Anggun menjauhkan smartphone Ali darinya. Semakin membuat penasaran suaminya.
"Heh, lagi ngapain?!"
"Nggak, ko. Cuma lihat foto aja."
"Ya mana coba, Mas juga pengin liat."
Lagi, Anggun menjauhkannya dari Ali.
"Ish... lihat tuh ada Pak Steven!" Ali menunjuk ruangan dosen. Mengalihkan pandangan Anggun dan meraih smartphonenya.
"Tapi boong! Wee!"
"Ih... sini. Kan belum selesai."
"Apanya yang belum selesai?"
Ali memeriksa smartphonenya. Tertera dua foto bersama Anggun.
"Apaan ini?"
"Tuh kan... itu belum selesai tau! Kamu sih main ambil."
"Bilang dong kalau mau ditaruh kata-kata romantis. Gitu aja malu," ledek Ali sembari menyerahkan kembali smartphonenya pada Anggun.
"Nih."
Anggun meraihnya, tapi tidak melanjutkannya.
"Kok gak dilanjut?"
"Udah badmood."
"Hm, dasar perempuan. Mau apa? Hum?"
"Kayaknya es krim coklat atau minuman stroberi enak."
"Haha bilang aja mau dibeliin."
"Itu tau."
"Yaudah, bentar ya. Tunggu di sini aja. Ok?"
Anggun mengaggukkan kepala. Ia memerhatikan ruangan dosen dari kejauhan. Beberapa mahasiswa mulai masuk, tapi masih banyak yang di luar.
"Ehm, nanti sajalah kesananya. Lagian masih nunggu Ali," gumam Anggun.
"Dor!!" Anita tiba-tiba mengagetkannya dari belakang.
"Eh, kamu Nit! Ngagetin aja!"
"Darimana? Kok tahu aku di sini?"
"Tau dong. Kita kan punya sinyal sama. Iya nggak?"
"Apaan sih?"
"Gue boleh duduk?"
"Gausah nanya. Kayak siapa aja."
"Siapa tau ada pangerannya kan."
"Eh, sendirian? Ali mana?"
"Ada kok, sama Mas Ali. Dia pergi bentar beli minuman."
"Ouh gitu. Pantesan. Awas aja kalau ninggalin lo sendirian."
"Tenang aja, Nit. Meskipun dia sangat cuek dengan semua orang, tapi dia baik sama aku, ko. Kamu juga kan?"
"Cie... yang mulai nyaman. Ehem. Aku kapan yah?"
"Apaan sih. Yaudah cari pacar dulu yang mau. Udah ada belum? Gebetan?"
"Masa perempuan secerdik ini ndak ada yang deketin. Hayo, ngaku?"
"Ehm... ada sih. Tapi gimana ya. Gatau lagi gamau fokus ke ngladenin mereka. Gue tuh pengin sesuatu yang beda gitu," ucap Anita.
"Maksudnya beda gimana?"
"Ya... kalau ditanya yang deketin mah banyak. Orang DM lah, komentar lah, Whatsapp lah. Tapi males ladenin."
"Lah, kenapa? Kan tinggal milih aja dong? Bukannya lebih gampang?"
"Justru itu, Nit. Gue gak pengin mendapatkan kekasih dengan semudah itu. Pengin sesuai jalan Tuhan aja."
"Yeee... dikira orang yang DM terus nikah, bukan jalan Tuhan? Emang gak pernah dengar pasangan artis yang nikah, gegara ngeDM ngajak taaruf?"
"Bisa aja lo. Iya... itu hak mereka sih. Cuma aku pengin lebih santai aja lah. Kayak lo sama Ali. Dari benar-benar gak kenal, bahkan lo ngotot gapengin tahu namanya kan?"
"Kok kamu tahu, Nit?"
"Dari Ibumu. Jahat lo, bikin nazar gila nggak ngajak-ngajak! Siapa tau kalau ngajak kan jodohnya sekalian."
"Haha iya juga ya. Aku gak kepikiran."
"Eh, kok jadi bahas jodoh sih. Udahlah itu sambil jalan aja. Gamau ribet gue."
"Kamu yang mulai sendiri," ledek Anggun.
"Iya-iya. Oh ya, ngapain masih di sini? Bukannya harusnya persiapan alias briefing lomba? Kok gak ke ruangan dosen?"
"Tuh liat deh. Masih pada ngantri. Dari pada di sana, yaudah aku sama Ali lebih milih duduk di sini, deh."
"Ouh pantesan. Good luck, yah!"
"Eh, kamu sendiri darimana, Nit? Kok tiba-tiba ngagetin dari belakang?"
"Ouh... itu karena gak sengaja aja lihat kamu kok sendirian. Aku kawatir dong. Secara baru saja kejadian. Masih belum bisa percaya si cowok cemen itu!"
"Kawatir dia ngapa-ngapain lo lagi, Nggun!"
"Thanks my hero. Betapa beruntungnya aku punya sahabat superhero sepertimu, Nit."
"Lebay lo ah!"
"Yaudah, gue temenin lo di sini sampai Ali datang, yah. Boleh kan?"
"Boleh dong."
"Mau lihat, ndak?"
"Apaan?"
"Galeri Ali ndak ada fotonya satu pun. Aneh kan?"
"Aneh kalau manusia normal, Anggun. Kalau jenisnya seperti suamimu mah jadi normal aja kalau gak punya foto."
"Haha bisa aja kamu, Nit."
"Iya dong. Sosmed aja gak punya kan?"
"Iya sih. Oh ya jadi inget sesuatu."
"Apaan?"
"Aku pernah janji sama Ali, kalau lomba ini aku menang, dia harus ngelakuin sesuatu."
"Apaan tuh?"
"Bikin sosmed. Minimal instagram. Haha penasaran kan?"
"Seorang cucu socrates punya instagram?"
"Nanti feednya isinya quote filsuf semua!" ledek Anita.
"Story Instagrammya juga isinya pertanyaan aneh semua. Gak kebayang gue. Haha. Tapi unik, sih."
"Unik?"
"Iya, unik. Kapan lagi nemuin manusia sekeren Ali mau menuruti istrinya?"
"Jadi, sekarang sudah mau mengakui Ali keren, nih?"
"Keren dalam artian mau mensupport lo. Siapa saja laki-laki apalagi yang sudah menikah dan mau berjalan seiring itu keren sih!"
"Tak jarang egoisnya ingin posisi pengatur kan tinggi. Imam dianggap posisi tertinggi mengatur segalanya."
"Seiring bukan digiring. Bukannya begitu?"
"Ya-ya-ya. Masih ingat aja."
"Iya dong."
"Eh, ada telepon bentar yah." Anita mengangkat telepon. Ia berdiri dan menjauh beberapa saat dari Anggun duduk.
Tak berapa lama Anita kembali duduk di dekat Anggun.
"Nggun, sorry banget, nih. Gue kayaknya mesti cabut duluan. Ibu nelpon di rumah suruh pulang. Gimana dong?"
"Nggakpapa lagi. Kan di sini juga tempat umum. Ramai. Jangan kawatir." Anggun berusaha menenangkan Anita.
"Hei, dikira kantin bukan tempat umum? Arka bisa nekad dimana saja. Orang kalau sudah buta mata susah. Galogis lahi. Otaknya dah gak ada!" Geram Anita.
"Gapapa, Nit. Udah, nanti ibumu nungguin. Pasti penting. Udah, aku gapapa, ko."
"Beneran nih?"
"Iya Anitaku, my superheroku."
"Superwomen kali!"
"Iya, my superwomen. Hati-hati, ya! Thanks!"
Akhirnya, Anita beranjak pergi sebelum Ali kembali. Anggun hendak mengabari Ardi untuk menanyakan kabarnya. Namun, baru tersadar smartphone Ali ada di tangannya. Ya, suaminya pergi tanpa membawa ponsel.
"Yaudah deh, aku tunggu aja di sini." Ucap Anggun sambil melihat sekitarnya. Seolah memastikan tak ada yang mencurigakan.
Dari belakang tempat Anggun duduk, sebuah sorot mata tajam mengintainya. Mata yang sama saat kejadian di kantin. Ya, itulah Aldi.
Ia masih memerhatikan sekitarnya dan waktu yang tepat mendekat pada Anggun. Setelah Anita dilihatnya pergi dan masih tak ada Ali di sisi Anggun, perlahan Aldi mulai berjalan mendekatinya.
Aldi melangkahkan kaki. Rumput yang terinjak dari belakang tempat duduk, turut jadi saki betapa ia sangat hati-hati. Sesekali berpura-pura membalikkan badan. Begitu terlihat mencurigakan.
Maklum, di sana masih cukup ramai. Lalu lalang mahasiswa bisa ditemukan dimana saja. Aldi nekad tetap mendekati Anggun dari belakang sana.
Diperhatikannya rambut Anggun dari belakang. Leher jenjangnya. Sesekali Aldi berhenti. Menelan salivanya dan kembali mengawasi sekitarnya.
Ia ingin mendekati Anggun dengan seperti orang biasa saja. Tidak dicuriga oleh sekitarnya. Pun, mencari cara bagaimana Anggun tidak kaget dan teriak saat ia di depannya.
Kress!!
Aldi tak sengaja menginjak sebuah botol plastik yang jatuh dari tempat sampah tak jauh darinya.
"Oh gawat! Jangan menengok ke belakang! Jangan menengok, Anggun!" Gumam Aldi ketakutan.