Chereads / Bukan Sekadar Sultan / Chapter 17 - 17 - Ide Baru

Chapter 17 - 17 - Ide Baru

Ada beberapa hal dalam hidup yang kita sebut sebagai penerimaan. Beberapa darinya, akan menjelma sepucuk harapan tiada terkira. Sisanya, entah berbentuk apa. Kalian pernah merasakannya?

"Lagi nyari apaan sih?" tanya Ali melihat istrinya sibuk mengecek seluruh isi laci.

"Nyari sesuatu yang penting. Deuh, aku lupa naruh dimana!" keluhnya sesekali merapikan ujung poninya yang merebak ke depan menghalangi penglihatannya.

"Memang nyari apa?"

"Pokoknya penting!"

"Referensi buat lomba, di! Bisa tolong carikan? Aku gatau deh gimana nanti lombanya kalau naskah itu ilang?"

"Memangnya kamu sama sekali gak inget terakhir naruh kapan?"

"Aku ingetnya taruh di sini!" ia menunjuk meja tak jauh dari sisi jendela kamarnya.

Ali mendekat ke arah meja itu. Sesekali menunduk. Memeriksa semua bagiannya.

"Ouh gimana ini? Gimana kalau ilang? Waktunya kan bentar lagi. Hari ini bukannya mau menghadap Pak Steven?"

"Iya. Rencananya sih begitu."

"Ouh, gimana dong?" Anggun duduk terkulai begitu saja. Cemas begitu terlihat dari sorot matanya.

Orang-orang bisa mengatakan ikhlas dan tabah dalam satu waktu. Meskipun kenyataannya, tak ada yang benar-benar ikhlas dan tabah dalam sekejap waktu.

Waktu menjadi bahan bakar utama berbagai kejadian. Waktu pula yang menjadi saksi banyak kisah hidup seseorang. Termasuk berbagai kejadian dan pengalaman.

Dalam beberapa hal, waktu menggulirkan kenangannya. Sebagian beraroma sejuk. Tak jarang kian menyeruak sebagai buih yang kian menyesak. Bagaimana perasaan Anggun saat itu?

"Ah, gimana dong?" Anggun terus merengek keluh.

Ali mendekat padanya. Berusaha menenangkannya.

"Ssstt... tenang. Semua akan baik-baik saja. Masih ada waktu kan?"

"Tinggal besok, di. Gimana nyiapinnya? Itu banyak banget."

Kau tau apa yang lebih menyedihkan dari melihat seseorang jatuh? Adalah tak melihatnya sebagai manusia seutuhnya. Tak jarang, apalagi di dunia era sekarang ini.

Umumnya kita melakukan sesuatu untuk dilihat orang lain. Tak sedikit yang menjadikannya sebagai jalan rezeki pada beberapanya. Pembuat konten youtube, misalnya.

Bilapun konten itu bermuatan positif, tak apa. Namun, tak jarang batas antara konten dan bagaimana memanusiakan manusia, cukup sulit dilakukan hari ini.

Ada orang yang sedang terpuruk, tapi malah dijadikan konten. Bukankah akan lebih indah kalau menyemangati cukup karena kita sebagai manusia yang berbudi?

Berapa macam kesedihan manusia yang dipamerkan sedemikian rupa untuk mendulang materi? Tidakkah naluri berkaca—membaca bagaimana memilah melakukan sesuatu untuk pribadi dan mengunggahnya sebagai konsumsi publik?

Hal itulah yang ditangkap Ardi sebagai pemantik idenya.

"Oh ya. Emang mau nulis tema apa?"

"Tentang remaja gitu deh."

"Kalau aku punya usul, mau?"

"Emangnya apa?"

"Suara perempuan. Perspektif kesetaraan gender dalam berbagai pandangan dan aplikasi hari ini."

"Maksudnya bagaimana?"

"Emang gak lihat banyak fakta hari ini?"

"Ada artis yang sekolah tinggi, tapi tetap dibully nanti juga jadi ibu rumah tangga. Kita jarang mendengar, laki-laki sekolah tinggi, terus dibully nanti juga jadi bapak rumah tangga. Ya kan?"

"Bukankah itu menarik?"

"Iya juga yah. Menarik sih."

"Ya. Bisa disesuaikan dibahas dalam berbagai pandangan sesuai yang kamu mampu. Jangan kawatir. Yah?"

"Jutaan naskah yang hilang tidak akan ada apa-apanya daripada kita kehilangan kepekaan pada sesama." Ucap Ali begitu menyejukkan Anggun.

Seketika, setengah kecemasannya hilang begitu saja setelah mendengarnya.

"Ada juga yang menarik."

"Apa itu?"

"Masih ada hubungannya dengan suara perempuan sih."

"Emang apa?"

"Kamu serius banget. Santai dong. Sini, duduk. Aku jelasin," pinta Ali mengajak Anggun duduk di sisinya.

"Gini deh, pernah ndak kepikiran bagaiman kehidupan keluarga youtuber misalnya? Mas pernah lihat, tak jarang mengexplore seluruh kehidupannya itu kurang tepat," Ali mulai menuturkan lagi.

"Maksudnya, seperti apa?"

"Ehm... semisal nih, kamu lagi sedih. Lagi dapat kayak tadi, misalnya. Terus kesakitan. Ngambek dan sebagainya. Lalu Mas videoin kamu, ngevlog buat konten judulnya ketika istriku ngambek pas menstruasi. Istrimu gimana gaes?"

"Nah, gimana perasaan kamu sebagai perempuan?"

"Ehm... aku malas bayangin. Dengerin aja udah gaenak."

"Nah, itu. Ketepatan memilah sesuatu mana yang pantas dibuat konten, mana naluri kepekaan kita sebagai manusia."

"Seseorang yang memiliki pandangn bisa memilah bagaimana harus bercerita dan diam. Meskipun, itu problem bagi tak sedikit orang. Bkankah itu suatu hal yang menarik?"

"Kamu bisa juga tambahin bahannya dengan beragam fakta belakangan ini yang ada. Gimana? Hum? Keren kan, idenya?" Ali berbangga diri.

"Huh!" Anggun menyenggol pundak Ali.

"Haha. Udah, ya. Jangan cemas kayak tadi lagi. Serem tau!" Ledeknya.

"Apaan serem!" Anggun tersenyum kembali.

"Nah gitu, dong senyum. Yang jatuh biarkan jatuh, nanti juga tumbuh. Yang hilang, akan kembali dalam wujud lain," ucap Ali.

"Dapat kata-kata mutiara darimana nih?"

"Udah, ah. Yuk, berangkat! Keburu Pak Steven ntar nungguin!"

"Iya. Sekali lagi makasih ya, Mas. Sekarang sudah lumayan tenang. Aku cuma kawatir ndak maksimal."

"Jangan terlalu overthinking. Belajar santai aja. Ok?" Ali menggenggam tangan Anggun dan berjalan bersama.

Tak berapa lama kemudian, mereka berdua sampai di kampus. Entah suatu takdir darimana, Pak Steven berjalan ke arah mereka.

"Pak?" sapa Ali membungkukkan diri.

"Nah, kebetulan sekali kalian berdua di sini. Ayo, sekarang juga ikut saya ke ruangan!" pinta Pak Steven.

"Sekarang, Pak?"

"Iya, sekarang. Kalian ditunggu rektor. Ayo!"

"Ehm, tapi kami ada jadwal kuliah, Pak. Gimana? Ya kan?"

Anggun mengangguk. Pak Riant terlihat gugup entah bagaimana kekawatirannya.

"Sudah... ayo cepetan ikut saja. Itu gampang saya minta ijin ke dosen kalian nanti. Ayo!"

Karena Pak Steven terus mendesak, tak ada pilihan lagi bagi mereka berdua. Ali menggengam tangan Anggun. Mereka berjalan seiring. Dan tentu, berjalan mengikuti langkah Pak Steven yang tak beraturan.

"Sebenarnya ada apa sih, Mas? Kok mendadak gini? Bukannya harusnya kita ke ruangan nanti siang?" ucap Anggun.

"Iya. Mas juga mikir gitu. Entahlah Pak Steven kenapa. Tapi keliatannya kawatir sekali. Hayo... kamu naskahnya ilang kan?" ledek Ali kembali mengingatkan Anggun tentang kecemasannya.

Anggun memukul perlahan lengan suaminya. Ia sedikit kesal diingatkan hal itu lagi. Namun tetap tersenyum sekaligus kawatir dalam satu waktu.

"Udah, ah. Jangan ingetin itu lagi. Katanya harus tenang. Gimana sih? Malah gituin."

"Iya-iya. Becanda. Jangan terlalu serius."

"Aku pikir dulu cucu socrates gabisa bercanda. Taunya malah nyebelin!"

"Apaan cucu socrates. Jangan ikut-ikutan manggil itu ah. Panggil Ali aja. Ok?"

"Iya, filsufku!"

"Ish. Apaan!"

"Tapi ternyata seru juga jadi istri filsuf."

"Apaan. Aku bukan filsuf."

"Iya gapapa deh. Pantes, ko. Cara pandangmu unik, Sayang."

"Apa? Coba ulangi lagi?"

"Gamau wee!" Tawa ceria di antara keduanya. Berbanding terbalik dengan raut wajah Pak Steven di depannya.

Dari kejauhan, sebuah tatapan tajam melihat keceriaan Ali dan Anggun. Tatapan mata yang sama. Itulah Aldi. Apakah ia akan kembali melakukan dendamnya? Dan... apakah Anggun dan Ali akan lancar mengikuti perlombaan menulis itu?