Ali tersenyum. Di tangannya sudah menenteng kresek berisik bahan-bahan. Seplastik jeruk, stroberi, dan susu.
"Mau dibuatin minuman enak?"
"Iya. Coba kayak apa?"
"Ok. Tunggu saja di sini, ya. Duduk manis. Baca buku. Belajar buat lomba nanti. Ok?"
Alu melangkahkan kaki. Wajah antusias tersirat dalam tiap geraknya. Entah apa yang mampu menggerakkan jiwanya untuk berlaku lembut pada Anggun.
Ali dan Anggun masih tinggal serumah dengan Ibunya Ali. Anggun memang belum pamit pada suaminya, untuk tinggal bersama Ibunya sendiri.
Tak menjadi masalah juga bagi Ali. Asal bersama istrinya. Kemanapun. Kapanpun. Pernikahan adalah tentang sejalan. Bukan saling menghalangi jalan. Meksipun berbeda arah pandangan, tapi bagaimana melatihanya tetap satu tujuan; hati yang tenang dalam keberkahan Tuhan.
Cinta, kemana semua akan membawa perjalanan pernikahan mereka berdua? Lihatlah, seorang laki-laki yang berusaha mencintai istrinya itu. Laki-laki yang kini berkacama hitam dengan sorot mata teduh dan tajam.
Tangannya sibuk mengecek air yang mendidih. Untuk ia siapkan teh hangat agar semangat kian pulih. Sementara, ia juga memotong-motong stroberi. Dipotong dadu kecil sekali.
"Ouh... lumayan capek juga." Gumamnya.
Sesekali, matanya memeriksa video resep yang sedang disimaknya.
"Ok. Potongan stroberi dipotong kecil sudah, masukkan kulkas bentar. Ok."
"Sambil nunggu sebentar, aku siapin minuman jeruk hangat saja deh," ucap Ali.
Tangannya begitu kian terlihat cekatan. Sifat perfeksionisnya mulai ia tunjukkan. Dalam berbagai hal, kepedulian memang indah tak terelakkan.
Ali mengambil beberapa jeruk untuk diperasnya. Suatu pekerjaan nampak mudah, tapi belum tentu semua laki-laki mau mengerjakannya.
Kesan repot dan kurang kerjaan, agaknya masih jadi stigma bagi laki-laki pergi ke dapur. Apalagi, anggapan suami takut istri kian mencuat, meskipun suaminya memang berniat baik melayani istrinya sendiri. Memuliakannya.
Beberapa saat kemudian, ia mengambil sebuah wadah di kulkas. Wadah berisi potongan stroberi yang sedikit dilumatkan. Ali sudah siapkan gelas, es batu, dan susu.
Ditaruhnya perlahan stroberi itu. Sepertiga bagian gelasnya. Ia tuangkan susu dan beberapa sendok es buat. Potongan stroberi ia iris sedemikian rupa dan ditaruh di ujung tepian gelasnya. Membentuk padu padan minuman susu stroberi yang menggiurkan.
"Akhirnya jadi... korean strawberry milk ala Ali." Ucapnya seraya tersenyum.
Ia rapikan sejenak dapurnya. Setelah selesai, kembali ia membawa dua minuman sekaligus ke kamarnya. Disana tentu ada istrinya—Anggun—yang sedang asyik menikmati bacaannya.
"Tara.... minuman siap!" ucap Ali ceria.
Anggun menengok ke sumber suara. Matanya yang bulat seakan kian bertambah besar melihat sesuatu yang dibawa Alu. Satu minuman jeruk hangat dan satunya minuman stroberi.
"Apa ini? Cantik sekali," ucap Anggun melihat minuman stroberi.
"Mau? Ambillah. Untukmu."
"Terima kasih." Anggun mengambil minuman stroberi itu dan duduk di tepian kasur.
"Apa ini namanya?"
"Korean Strawberry Milk. Enak bukan?" tanya Ali seraya mengangkat sedikit pundaknya. Berbangga diri atas minuman buatannya.
"Ehm... lumayan," Anggun menjawab singkat. Sibuk mencari potongan stroberi di minumannya.
"Lumayan? Orang cantik dan enak gitu kan. Bilang aja nagih."
"Kok ngambek?"
"Nggak. Siapa juga yang ngambek."
Anggun menahan tawanya. Ia tersenyum seraya menatap suaminya.
"Terima kasih suamiku, sudah membuat minuman seenak ini. Tadinya badmood banget. Sakit. Biasa perempuan," jelas Anggun.
"Hum? Kamu lagi datang bulan? Pantesan. Eh, emang boleh minum es? Hayo?!"
Anggun hampir saja meminum es yang sudah siap di sendoknya. Ali mendekat dan mencegahnya.
"Tunggu. Kalau lagi datang bulan, jangan minum es dulu. Sebentar. Jangan diminum dulu, yah?" pinta Ali seraya bergegas ke dapur dan mengambil gelas kosong.
Ia kembali ke kamar dengan membawa gelas kosong dan sendok. Meminta Anggun untuk menaruh semua potongan es batunya ke gelas yang kosong.
"Sini... taruh potongan es batunya di sini. Kamu harus tetap sehat. Maafin Mas ya, kalau kurang ngertiin."
Anggun terdiam dengan sikap Ali. Bukannya menuangkan potongan es batu, malah terpaku.
"Heh? Kenapa? Hallo?" ucap Ali sambil menaik turunkan tangannya ke pandangan Anggun.
"Eh? Iya?"
"Ayo. Tuangin potongan es batunya ke sini."
"Ok."
Anggun menuangkan perlahan potongan es batunya ke gelas kosong di tangan Ali.
"Kamu suka banget stroberi ya?"
"Iya. Favorit."
"Bukannya suka jeruk?"
"Itu juga suka. Tapi paling suka stroberi."
"Kenapa sih?"
"Kenapa, ya? Ehm... jeruk itu... simbolis keceriaan. Entah kenapa kalau habis makan atau pas bete, lihat warnanya aja berasa langsung ceria," tutur Anggun sambil mencarikan potongan es batu dan melanjutkan memindahkan ke gelas kosong di tangan suaminya.
"Oh ya? Terus kalau stroberi?"
"Stroberi... aku juga gatau. Entah, makin kesini kalau suruh jelasin kenapa suka sesuatu makin kelu kenapa, mungkin saking sukanya."
"Tapi pasti ada dong, awal atau cerita tersendiri kenapa suka banget?"
"Ada."
"Apa?"
"Pas kecil, Ibu tak mudah membelikan buah apapun. Maklum ibu rumah tangga harus memilah mana yang benar-benar prioritas dibelanjakan."
"Nah... saat kecil, kalau minta stroberi hampir selalu dibelikan. Entahlah kenapa. Mungkin, karena itu juga aku jadi suka stroberi dari kecil," jelas Anggun bercerita. Ali mendengarkannya dengan seksama.
"Lalu? Kalau filosofi stroberi sendiri? Tadi kan jeruk katamu sebagai simbol keceriaan. Nah, stroberi?"
"Kamu kan anak filsafat, pasti lebih tahu maknanya. Cari tau aja sendiri. Wee!" ledek Anggun.
"Ih, kan pengin tahu versi istri sendiri. Siapa tahu bisa jadi bahan referensi, kan?"
"Referensi apaan?"
"Referensi buku panduan cara menyayangi perempuan pecinta sastra yang mencintai stroberi," kelakar Ali.
"Apaan sih!"
"Haha. Kalau bikin buku seru kali ya?"
"Udah, ah. Jangan ngelantur."
"Bukan ngelantur. Kan mimpi gapapa. Aku idenya kamu yang bikinin."
Anggun berhenti menuangkan es batu di gelas Ali.
"Nah... sudah selesai. Terima kasih, ya. Aku boleh minum kan?"
Ali menganggukkan kepala. Memandang dengan tatapan hangat yang menenangkan.
"Oh ya, buku filsafatnya bagus. Ternyata, bahasanya gak seberat yang kukira. Aku boleh pinjam?"
"Tentu. Semua yang aku punya, adalah punyamu juga. Tak usah ijin," tutur Ali dengan senyuman hangatnya.
"Terima kasih sudah begitu perhatian dan percaya. Aku sampai kadang gak menyangka."
"Apa?"
"Aku mimpi apa ndak si? Kok bisa menikah sama cowok cuek bin nyebelin yang amat gamau kukenal?"
"Haha... sekarang gimana? Nyesel kan? Nyesel kenapa gak kenal dari dulu? Aku keren kan? Kamu lebih cuek dan nyebelin malah." Ledek Ali.
Suasana bertambah hangat. Candaan dan perhatian mengisi ruangan. Sepasang kekasih yang menabur cinta dengan ketulusan, akan senantiasa berbahagia meski dibuat kecewa. Bahkan, tak ada kekecewaan dalam tiap ketulusan hati. Setiap ketulusan cinta akan menemui ketenangannya.
Cinta. Satu kata beragam makna. Satu kata beragam cara mendapatkannya. Mampukan Ali tetap membina istrinya dalam keluarga yang penuh cinta? Bagaimana juga kelanjutan perlombaan menulisnya?
***
Simak terus kelanjutannya, ya. Jangan lupa komentar kritik sarannya.