"Gimana kalau Alu malah benci dengan kamu menyembunyikannya, Nggun?"
"Gapapa, Nit. Percayalah. Aku tak ingin dia kawatir. Kamu paham kan?"
"Yasudahlah. Terserah kamu. Yang pasti aku sudah kasih pelajaran sama si cowo cemen itu!" gertak Anita dengan mengepalkan tangannya.
"Wuiss... iya-iya percaya."
"Halo... lagi ngapain Nit? Mau adu panco?" Ali datang begitu saja menyapa Anita dan Anggun.
"Eh, lo, di." Anita segera menurunkan tangannya ke bawah.
"Iya, nih. Tadinya mau adu panco sama Anggun, nih. Biar tangannya nanti kuat nulis. Iya nggak?"
Anggun mengangguk saja.
"Terus?" tanya Ali sedikit merasa aneh dengan alisnya yang mengernyit.
"Nggak terus-terus sih. Lo dateng ngagetin jadi batal deh!"
"Ouh gitu. Anggun gaperlu adu panco biar kuat."
"Terus?"
"Cukup genggam tanganku aja," ucap Ali seraya menggenggam tangan Anggun di depan Anita.
"Ampun dah. Please gue jomlo iya jomlo ngenes," seru Anita.
"Haha... udah gausah ngenes gitu. Itu kemarin cowok gondrong yang itu tuh... kayaknya cocok."
"Hello? Cowok mana?"
"Itu yang kemarin ngaku salah. Mahasiswa sekelas yang disuruh Aldi buat fitnah Anggun itu lo."
"Ouh... aneh dia mah. Gatau kenapa di dunia ini ada makhluk robot kaya dia."
"Huss! Jangan ngomong gitu. Ntar suka beneran lo."
"Amit-amit deh."
"Eh, bukannya kalian berdua juga dulunya saling benci? Sekarang malah romantis? Apa iya hukum benci jadi cinta serelate itu?"
"Omo... ok, ok. Aku gak akan benci sama robot itu."
"Udahlah. Kalian mau berangkat kan? Udah sana. Ntar aku kelamaan di sini bisa tepar baper. Good luck, ya!"
Anita meninggalkan Anggun dan Ali berdua di kantin.
"Heh, Nit!"
Anita berbalik badan begitu dipanggil Ali.
"Thanks sudah jagain Anggun. Jangan lupa jaga diri. Jomlo butuh pertahanan ekstra!" Ucap Ali seraya tertawa.
Anita tak menggubrisnya dan lanjut pergi.
"Ish... jangan gitu, sama Anita. Dia baik banget lo sudah nemenin aku," tutur Anggun mengingatkan Ali.
"Iya-iya. Lagian bercanda."
"Yaudah yuk, sekarang kan?"
"Iya masih sepuluh menitan lagi, sih. Kamu udah siap?"
"Mestinya aku yang nanya ke kamu. Udah siap belum?"
"Aku juga belum tau. Entahlah. Tapi aku udah berusaha ngumpulin referensi sesuai yang kamu bilang kemarin itu."
"Nah, itu bagus! Udah, pokoknya tenang aja."
Anggun dan Ali berjalan menuju ruang kantor Dosen. Di depannya sudah ada beberapa mahasiswa yang duduk bersiap. Hampir semuanya sibuk berkutat dengan buku dan entah bacaan apa.
"Lihat deh. Itu kayaknya yang mau ikut lomba. Jadi agak minder. Mereka kayaknya keliatan serius banget," ucap Anggun begitu melihat pemandangan di depan ruang dosen itu.
"Heh. Jangan lihat mereka. Tapi fokus ke apa yang bisa kita lakukan nanti di lomba. Yah?"
"Percaya deh. Tuhan akan menyertai orang yang percaya juga. Bukan yang ragu-ragu apalagi minder dan pesimis."
"Boleh sesekali minder, malah lebih baik daripada sombong. Tapi jangan sampai minder membawa kita melupakan potensi Tuhan yang sudah dititipkan," jelas Ali.
"Mengerti?" tanyanya.
"Iya, Pak Filsuf! Siaap!" canda Anggun berlaku hormat.
Ali mengacak-ngacak rambutnya sambil tertawa.
"Ish... ntar berantakan. Tuh kan."
"Pinjem hpnya dg."
"Buat apa?"
"Ngaca."
Ali mengeluarkan smartphonenya dan memberikannya pada Anggun. Rambutnya yang merah dan sedang itu membuatnya tak perlu cukup memakan waktu. Dalam sekian detik berkaca diri di depan kamera ponsel, ia sudah rapi kembali.
"Jangan acak-acak rambutku lagi! kesal Anggun.
"Iya-iya. Habisnya kamu gemesin."
"Udah, ah. Kita mau langsung kesana apa gimana?"
"Ehm... menurutmu?"
"Aku agak sungkan si. Masih ada waktu kan?"
Ali memeriksa jam tangannya.
"Ya. Masih ada waktu delapan menitan. Mau duduk dimana dulu, nih?"
"Gimana kalau duduk di sana?" Anggun menunjuk sebuah kursi panjang yang kosong. Tak jauh dari taman dan kondisi ruangan dosen juga bisa terpantau dari sana.
"Boleh."
Anggun masih memegang smartphone suaminya. Dengan antusias ia duduk terlebih dahulu di kursi panjang bercorak bunga matahari itu.
Sekitarnya cukup hijau. Berbagai tanaman tumbuh di sana. Tak sedikit pula bunga-bunga bermekaran, meskipun terik mulai memancarkan.
"Kita foto, yuk. Kan selama ini belum pernah foto bareng," ucap Anggun sambil mengecek kamera di smartphone suaminya.
"Ehm, boleh. Iya juga, ya. Baru nyadar."
"Ok. Satu-dua-tiga!"
Cekrekk!!
Beberapa foto terpotret Anggun di kamera smartphone Ali. Sama halnya perempuan pada umumnya. Anggun pun memilah-milah foto mana yang terlihat bagus dan mana yang tidak.
Dan... dari sekian jepretan kamera, hanya menyisakan dua foto saja. Ali yang melihat tingkah istrinya, geleng-geleng kepala sambil tersenyum menahan tawa.
"Perempuan kenapa selalu begitu, ya?"
"Apa?"
"Dimana saja pengin foto."
"Emang kenapa?"
"Ya nggak papa. Wajar. Cuma baru lihat aja pemandangan seperti itu di depan mataku sendiri. Tak jauh. Dekat sekali."
"Perempuan itu tersenyum di depanku. Dan mengambil jepretan foto menggunakan ponselku."
"Apaan sih, di!" Anggun menyenggol lengan Ali.
"Perempuan itu... aneh sekaligus indah dalam satu waktu."
"Kenapa?"
"Aku tak bisa membayangkan dunia tanpa perempuan. Dan lebih mirisnya lagi kalau laki-laki hidup tanpa perempuan," tutur Ali dengan gaya khasnya.
Rambut panjangnya memang terkuncir rapi. Ditambah kulitnya yang bersih, terlihat menawan. Sorot matanya yang tajam tapi teduh, membuatnya saat bicara terdengar begitu syahdu.
Anggun cukup begitu menyukai Ali saat sedang bicara panjang lebar seperti itu. Meskipun, kadang ia tak mengerti semuanya apa yang dikatakan suaminya itu.
"Bagaimana tidak? Laki-laki dibuat melihat hal-hal kecil dengan indah dan humoris dalam satu waktu."
"Hum?"
"Bagaimana mungkin ada manusia yang marah dan merajuk di pagi hari hanya karena buah jeruk dan minuman stroberinya diambil orang lain?"
"Nyindir nih?"
"Iya kan? Kalau logisnya kan yaudah beli lagi aja. Tapi manusia dengan nama perempuan itu bisa sebegitu kesalnya."
"Tapi justru dengan itu adalah pemantik rasa humor dan kepedulianku bertumbuh. Aku bahagia bisa melihat sisi-sisi keindahan seperti itu."
"Nggun...."
"Iya?"
"Kau bahagia menikah denganku?"
"Memang... aku terlihat tak bahagia?"
"Bukan. Aku hanya bertanya."
"Aku juga hanya menjawab."
"Bisa aja kamu."
"Aku bahagia bersamamu. Semoga kamu juga."
Anggun tersenyum mendengar tutur lembut Ali. Suaranya khas laki-laki dewasa pada umumnya. Terdengar berat tapi meneduhkan.
Anggun kembali tersenyum melihat Ali menatap dan menunggu ia mengucapkan sesuatu.
"Heh! Mau ngomong apa si? Malah senyum-senyum!" ledek Ali.
"Coba lihat hpnya! Penasaran fotonya jadinya kayak apa," pinta Ali.
"Bentar! Jangan dulu!" Anggun mencegahnya.
"Emang kenapa? Itu kan hpnya Mas. Hayo."
"Hp suami juga hp istrinya. Tapi hp istri tetap hp istri."
"Hah? Apaan? Aturan dari mana itu?"
"Aturan dari semesta untuk memuliakan seorang istrinya," celetuk Anggun sambil memainkan jemarinya di smartphone Ali.
Ali dibuat penasaran dengan yang dilakukan istrinya.
"Lagi ngapain sih? Heh? Coba liat!"