Hayya mendoakan ayah dalam wujud lain. Sebuah surat yang tak 'kan pernah kukirim. Tapi, bukankah saat sebuah tintanya kugoreskan, baru saja kukirim? Malaikat di kanan kiriku, tentu sudah membacanya, 'kan? Tapi jika aku boleh meminta. "Jangan dulu kabarkan padanya aku menulis surat untukmu hari ini, ya Malaikat." Pun sebuah pesan yang sama untuk pohon-pohon di sekitar tempatku duduk. Rerumputan, bunga-bunga, dan semilir angin di sana. "Biarkan berlalu apa adanya." Sore mulai menjatuhkan gelapnya. Sebuah tanda Hayya harus bergegas diri. Pulang untuk membuat ingatan lain dalam rumah ingatannya sendiri.
"Aku akan mendo'akan Ayah selalu dalam kebaikan. Meski usiaku kian menghilang. Do'aku tak terbatas waktu untuk Ayah. Akan selalu kukenang."
"Ayah, apa kabar?"