Anggun tak bisa berkata-kata lagi mendengar ucapan itu dari suaminya.
"Atau... kamu mau ndak ikut? Biar aku saja. Kamu barangkali ada perlu sama Anita," lanjut Ali.
"Tidak, Mas. Aku ikut kamu. Aku kawatir kamu kenapa-napa."
"Ok."
Mereka berdua berjalan cepat menuju ruang kelas mahasiswa jurusan hukum. Tangan Ali tetap menggandeng Anggun, memastikan ia aman dari jangkauannya.
"Di sini kebanyakan cowok, kalau nanti ada yang usilin kamu, selagi cuma ucapan, yang sabar, cuekin aja. Kecuali kalau ada yang sampai fisik, bilang ke aku. Ok?" pinta Ali begitu ia sampai di deretan ruangan menuju kelasnya.
Anggun mengangguk meskipun belum sepenuhnya mengerti. Namun, ia hanya mencoba mengikuti suaminya kemanapun melangkah. Sebab ia percaya, ia adalah orang baik dan dapat dipercaya.
"Wuih... Bro. Liat tuh sapa yang dateng," celetuk salah seorang laki-laki melihat Anggun dan Ali berjalan melewati deretan ruangan sebelum masuk kelasnya itu.
"Hoho pengantin baru, Bro. Pantas gandengan, bentar lagi juga jalannya sendirian."
"Haha bisa aja lu!"
Ali tentu mendengarnya, tapi enggan membalasnya. Karena tujuannya sekarang adalah satu. Menemui Aldi dan memberi pelajaran untuknya.
Akhirnya, Ali sampai di ujung kelasnya. Seseorang yang sempat bertemu di Base camp berceletuk.
"Eh, udah selesai di base camp mau ajak cewenya ke kelas? Janganlah. Nanti jomlo kasian."
"Berisik lu! Dimana Aldi?" tegas Ali.
"Aldi? Bukannya biasanya kalian dulu satu paket?"
"Di dalam gak ada?"
"Tau tuh. Dari tadi pagi juga ndak ada."
"Kemana dia? Beneran gak ada yang tahu?"
"Enggak. Lagian mana ada yang mau temenan sama cowo blagu yang sok kaya itu."
"Kita-kita biar laki-laki kere juga gak akan ngorbanin idealis demi nggaet hartanya dia doang. Risih gue kalau deket sama dia."
"Apa maksudnya?"
"Lu tau sendiri kan bokap nyokapnya siapa? Pejabat semua Bro! Dan penuh kisruh biasa lah. Pejabat di sini gimana rata-rata."
"Gue gamau aja deket-deket sama mereka. Oposisi aja lah."
"Terserahmu!" tegas Ali dan kembali mengeratkan tangan Anggun yang sedari tadi hanya menyimak obrolan suaminya.
"Kita mau kemana, Mas?"
"Aku ingat satu tempat. Kita ke sana."
"Tempat biasa Aldi?"
"Ya."
Beberapa saat kemudian, Ali sampai di tempat tak jauh dari taman kampus. Benar. Di sana ada Aldi yang duduk menundukkan kepala. Ia pegangi kepalanya seolah benar-benar putus asa.
Ali yang tadinya berniat menghajarnya seketika, mulai mengantongi kembali rencananya itu. Ia mulai berjalan perlahan mendekat sahabatnya itu.
"Aldi...." panggil Ali.
Laki-laki di depannya seraya mengangkat kepala perlahan. Melihat laki-laki di depannya adalah Ali, ia sontak kaget. Matanya terbelalak apalagi begitu melihat Anggun di sampingnya.
"Kalian mau apa kesini? Mau ikut membullyku? Hah? Pergi!!" pekiknya.
"Tidak. Kami kesini hanya mencarimu."
"Untuk? Untuk apa? Oh... foto itu? Iya, itu suruhanku."
Aldi mengaku begitu saja. Ia seakan tak peduli apapun respon Ali yang bisa saja akan melakukan pembalasan padanya.
Namun, berbeda dengan Ali. Ia mengurungkan niatnya membalas. Ia mendekat perlahan pada Ali. Berusaha mendengarkannya itu. Meskipun ia adalah orang yang telah berusaha merusak rumah tangganya.
"Ada apa memangnya, di? Ceritakan saja," ucap perlahan Ali.
Aldi menepis tangan Ali yang berusaha menepuk pundaknya.
"Gausah sok lu! Bilang aja lu juga sama kayak lainnya kan? Semuanya di sini nganggep gue sama! Anak konglomerat yang makan duit rakyat. Iya kan?"
"Maksudnya?"
"Gausah pura-pura polos gitu deh. Muak gue liatnya! Gue tau lu udah jauh melampaui gue! Lu udah jadi pengusaha muda sukses! Miliarder atau apalah!"
"Lu bisa beli apapun yang lu mau, kan? Lu pun bisa kemana aja sesuka lu. Mau pake mobil ini itu, motor ini itu, semuanya ada kan? Tanpa satu orang pun yang ngejudge dan selalu ngebully lu!"
"Hah? Apalagi?! Lu apalagi bisa dapat istri cewe yang gue suka! Anggun! Yaa ya yaa... Lu dapat apapun yang lu mau! Hahaa selamat! Gue akui lu hebat!" Gelak tawanya terdengar sedikit berat.
"Yaaa... Sudah jadi sultan kan? Sementara gue? Gue masih belum kelar lulus S1. Nah, lu dateng lagi kesini mau kuliah lagi, hah? Bosen duduk di kantor? Kenapa lu gak enyah aja dari kehidupan gue?!"
"Lu bisa dapetin yang lu mau, Li! Tapi gue?! Dapet perhatian orang lain pun kagak! Semua gak ada yang peduli! Termasuk lu!" Aldi beranjak meninggalkan Ali dan Anggun. Ali berusaha menahan langkahnya, tapi tak berhasil. Aldi menepis tangannya kembali.
Aldi sempat kembali menoleh pada keduanya. Dan berkata, "oh ya, tentang foto itu, nanti gue hapus!" ia kembali melanjutkan langkahnya entah kemana.
"Tunggu, Aldi!!" seru Ali berusaha menahan sahabatnya percaya kembali.
"Sudah, Mas. Biarkan saja," Anggun mencoba menenangkan suaminya.
"Kamu sudah tahu kan sekarang? Siapa pelakunya?"
Anggun menganggukkan kepala.
"Apa yang ingin kamu lakukan padanya?"
"Aku tak ingin apapun, Mas. Mungkin saja beban hidupnya lebih berat dariku. Hingga dia nekad melakukan cara apapun untuk mendapatkan kesenangannya," tutur Anggun begitu bijaksana.
Ali mendekatkan tubuh Anggun pada dadanya yang hangat. Didekapnya seketika istrinya yang berhati lembut itu. Jiwa pemaaf dan bijaksananya berhasil menenangkan Ali.
"Aku beruntung memiliki istri sepertimu."
"Kenapa?"
"Disaat aku cemas, kamu yang menenangkanku. Dan di saat kamu cemas, aku pun yang berusaha menenangkanmu," tutur lembut Ali sambil membenamkan kepala Anggun lebih dalam. Didekapnya erat dan semakin erat. Nyaman dalam sebuah pelukan kasih sayang.
"Maaf, tidak bisa membalas apapun pada Aldi," ucap Ali seraya melepaskan dekapannya perlahan.
Anggun tersenyum dan menatap suaminya. Sebuah wajah dengan rahang tegas itu amat tampan. Pantas saja, banyak mahasiswi yang menggemarinya. Hanya karena Ali lebih cuek, itu tak begitu terlihat dalam hidupnya.
"Kamu tampan, Mas," celetuk Anggun.
"Apa? Coba bilang sekali lagi." Ali mendekatkan telinganya ke arah Anggun.
"Kamu tampan!"
"Apa?"
"Kamu jeleeeek!!" seru Anggun meledeknya.
"Ish... awas, ya!" Ali menggelitiki istrinya.
"Udah, Mas. Geli tau."
"Lagian ditanya apa malah jawab apa."
"Hehe... lagian aku juga gak ngarep kamu balas apapun, ko. Cukup lega aja sudah tahu siapa pelakunya. Itu sudah sangat cukup bukan?"
Ali menganggukkan kepala dan terkagum dengan sikap istrinya. Hari-hari memang tak ada yang pernah semuanya manis. Masalah tentu ada. Namun, bagi keduanya itu bukan halangan, tapi rintangan membawa pernikahan itu dalam ketenangan.
Saat keduanya akan beranjak, sebuah suara tak asing memanggilnya.
"Hei, Ali! Anggun!! Ke sini!!" seru Pak Steven, salah satu dosen yang akan membimbingnya ikut lomba. Entah, lomba apa yang akan mempertemukan kembali mereka.
"Waduh, Pak Steven. Gimana?" tanya Ali bingung.
Mereka beradu pandang. Entah, sedang apa yang dipikirkannya.