisy, meski ia membenci Sisy yang ia kenal sebagai Siesy, tetapi ia juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati indahnya hidup, apa lagi, ia sering sekali membayar setiap wanita yang ia inginkan hanya untuk memuaskan nafsunya.
Dan malam ini, ia akan membuat Sisy terkelepar di bawah tubuhnya, memberikan permainan tampa ampun pada gadis sombong itu.
***
Sisy berjalan menaiki anak tangga, ia merasakan hati yang was-was, dan tak hentinya detak jantungnya bekerja tak normal.
Hari sudah malam, bahkan sejak siang tadi, ia masih memikirkan bagaimana cara untuk bisa lolos dari Saka.
Alena dan Johan, mereka tak terlihat lagi sejak pagi, mungkin sibuk dengan pekerjaan dan bisnis yang sedang mereka kelola.
"Kemana orang tak waras itu? Kenapa dia belum pulang juga sampai sekarang?" Sisy menggerutu, seraya ia yang berjalan Dengan mondar mandir tidak jelas. Ia tak menyadari kalau sebenarnya kali ini, ia sedang menunggu Saka.
Malam ini, Sisy dan keluarganya masih berada di hotel, dan rencananya mereka akan pulang ke rumah masing-masing besok pagi.
"Sesy, kamu kenapa kok mondar-mandir gitu, sayang?" tanya Renata, wanita itu memang memilih untuk tak kemanapun.
"Ehhm, aku ngantuk Ma, kalau Saka pulang, tolong katakan padanya, kalau aku sudah tidur." Sisy masih gugup untuk mengatakan itu, pasalnya bukan itulah yang saat ini ia rasakan.
"Oh begitu, iya nih, Mama juga udah ngantuk, mungkin sebentar lagi Saka akan pulang, dan kamu tidur aja duluan, Mama masih ingin menonton tivi." Renata mengulas senyum.
"Terimakasih Ma." Sisy buru-buru masuk ke kamarnya.
Mengunci pintu serapat mungkin, dan menaruh kunci itu di atas nakas, gadis itu, duduk di tepi ranjang, dengan memeluk guling.
"Tenang Sisy, suamimu yang gila itu, tidak akan bisa masuk ke kamar ini." Sisy menenangkan dirinya sendiri, dan setelah itu ia tersenyum manis.
Lampu kamar dimatikan, dan hanya menyisakan lampu tidur yang ternang remang-remang, Sisy memejamkan matanya.
Sedangkan diruangan bawah, Saka baru saja pulang dari kantor, berjalan menuju ke ruang televisi, hotel mewah itu memang sudah di boking selama 3 hari, oleh keluarga Saka.
"Kemana Sesy, Ma?" Saka mencium punggung tangan Renata.
"Katanya dia mengantuk, sana cepat susul, kamu sih, selalu pulang malam, kan kasihan Sesy." Gerutu Renata, dan menepuk bahu Saka.
"Baiklah." Saka berjalan dengan sedikit lebih cepat, menuju lift, dan menuju hotel berlantai 5, dimana di sana telah ditetapkan kamarnya dan Sisy sampai esok pagi.
Saka menarik sudut bibirnya ke samping, sesaat sebelumnya ia mencoba membuka pintu, dan menggedor secara perlahan, tetapi Sisy belum juga mau membukakan pintu.
Saka menuju ke sebuah laci di sebuah ruangan, di sanalah tempat dimana karyawan hotel menyediakan kunci cadangan untuk setiap ruangan yang mereka gunakan.
Memasuki kamar yang gelap, hening dan tidak ada suara, Sisy telah terlelap dalam mimpinya semu.
Namun, sedetik kemudian, ia merasakan ada tangan kekar yang menempel di perutnya, dan sebuah nafas yang menyapu ceruk lehernya.
"Aaaagghh, siapa kau, pergi dari sini!!"
Bersambung.