"Ahir pekan kemarin kamu ngapain aja Ay?" Alvaro baru saja menyamankan duduknya di kursi sebelah Aily, rambutnya yang hitam legam selalu mempesona entah mau dilihat beberapa kalipun. "Ng..." mendengar itu otak Aily langsung bekerja dan berusaha mengingat apa saja kegiatannya hari minggu kemarin.
Sangat lucu, bibirnya dibuat sedikit maju seperti sedang cemberut dan kepalanya yang mendongak keatas karena sedang memikirkan jawaban untuk Alvaro. Tanpa sepengetahuan Aily Alvaro tersenyum tipis lalu segera menepis senyuman itu kala Aily menatapnya. "Aku main dengan Robby." ucap Aily yang ahirnya menemukan ingatan nya.
"Sama Robby? kau selalu kemana-mana dengan nya ya? bagaimana kalau semua orang mengira kau berkencan dengan nya?" pertanyaan bertubi-tubi itu sedikit menyenggol kewarasan Aily di ahir, tepat pada kata berkencan. Memangnya siapa juga yang mau berkencan dengan Robby, Aily sama sekali tidak pernah membayangkan pertemanan nya dengan Robby akan berubah menjadi ke tahap yg lebih.
Lagipula hubungan nya dengan Robby sudah sangat sempurna sekarang, ia bahkan tidak benar-benar membutuhkan kekasih karena menurutnya Robby sudah cukup sebagai penambal rasa kesepiannya. Tunggu, penambal mungkin terlalu kasar mari ubah kata itu menjadi seseorang yang bisa mengusir rasa kesepian.
Pada dasarnya seseorang menjalin hubungan karena membutuhkan sosok yang bisa menemani dan mengerti dirinya bukan? lalu apa yang kurang dari Robby? ia selalu ada untuk nya bahkan disaat Aily kelaparan Robby selalu sedia membawakan nasi pecel untuk nyayah meskipun harus perang lidah dulu atau minimal diberi sogokan kecil karena kadang Robby juga pelit.
Tapi itu tidak masalah, saat Aily sakit pun Robby menjadi orang nomer satu yang akan merawat dan menghawatirkan nya. Memangnya apalagi yang dibutuhkan oleh Aily?
Ia tak ingin merubah status pertemanan nya dengan Robby karena bisa saja hubungan mereka akan menjadi renggang setelah memutuskan berkencan lalu tiba-tiba ada sesuatu yang mengharuskan mereka untuk putus. Kata mantan selalu menjadi momok bagi seseorang karena ketika bertemu dengan nya akan terasa canggung.
Aily tak ingin ia berahir saling canggung dengan Robby padahal mereka pernah sangat dekat seperti saudara sendiri. Yang terpenting adalah Aily memang tak pernah memiliki perasaan lebih pada Robby, jadi cukup sebagai teman terdekat atau bisa dibilang sahabat.
"Tidak akan. Aku juga tidak peduli dengan pemikiran orang lain, sudah jelas aku dan Robby adalah teman." jawab Aily mantap, ia mengatakan nya seperti tak ada beban sama sekali dari setiap kata yang ia ucapkan. Alvaro sampai tertegun bagaimana Aily bisa menjawab dengan selancar itu.
"Benar? tapi apa kau sudah pernah memastikan nya pada Robby? bagaimana kalau ternyata ia menginginkan sesuatu yang lebih dari teman?" seingat Alvaro, Robby selalu maju nomer satu ketika ada sesuatu yang berhubungan dengan Aily. Jadi meskipun ia sudah memastikan hal ini pada Aily, bisa saja Robby yang ternyata berharap lebih pada Aily.
"Hah? jangan konyol. Tidak ada yang seperti itu diantara kami." jawab Aily, awalnya ia sempat melongo dan berpikir sejenak seakan memikirkan beberapa kemungkinan dari ucapan Alvaro barusan tapi setelah memikirkan nya ia malah jadi geli sendiri.
Aily?
Robby yang baru saja akan memasuki kelas Aily menghentikan langkah nya dan mundur beberapa langkah ke belakang setelah melihat sesuatu yang menganjurkan dirinya untuk menahan diri agar tidak melanjutkan masuk. Tiba-tiba seseorang memukul punggung Robby dari belakang. "Aw!" setelah membalik badan ingin memukul balik tahan nya tertahan karena ternyata yang memukul adalah perempuan.
"Hai Rob! ada Aily di kelas?" tanya Sasa dengan wajah nyengir setelah sadar bahwa pukulan nya barusan terlalu kuat hingga mendapatkan reaksi yang sedikit mengerikan karena ia hampir di pukul balik oleh pria itu. "Ck, kau jangan ikut-ikutan seperti Aily begitu. Tangan mu meskipun lebih ringan tapi rasanya tetap sakit."
Sasa nyengir lagi untuk kali kedua, ia benar-benar sudah merenungkan kesalahan nya barusan meskipun tidak diungkapkan lewat mulutnya. "Baiklah-baiklah aku minta maaf. Jadi Aily ada tidak?" belum sampai mendapat jawaban tangan Sasa sudah ditarik begitu saja oleh Robby menjauhi ruang kelas yang menjadi tujuan mereka berdua pada awalnya.
Karena tidak mengerti kenapa Robby menarik nya ahirnya ia memberontak dan berusaha menghentikan langkah mereka berdua sekaligus. "Mau membawaku kemana? aku kan tanya ada Aily atau tidak." meskipun berhasil menghentikan langkah mereka, Sasa belum berhasil melepaskan cengkraman tangan Robby pada pergelangan tangan nya.
"Kantin."
Sangat singkat jawaban Robby yang lalu pria itu melanjutkan aksinya lagi yang menarik tangan Sasa agar mengikuti dirinya. "Aduuh, pelan-pelan. Kakiku ini pendek tidak sepanjang kakimu." kini Sasa sudah lebih pasrah tidak memberontak lagi, meskipun mulutnya tidak berhenti menggerutu.
"Tapi tadi aku lihat ada Aily kok."
"Sudah diam. Kau tidak lihat tadi ia sedang ngobrol dengan Varo?" sekarang posisi Sasa sudah berada di sebelah Robby tidak lagi seperti seorang bocah yang digeret-geret oleh ayahnya melainkan seperti seorang sandera karena mulutnya dibungkam agar tidak banyak bicara kata Robby.
"Ang..mbml..blmlb"
Robby tertawa saat mendengar Sasa tetap berusaha bicara meskipun sudah ia bungkam dengan erat hingga menimbulkan suara yang aneh dan tak ada yang bisa mengerti gadis itu sedang bicara apa. "Aku kan ingin tau mereka sedang membicarakan apa. Memangnya kau tidak apa-apa Aily berdua dengan Varo? bagaimana kalau nanti mereka berkencan?"
Wajah Robby seperti sedang kebingungan sembari menunjuk dirinya sendiri. "Apa hubungan nya denganku?"
"Memangnya baru ngobrol sekali dua kali sudah langsung jadian saja.."
Meskipun Robby sendiri tidak yakin dengan pemikiran nya yang bisa saja salah, ia sadar bahwa Aily terlihat sedikit tertarik pada Alvaro. "Mm.. tapi benar juga. Yang sudah ngobrol san jalan berdua selama berbulan-bulan saja tidak jadian." ujar Sasa yang memegang janggutnya seperti sedang berpikir keras, ini adalah dalih dari ia yang sedang menyindir pria di sebelahnya.
••
"Robby dan Sasa kemana yah.." Aily melihat ke sekeliling nya, dua orang yang dari, tadi ia tunggu tidak segera muncul padahal sekarang sudah saatnya pulang sekolah.
"Sudah di telfon belum?"
Itu suara Alvaro yang dari tadi masih setia di sebelah Aily, mereka berdua terlalu asik berbincang hingga tidak sadar sudah waktunya jam pulang sekolah. Hari ini, jam terahir tidak ada pelajaran karena guru yang harusnya mengajar sedang ada urusan jadi beberapa siswa memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka diluar kelas seperti kantin maupun lapangan.
"Sudah, tapi tidak ada yang merespon."
"Jadi mau bagaimana?" tanya Alvaro lagi seperti ingin memastikan sesuatu.
"Jadi.. pulang saja sendiri. Kamu mau langsung, pulang juga?" tanya Aily balik setelah memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket yang ia kenakan. "Iya, mau mampir dulu ke toko roti. Mau ikut?"
"Boleh."