Ali dan Anggun beranjak menuju ke arah suara. Sudah ada Pak Steven yang menunggunya.
"Gimana kabar?"
"Alhamdulillah, Baik, Pak."
"Ouh ya, pengantin baru. Tambah semangat dong ngerjainnya?"
"Bapak apaan, sih," celetuk Ali.
"Ngerjain persiapan lomba! Kalian lupa? Persiapan tinggal beberapa hari lagi. Gimana? Sudah siap?"
"Lomba? Saya kan baru saja ambil S2, Pak. Memang boleh?"
"Kebetulan ini tidak mensyaratkan mahasiswa manapun, yang penting tetap statusnya mahasiswa. Biarpun kamu S2, disebutnya tetap mahasiswa kan? Kebetulan kamu juga masih muda. Bapak pikir usiamu masih cukup."
"Gimana?"
Aldi melirik Anggun. Memintanya menjawab terlebih dahulu.
"Ehm, begini, Pak. Kami sebenarnya sudah siap. Cuman masih dipertimbangkan lagi untuk tema yang mau diambil. Bagaimana, Pak?"
"Baiklah. Besok Bapak tunggu di ruangan. Serahkan tema dan contoh tulisan yang mau diajukan. Ok?"
"Ok, Pak."
Pak Steven tersenyum sejenak, entah mensenyumi apa.
"Ouh... aku hampir lupa ada lomba! Gimana, Sayang? Kamu sudah siap emang?"
"Udah dong. Aku kan rajin. Weee!"
"Apaan. Liat aja ya nanti. Siapa yang bakal menang."
"Emang kalau menang mau apa?"
"Apa aja."
"Serius, apa aja? Berani?"
"Siapa takut."
"Yaudah, kalau Mas kalah, harus bikin akun instagram dan upload foto romantis dengan caption dan tag aku. Gimana?" tutur Anggun dengan nada cerianya.
"Emang harus gitu?"
"Iya. Harus! Katanya berani."
"Baiklah. Tapi kalau kamu yang kalah... harus beliin buku filsafat yang aku mau. Gimana?"
"Siapa takut."
"Ok."
"Ok."
Mereka berdua menautkan jari kelingkingnya. Seperti seorang sahabat yang saling membuat janji. Terlihat lucu dan menggemaskan sekali.
Di dunia ini, terutama di Indonesia, seringnya pernikahan memang hanya tujuan. Bukan sebuah cara atau jalan. Makanya, tak sedikit orang menikah karena terpaksa atau dipaksa.
Tak sedikit pula, menikah karena tuntutan keluarga, omongan tetangga, atau... gara-gara temannya sudah duluan? Banyak sekali.
Hasilnya apa? Tak sedikit yang rapuh. Lemah. Memilih mundur padahal belum lama pernikahan berjalan. Lantas, kalau sudah begini mau bagaiamana?
Meskipun Anggun memilih menikah muda, tetapi bukan berarti ia terpaksa. Justru memang itu pilihannya sendiri. Terlebih, saat pelan-pelan mengetahui. Bahwa suaminya kini bukan orang sombong dan paling blagu, tapi hanya sedikit kaku.
"Mas..."
"Ya?"
"Pernah kepikiran dulu menikah sama aku?"
"Sedikitpun ndak. Apalagi perempuan nyebelin kayak kamu. Namanya aja Anggun, tapi dulu kamu kan bandel. Udah gitu teledor, berani berkelahi, bolos, tapi suka jatuh mulu," celetuk Ali di depan Anggun.
"Kamu juga nyebelin! Bukannya bantu malah dijatuhin. Huh! Apa coba namanya kalau bukan sombong?"
"Sombong?"
"Ya. Apalagi?"
"Haha... emang aku keliatan segitunya? Tapi fansku banyak kan?"
"PD!"
"Iya dong."
"Emang kenapa nanya gitu?"
"Ya... pengin nanya aja. Kadang aku kepikiran sesuatu."
"Kepikiran apa?"
"Tentang hubungan pernikahan ini."
"Memangnya? Kenapa?"
"Pernikahan bukan main-main kan? Nah, kenapa sekarang banyak sekali pemuda-pemudi nikah, tapi baru sebentar cerai. Rasanya ikut nyesek," jelas Anggun mulai menyampaikan uneg-unegnya.
"Lanjut aja, Sayang."
"Ya... itu aja. Takut sebenarnya apa sih yang kita cari dalam pernikahan?"
"Kalau sekadar suami istri. Dimana istrinya harus nurut apa kata suami, aku pikir agak aneh," ucap Anggun serasa seperti mengingat sesuatu.
"Aneh?"
"Ya. Mas pernah baca bukunya Pramoedya Ananta Toer, kan?"
"Tau. Baca yang apa dulu, nih?"
"Yang ngangkat tema pernikahan. Bumi Manusia juga ada kan? Dan ada satu buku yang menyoroti pernikahan paksa juga."
"Apa tuh?"
"Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Tau?"
"Oh iya. Tau! Bagus itu."
"Mas sudah pernah baca?"
"Sudah."
"Apa yang menarik?"
"Luka dari tokoh utama perempuan."
"Maksudnya?"
"Bukankah perkawinan disitu sungguh telah merelakan banyak hal? Termasuk meninggalkan diri dari orangtuanya sepenuhnya? Siapa yang ndak terluka?"
"Iya. Tepat. Makanya aku tadi sempat kepikiran. Apa sih yang membuat pernikahan bisa awet?" Anggun berceracau sendiri. Seolah mendengarkan nyanyian dari suaranya sendiri.
"Mas!"
"Iya?"
"Aku pengin ke depan kita kayak sahabat."
"Maksudnya?"
"Seorang sahabat sejati akan sibuk bagaimana saling memberi. Bukan hanya menuntut dipatuhi," ucap Anggun seraya membersihkan keringat di dahinya.
"Betul. Menikah itu mudah. Tapi perjalanan mempertahankannya yang butuh perjuangan."
"Aku akan berusaha menjadi sosok sahabat dalam beberapa hal. Semoga kamu makin nyaman yah?"
"Terima kasih, Mas."
Beberapa mahasiswi yang kebetulan lewat, melihat sosok Ali dan Anggun berdiri. Beberapa mahasiwi itu memang terkenal sangat mengincari Ali.
"Melihat mereka, aku jadi tambah takut," ucap Anggun.
"Takut? Takut apa?"
"Takut kamu kepincut."
Ali melebarkan senyum. Dielusnya rambut istrinya. Ia raih punggung Anggun untuk menyatu dalam dekapannya.
"Aku paham. Aku mengerti, Sayang. Tapi begitulah manusia. Kita ini makluk lemah, butuh kekuatan Allah," tutur lembut Ali, kini menjadi terasa hangat tersendiri.
"Kaya, tampan, sholeh juga tak cukup."
"Bukannya itu yang lebih sering disoroti?"
"Ya. Tapi percayalah. Itu bukan tawaran yang murah."
"Bukankah ada juga pasangan yang muda, tampan, karir ok, tapi juga cerai dalam hitungan satu dua tahun pernikahan?" lanjut Ali.
"Hayo... kira-kira kenapa?"
"Aku gatau. Aku lebih suka baca novel, bukan dengerin gosip."
"Nah, itu. Coba dari sudut pandang seorang pembaca novel itu kenapa? Bisa dong?"
"Ehm... maybe banyak hal. Kita gak bisa menyimpulkan orang memutuskan menikah karena apa dan memilih bercerai karena apa," jelas Anggun.
"Benar. Tapi... bisa dong diperkirakan?"
"Bisa jadi... karena ada salah satu yang egois, ini seringnya terjadi yang menikah muda. Jiwa mereka yang merasa terbelenggu ikatan pernikahan, semacam ingin berontak," Anggun mencoba menuturkan pandangannya.
"Nah, tinggal larinya kemana kan? Yang gak bisa kekang nafsunya, ada yabg sampai selingkuh. Jadilah biang masalah."
"Ehm... bisa dimasuk akal," jawab Ali.
"Jadi kamu mau nyimpulin, kebanyakan karena belum selesai dengan diri sendiri?"
Anggun menggelengkan kepala. Ia menatap suaminya dengan tatapan teduh. Ia raih tangannya seraya menuturkan perkataan lembut.
"Tidak ada yang benar-benar selesai dengan diri sendiri. Entah tua atau muda. Pasti setiap orang ingin mencapai keinginan sesuatu hal."
"Ada yang mampu meredamnya, karena bijak mempertimbangkan hal lain, ada juga yang belum bisa mengontrolnya dan tak mau tahu dengan respon di sekitarnya. Yang penting keinginannya bisa, bisa aja."
"Kira-kira siapa di antara kita yang egois?"
Anggun kembali tersenyum. "Tidak untuk itu. Tapi mari berusaha saling mengingatkan. Mari mengajak bukan mengejek. Mari berjalan seiring bukan digiring. Ada kalanya sesuatu yang baik jadi sedemikian buruknya, karena lupa," Anggun menjedakan ucapannya. Matanya yang bulat itu seperti memandang sesuatu hal dalam diri Ali.
"Ya... lupa bahwa ada hal yang lebih utama sebelum mengingatkan. Tahu diri."
"Hum?"
"Ya. Mereka yang bisa punya jarak bagaimana menasehati akan tetap jadi indah dengan tutur kata lembut, misalnya. Tidak menuduh, tapi memberi tahu sampai dengan sendirinya meluluh."
"Toh, bukankah pada akhirnya, saat kita menasihat pasangan, hatinya tetap kuasa Tuhan? Bagaimana Tuhan akan memberi rahmat-Nya saat orang itu marah-marah?"
Kini, Ali yang tersenyum. Obrolan tak terduga itu menciptakan ruang pemahaman tersendiri bagi keduanya. Ruang pemahaman bahwa ke depan, sebuah pernikahan akan selalu ada tantangan. Bagaimana sikap saling memahami itulah kunci.
"Terima kasih, ya. Terima kasih sudah mengingatkanku dengan tutur lembutmu," ucap Ali seraya menggenggam erat tangan Anggun.
"Mau pulang sekarang? Kita siapin buat lomba nulis nanti!" lanjut Ali.
Anggun menganggukkan kepala. Matanya kian terlihat bening dan indah bercahaya. Ketulusan, terpancar dalam geraknya.
Apa saja rintangan yang akan mereka berdua hadapi? Apakah cinta Anggun yang mulai tumbuh pada Ali dan sebaiknya, mampu jadi bekal keduanya mengarungi?