"Iya, Sayang. Cuma mesti pas juga. Kalau sudah darurat, ya gabisa dong ngandelin cuma herbal. Perawatan rumah sakit juga perlu."
"Iya."
"Tapi aku salut sama Mbah Toid, Mas. Sejak pertama kamu ceritain."
"Kayak kebayang aja orangnya. Begitu bijak. Dekat dengan alam."
"Kapan-kapan kita kesana lagi ya, Mas?" Pinta Mala dari balik dapurnya.
"InsyaAllah, Sayang. Kalau ada kesempatan pasti kesana. Apalagi kan kita garap sawahnya. Jadi pasti sering sowan ke sana."
"Alhamdulillah... Allah satu per satu kasih solusinya ya, Mas. Aku ikut seneng lihat kamu gembira banget."
"Iya. Alhamdulillah. Bagi laki-laki, perannya ada pada pekerjaannya. Tanggung jawabnya. Makanya aku berusaha terus gimana bisa survive di desa ini."
"Aku selalu doain yang terbaik untukmu, Mas."
"Terima kasih, Sayang. Oh ya, tadi kamu cerita tentang anaknya Mbah Toid. Siapa tadi? Kenapa Mas masih suka lupa mengingat nama orang?"
"Bu Menik, Mas. Mungkin...karena mulai pikun."