Keesokan harinya, ia masih belum menemui telinga yang enak didengar itu. Ia kembali menjadi telinga untuk api di mata Ayah dan air mata Ibu.
"Bangsat!! Sana kamu saja yang mencangkul tanah!"
"Ibu hanya coba kasih saran," sambil merintih menahan mutiara dari ekor matanya.
"Capek nyangkul tanah! Emang kamu kerjaannya hanya nyangkul langit?!"
"Gak usah sok ngatur!!"
Rahsa mendengarnya dari bilik kamarnya. Kejadian itu hanya satu dari sekian yang tak pernah alpa dari telinganya. Ada satu kerinduan darinya. Yakni mencari telinga yang enak didengar. Terus mencari. Berharap yang dicari bukan kebalikannya lagi. Tapi benar-benar yang diimpikannya saat ini. Apakah kamu pemilik telinga yang enak didengar itu?
***
Dijual Wajah Kejujuran
***
Wajah langit mulai menunduk lesu. Seakan malu. Tak menentu. Namun, tidak lama kemudian, ia begitu sendu. Menitikkan air mata sedih. Ah, tau darimana ia sedih? Bukankah tak semua air mata pertanda sedih?