Braak!!
Pintu dibuka keras oleh Anggun. Bibirnya menyatu membentuk ekspresi kesal tak tentu. Matanya sesekali memandang laki-laki di depannya—tak lain adalah suaminya sendiri—Ali.
"Ngeselin deh!! Masa minuman stroberiku habis?! Gak ada jeruk juga. Aku mau makan apa?!" keluh Anggun di pagi hari.
Ali hanya memandang sejenak istrinya yang seperti anak kecil itu. Sesekali menyunggingkan senyum. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara, tangannya sibuk memegang buku filsafat. Ia pandangi lembar demi lembar buku itu lekat-lekat. Seolah tak mendengar keluh istrinya yang kian mencuat.
"Hih!! Aku kesel tau!!" serunya pada Ali.
Ia lantas duduk di tepi kasur sambil menangkupkan tangan. Kemudian dipindahkan kedua tangannya di dagu. Sembari masih menggerutu.
"Lagian siapa sih yang tega makan jeruk dan minuman stroberi kesukaanku? Sebel!!" gerutunya.
"Harusnya kan bisa tanya dulu. Apa gak bisa bicara?! Kan gak sopan!" Anggun terus menggerutu.
Ali? Ia asik sendiri dengan buku-buku kesayangannya. Duduk di tepian jendela kamarnya. Bersandar sembari melihat pemandangan luar rumahnya.
Sesekali kembali menengok istrinya yang terus mengomel. Ia tak sanggup menandingi istrinya dalam hal mengomel. Laki-laki berambut panjang itu hanya tersenyum manis, seolah tak ada apa-apa.
"Hih! Awas aja, ya kalau ketauan yang makan jeruk dan minum minuman stroberi favoritku," Anggun masih kesal dan terus menggerutu.
"Emang mau diapain?" Ali menjawab kekesalan istrinya.
"Suruh bikin lagi lah! Itu kan minuman favoritku. Oh... aku haus sekali," keluh Anggun lalu merebahkan dirinya di kasur.
"Haus apa ngantuk?" ledek Ali sambil menggeleng-gelengkan kepala. Merasa lucu melihat tingkah istrinya.
"Emang apa yang lucu? Kenapa ketawa?" kesalnya.
"Liat aja sendiri di cermin. Pasti ketauan apa yang lucu." Ali segera mengerjainya.
Anggun beranjak dari kasur. Ia berjalan ke meja rias dan melihat dirinya di cermin. Mengecek satu per satu bagian wajahnya. Apakah ada yang aneh?
"Hum? Apa yang lucu? Mata masih belo, hidung masih satu dengan lubang dua, alis normal, mulut masih ada. Apa yang lucu?" gumam Anggun.
Lantas, ia berbalik ke arah Ali yang menahan tawa. Tak lama kemudian berjalan mendekati suaminya. Dengan ekspresi gerutunya yang tak memudar, ia mengungkapkan kekesalannya.
"Jangan-jangan.... Mas yang minum minuman stroberiku, yah? Ayo ngaku!" tuduh Anggun sambil memegang lengan suaminya.
"Mas juga yang makan jeruk mandarin kesukaanku di kulkas kan? Ayo ngaku!"
"Apaan sih, Sayang? Masih pagi. Mau lomba kukuruyuk sama jago?" ledek Ali.
"Udah deh gausah sok ngelucu. Bilang aja. Iya kan?" tuduh Anggun.
"Kalau iya, kenapa?"
"Tuh kan!! Itu jeruk terakhirku. Aku pengin makan. Itu juga minuman stroberi favoritku. Sekarang aku haus banget. Mas tega," keluhnya sambil terduduk di lantai begitu saja. Merengek tiada tara.
Melihat istrinya seperti anak kecil, Ali segera membangunkannya. Menaruh bukunya di meja dan mendekap Anggun penuh mesra.
"Ssst... sini. Jangan duduk di lantai, ntar sakit," ucap Ali dengan lembutnya.
"Hum... kenapa Mas gak bilang dulu, sih. Kan tau itu minuman favoritku. Jeruk kesukaanku juga," rengek Anggun dibalik punggung Ali yang mendekapnya.
"Iya-iya. Mas salah ndak ijin dulu. Nanti Mas bikinin deh. Gimana?"
"Bikin? Kan itu beli."
"Kalau beli, sudah biasa. Nanti Mas bikinin yang beda. Dijamin lebih enak. Gimana?"
"Yakin? Emang lihat darimana?"
"Ada deh. Mahasiswa filsafat itu harus progresif dalam semua hal. Termasuk progresif menyenangkan istrinya. Benar?"
Anggun mengangguk.
"Dan... mahasiswi sastra harus senantiasa drama tentang hal-hal kecil. Betul?"
Anggun mengangguk.
"Eh, nggak! Nggak betul! Apaan sok banget! Belum tentu juga mahasiswa filsafat punya pemikiran progresif, kok!" sanggah Anggun.
"Mahasiswi sastra juga nggak drama. Emang sastra cuma drama apa. Wee!!" ledek Anggun.
"Itu... buktinya kamu pagi-pagi kesal begitu cuma karena jeruk dan minuman stroberi," Ali mengucapkan dengan setengah tertawa.
"Itu bukan cuma tau! Berharga!"
"Oh ya? Kenapa sebegitu berharganya?"
"Ya... pokoknya berharga deh. Pikir aja sendiri katanya filsuf!"
"Ngambek nih?"
"Udah ah. Sana! Katanya mau bikinin!"
Ali menggodanya dengan terus tertawa kecil. Sesekali ditahannya, tapi tak bisa. Ardi terus tertawa hingga membuat Anggun kian sebal.
"Udah ah, jadi mau bikinin nggak sih? Atau aku pergi beli sendiri!" Anggun beranjak dan meninggalkan Ali.
Namun, Ali meraih tangannya dan mendudukkanya di tepi kasur. Ia pandangi istrinya yang nampak berbeda kala itu.
"Ssst... tenang. Aku akan bikinin minuman stroberi favorit dan lebih favorit. Jadi, tolong sabar, yah istriku yang lucu," ucap Ali seraya memainkan ujung hidungnya yang mungil.
Anggun menampiknya dan mulai meredakan kekesalannya. Ia atur napas sedemikian rupa dan mulai terlihat tenang.
Ali meraih jaketnya dan bersiap membeli bahan-bahan untuk membuat stroberi.
"Aku pergi dulu, yah? Jaga diri baik." Pamitnya.
Anggun mengangguk perlahan. Beberapa saat setelah Ali menutup pintu kamarnya, ia merebahkan diri.
"Oh... sakit banget perutku. Minuman stroberiku, aku butuh kamu," celotehnya pada diri sendiri.
"Ouh... jeruk mandarin, i miss u." Lanjutnya.
Anggun menengok ke arah jendela. Di dekatnya ada buku milik suaminya. Entah kenapa, naluri membacanya dibuat penasaran.
Sambil memegang perut bagian bawah yang sakit, ia berjalan ke meja dimana ada bukunya Ali. Ia baca sampul bukunya berjudul 'Sebelum Filsafat' karya Fahruddin Faiz.
"Ehm... emang sebagus apa si, sampai dia rela baca pagi-pagi?" Anggun baca bagian belakang covernya. Ia sepertinya tertarik.
Tak berapa lama kemudian, tangannya sudah membalikkan lembar ke dua puluh lima. Anggun juga duduk di jendela seperti Ali sebelumnya.
Sesekali matanya diarahkan ke luar jendela setelah dirasa capek membaca kata di bukunya. Tak jarang, hal paling berharga kita lupa mensyukurinya. Merindukan nikmat lain yang tak ada habisnya diingin.
Bukankah ada banyak hal di dunia ini yang semestinya juga disyukuri? Nikmat mata bisa membaca, misalnya. Bayangkan mata kita tak bisa membaca. Satu nikmat yang dicabut-Nya saja akan begitu berpengaruh ke lainnya.
Anggun kembali menekuri bukunya Ali. Ia sepertinya lupa dengan sakitnya sendiri. Barangkali memang ada benarnya. Cara lain meredakan sakit adalah baca buku yang berat.
Kenapa bukan bukan pengembangan? Justru ketika orang sakit membaca buku berat atau dirasanya berat, sakit yang dirasakannya akan teralihkan sendiri dengan persepsi lain. Yakni sebuah persepsi baru bahwa ada yang lebih njlimet dan mumet alias lebih membuat sakit daripada sakit yang ia alami.
Anggun masih membaca buku itu. Sesekali refleks tersenyum dibuatnya. Seakan tersadarkan sendiri. Sampai ada ketukan pintu, ia tak mendengar sama sekali.
Ali akhirnya membukanya sendiri dan membawa bahan-bahan yang akan dibuatnya menjadi minuman stroberi.
"Lagi baca apa nih?" ucap Ali mengagetkan Anggun.
"Eh!" Anggun terbelalak melihat dirinya kepergok membaca buku filsafat Ali.
"Maaf, tadi aku penasaran buku apa. Jadi tak baca deh," ucap Anggun.
"Iya, gapapa. Gimana rasanya?"
"Ehm... sedikit manis dan asam kaya stroberi itu," Anggun menunjuk stroberi yang dibawa Ali.
"Nih, ini buat cemilan ini yang nanti mau buat minuman. Tungguin yah?"
Anggun langsung tersenyum seperti seorang anak kecil yang dikasih permen ibunya.
"Beneran kan mau dibuatin minuman?" Tanyanya kembali penasaran.