"Ehmm... Enggak, Pak. Saya nggak liat."
"Ibu yakin nggak lihat hal yang mencurigakan? Atau anak saya lihat dibawa orang, mungkin?"
"Beneran, Pak. Saya nggak lihat."
"Hmm... yasudah. Terima kasih, Bu."
Wajah Wira lesu. Rasa bersalah seperti menyelimutinya seketika.
"Seharusnya aku tak membiarkannya sendirian di luar rumah." Gumamnya.
"Pak... tunggu, Pak." Tiba-tiba Ibu penjaga warung itu memanggilnya kembali.
"Maaf, saya mau tanya itu beneran anak Bapak?"
"Iya, Bu. Itu anak saya satu-satunya."
"Kalau boleh tahu berapa usianya?"
"Masuk tujuh belas tahun, Bu. Kenapa? Ibu ingat sesuatu? Ibu lihat anak saya?"
"Bapak silakan duduk dulu."
"Ada apa, Bu?"
"Di sekitaran sini rentan penculikan anak remaja. Itu sudah marak sekali. Makanya tiap menjelang maghrib, kampung hampir semuanya langsung sepi. Mereka memastikan anak-anaknya. Terutama perempuannya, tidak keluar malam. Bahkan, sebelum maghrib harus di rumah."
"Memangnya kenapa, Bu?"
"Bapak lihat rumah di ujung sana?"