Sontak, Aldi kaget dibuatnya.
"Ngapain lo disini, Anita?"
"Gue yang mestinya tanya ngapain lo tadi? Hah? Mau gue laporin?"
"Tega ya lo mau ngerusak istri orang! Bahkan itu istri sahabat lo sendiri. Mikir dong!" Anita terus mencecarnya.
"Sorry, Nit. Maksud gue bukan kegitu."
"Apaan lo! Ngapain jadi ciut nyali gini? Awas ya! Gue laporin ke dosen tau rasa lo!"
"Sini... ikut gue ke kantor!!"
Anita memaksa Aldi untuk ikut dengannya. Tangannya masih menarik kaos Aldi dari belakang. Aldi malah duduk berlutut pada Anita. Seolah begitu merasa ingin dikasihani.
"Tolong, Nit. Jangan laporin gue. Gue gamau kena masalah lagi. Bisa berabe nanti hidup gue. Please," rengek Aldi.
"Apaan sih lo?! Bangun! Cemen amat jadi cowok! Yang gentle dong! Kalau berbuat salah ya jangan lari! Jijik gue sama cowok kayak lo!" Rentetan makian mampir begitu saja ke wajah Aldi.
"Please, Nit. Lo boleh ngomong apa aja ke gue. Terserah. Tapi please... jangan laporin," rengek Aldi.
Anita penasaran dengan apa yang dilakukan Aldi. Kenapa ia begiti merengek meminta ia dilepaskan?
"Memangnya kenapa? Hah? Apa untungnya bagi gue ngelepasin cowok menjijikan kayak lo?"
"Ok! Gue jelasin!" seru Aldi.
"Lo tau kan bokap gue kenapa? Lagi ada masalah. Dan kalau gue nambahin masalah lagi, bisa-bisa tambah runyam! Semua fasilitas bisa dicabutnya. Gue mau tinggal dimana, hah?" gertak Aldi.
"Kok jadi lo yang sewot? Kalau udah tau bokap lo otoriter, ya jangan ngelakuin hal bodoh kayak tadi! Masih banyak cewek di luar sana!" Anita balik menghardiknya.
Aldi terdiam. Menunduk sedemikian rupa. Terlihat menyedihkan.
Melihat Aldi yang terus menunduk, Anita tak tega. Akhirnya, ia mengeluarkan kata-kata pemaafan padanya.
"Ok. Gue masih kasian sama lo. Gue gak bakalan laporin ke dosen tentang ini. Tapi sekali lagi lo buat macem-macem ke Anggun, awas aja lo! Nyari mati!" hardik Anita sambil mengepalkan tangannya dan mengisyaratkan tanda "end" di lehernya.
"Thanks. Terima kasih, Nit." Aldi langsung pergi meninggalkan Anita begitu saja. Ia berlarian entah kemana.
"Ouh... kenapa lo begitu bego? Masih banyak cewek lain di dunia ini. Kenapa bersikap bodoh seperti itu?"
"Lo cakep, ya meskipun bodoh... ah, taulah. Kenapa gue jadi ngenilai cowok menjijikan seperti dia?" Gerutu Anita.
Ia segera kembali ke kantin. Anggun masih di sana menunggunya.
"Nggun, maaf lama!" ucap Anita.
"Gapapa, Nit. Gimana?"
"Aman. Gue sudah basmi."
"Kamu apain Aldi?"
"Tenang saja. Masih hidup kok." Anita sambil tersenyum menenangkan Anggun.
"Oh ya, mau masuk kelas sekarang?"
"Masih berlangsung? Bukannya dosen ini killer, sekali telat gaboleh masuk?"
Anita memeriksa jam tangannya. Mengernyitkan dahi dan menelan ludah.
"Ehm, yasudahlah. Berarti memang kita disuruh makan lagi. Ok? Udah, gausah pikirin. Aku bakal temenin kamu nungguin pangeran Ali!"
"Apaan sih, Nit!"
"Kita mau makan di sini apa pergi kemana? Perpus? Taman?"
"Pesen makanan lagi aja apa ya? Aku laper lagi."
"Haha ok. Aku juga si. Lumayan lari menguras energi."
"Mie ayam bakso?"
Anggun menganggukkan kepala.
Salah seorang novelis ternama pernah menuturkan hal indah tentang sesuatu. Yakni tentang menunggu. Menunggu hanya untuk orang-orang yang yakin. Yakin, bahwa seseorang yang ditunggunya akan datang. Yakin, bahwa orang itu akan datang, meskipun tak ada di depannya.
Beberapa orang tak jarang menyindir entah halus atau sedikit kasar. Mengatakan bahwa orang-orang yang rela menunggu itu dikaitkan dengan bodoh. Bagaimana mungkin ada seseorang yang rela bersabar menunggu seseorang lainnya, meskipun yang ditunggu entah dimana?
Bagaimana tak dikatakan bodoh? Bukankah aneh bila ada sepasang kekasih misalnya. Seseorang itu berjanji ke pasangannya untuk menunggu. Namun, sampai lama pun tak kunjung datang.
Anehnya, kekasihnya itu tetap menunggu. Untuk waktu yang dalam takaran normal, itu aneh bahkan sangat aneh. Namun, lihatlah... kekuatan sabar itu. Apakah sabar tidak bekerja pada orang-orang yang rela menunggu?
Baik. Lihat lagi bagaimana kesabaran bekerja pada para petani. Bagaimana ia menunggu dengan sabarnya meskipun tak tahu benih padi akan jadi padi atau rumput saja karena tanamannya terserang hama?
Petani itu tetap pergi di pagi hari. Adakalanya di siang hari. Tak jarang pula di malam hari. Semata apa? Untuk merawat padinya. Kesabaran yang bergerak. Menunggu yang aktif.
Dan... indahnya menunggu itu... adalah cara merawat keyakinan. Menunggu tidak akan bekerja pada orang yang ragu. Menunggu tidak akan menjelma sabar bagi orang-orang yang gusar.
Dan... menunggu hanya akan dinilai kebodohan, bagi orang-orang yang belum memahami bahwa yang terlihat mata kepala belum tentu sepenuhnya nyata. Ada cara pandang lain. Kacamata lain melihat berbagai sisi dunia. Salah satunya adalah kaca mata jiwa.
Orang-orang yang rela menunggu melihat sesuatu biasanya lebih ke kacamata jiwa. Mereka orang-orang yang yakin. Atau... setidaknya sedang berusaha memupuk keyakinan. Tentang kesabaran dalam keyakinan itu sendiri.
Anggun menggerakkan jemarinya di smartphonenya. Memeriksa apakah ada panggilan telepon atau pesan dari Ali, suaminya.
"Kok belum ada kabar, ya?" Ucapnya.
"Gimana? Sudah ada kabar dari Ali?" tanya Anita.
"Belum, Nit."
"Yasudah... ndakpapa. Kamu masih mau menunggu kan?"
"Iya, Nit."
"Baguslah. Itu tandanya kamu yakin dengan Ali. Menunggu hanya untuk orang-orang yang yakin."
"Itu seperti kata novel yang aku baca deh," celetuk Anggun.
"Nah, kamh lebih dulu membacanya, dan aku pembaca story igmu untuk qoutes menariknya." canda Anita.
"Haha ingat aja, sih. Iya juga si, menunggu hanya untuk orang-orang yang yakin."
"Iya. Kalau sejak awal sudah ragu, tidak mungkin akan mau menunggu. Kalaupun seseorang itu mau menunggu, pasti tidak akan lama," ucap Anita.
"Karena bahan bakarnya adalah keraguan dan ketidakpercayaan, apapun yang tumbuh darinya tidak akan lama. Kalaupun ia mau menunggu, pasti hanya bertahan sesaat saja," lanjut Anggun.
"Pernah lihat tanaman murbei?" tanya Anggun.
Nindy menggelengkan kepala.
"Memang kenapa?" tanya Anita penasaran.
"Aku punya tanaman murbei di rumah. Sesaat setelah membelinya, malah kering seperti matk. Tapi apa aku langsung membuangnya? Tidak."
"Itu semata karena aku yakin. Aku percaya tanaman murbei itu akan bertumbuh. Dan dengan kepercayaan itu, Rahmat Tuhan turun. Tak lama kemudian tumbuh bahkan berbuah lebat."
"Bukankah di sana letak kepercayaan dan kesabaran bekerja pada orang-orang yang rela menunggu itu, Nit?"
Anggun tersenyum dan begitu nampak ceria setelah kejadian hari itu. Ia seperti mendapat siraman ruhani yang sangat menyejukkan hati. Meskipun, dari diri sendiri.
"Nah... sekarang sudah semangat lagi, kan? Yuk saatnya makan mie ayam baksonya!" seru Anita.
Aya menganggukkan kepala.
"Udah... gausah kawatir. Mungkin Ardi masih di kelas. Nanti juga kesini," ucap Anita menenangkan Aya, sahabat karibnya.
"Ouh ya, Nit. Nanti gausah bilang tentang Aldi, yah?"
"Maksudnya Ali gak perlu tau tentang kejadian tadi?"
Anggun menganggukkan kepala. Meminta Anita untuk mengerti. Meskipun, yang ada di kepala Anita adalah rentetan tanda tanya "Kenapa?"