"Aku gak tega lihat kamu habis berkelahi. Keliatan capek."
"Apapun capeknya, selagi itu untuk menolong istriku sendiri, harus diutamakan. Ayo sekarang kita pergi ke Anita!" ajak Ali.
"Tapi... kamu," Anggun berusaha menahannya.
"Sudah. Urusan ini harus segera diselesaikan. Yah!?"
Anggun mau tak mau mengikuti Ali. Ali raih tangan Anggun dan berjalan bersama. Sesekali menganyunkan langkah lebih cepat, karena begitu penasarannya.
Sebelum tangga masuk ke kelas Anggun, di sana sudah ada Anita dan laki-laki misterius itu. Keduanya duduk di kursi panjang di depan ruangan.
"Nit?!" sapa Anggun.
"Heh! Kamu di sini!" seru Ali bersiap memukulnya kembali. Anita menahan emosi Ali yang meluap ke laki-laki misterius itu.
"Kenapa belain dia, Nit?"
"Aku tak bela siapapun, tapi dialah petunjuk dari fitnah foto itu."
"Petunjuk? Bukankah dia laki-laki yang mencurigakan?"
Anita melepas topi laki-laki misterius itu. Begitu dibuka, Anggun mengetahui itu adalah salah satu teman di angkatannya.
"Kamu?"
"Maaf, Nggun. Aku yang salah."
"Maksudnya?" Anggun nampak bingung, dan makin terihat bingung.
"Apa maksudnya, Nit?"
"Dia orang yang di foto itu."
"Hah? Kamu?" Anggun terbelalak. Matanya seolah tak percaya orang di depannya yang tega memfitnah itu.
"Ternyata memang kamu!" seru Ali refleks segera menarik kerah bajunya dan memukul pelipisnya.
Bugg!!!
"Sudah, di. Tunggu dulu. Biarkan dia jelaskan semuanya," Anita berusaha menahan emosi Ali.
"Jelaskan! Cepat!" pinta Anita.
"Ehm... maaf, sebelumnya. Saya terpaksa melakukan ini," ucapnya gugup.
"Terpaksa? Apa yang membuatmu melakukan hal bodoh seperti ini, hah!?"
"Saya sedang butuh uang, untuk pengobatan ibu saya di kampung."
"Saat berjalan, saya tiba-tiba ditarik laki-laki untuk melakukan ini," jelas laki-laki teman seangkatan Anggun itu.
"Siapa yang memerintahmu?"
"Saya kurang tahu siapa namanya, tapi kayaknya dia bukan jurusan sastra."
"Aku tak pernah melihatnya."
"Memang dia gak memperkenalkan diri?"
"Tidak. Dia langsung mengajakku untuk melakukan fitnah itu."
"Lalu, apa maksudmu tadi datang ke Base camp, hah?"
"Maaf, aku juga terpaksa berbohong."
"Laki-laki itu yang menyuruhku. Dia ingin membuatmu kesal dan cemburu," jelasnya.
"Nit... kamu yakin dia orangnya?" Anggun masih tak habis percaya.
"Aku pura-pura menguntitmu untuk memancing Ali curiga padaku. Dan cemburu. Itu yang diperintahkan orang yang memberiku uang."
"Tidak hanya fitnah foto itu. Sepertinya, memang dia mengincar suamimu, Nggun."
"Ya."
"Soalnya kulihat dia begitu benci setelah melihat kalian berdua berjalan romantis dan membuat semua mahasiswa iri pada kalian."
"Apa kamu bisa pertanggangung jawabain ucapanmu?"
"Ya. Aku jujur. Itu yang saya lakukan."
"Kurang ajar!!" gerutu Ali.
"Coba sekarang kau jelaskan ciri-ciri laki itu."
"Ehm... dia memakai hodie biru hari ini."
"Hodie biru?"
"Ya."
Ali berusaha mengingat sesuatu. Kekawatiran, sangat lekat tumbuh di matanya. Sebagaimana seorang kekasih yang ingin selalu melindungi pujaan hatinya, Ali pun sama.
Begitu mendengar Anggun terlibat masalah, naluri cinta Ardi muncul. Padahal, keduanya menikah dan dipersatukan tanpa ikatan cinta sebelumnya.
Kalau pepatah berkata cinta akan terbiasa karena sering berjumpa, adakalanya bukan demikian. Cinta antar keduanya, tumbuh dengan kejujuran apa adanya. Bukan cinta lagi, namun bagaiman saling menyayangi. Melihat kekasih hati, sebagai orang yang disayangi. Bukan hanya meminta untuk dikasihi.
Begitulah seharusnya cinta bekerja. Tetap memberi, meskipun sebelumnya tak dikenali. Tetap menyangi dan menjaga sepenuh hati, apa-apa yang sudah dimiliki.
"Sebentar. Aku ingat sesuatu."
Ali mengambil ponselnya. Ia menselancarkan jemarinya yang panjang di layar ponselnya. Entah, mencari apa. Tak berapa lama kemudian, ia menemukan sesuatu.
Tanpa menunggu lama, ia tunjukkan sebuah foto pada laki-laki yang sudah mengaku itu.
"Apa ini orangnya?" tanya Ali.
Tak perlu waktu lama, laki-laki itu menganggukkan kepalanya, "benar. Ini laki-laki yang sudah memerintahkanku."
Anggun dan Anita segera melihat foto di ponsel Ali.
"Aldi?!" seru keduanya.
"Ya. Aku langsung curiga ke dia saat tak sengaja melihatnya sekilas memakai warna biru."
"Tapi... kenapa dia melakukan ini semua?" tanya Anggun.
"Apa lagi kalau bukan dia cemburu?!"
"Ouh, aku tak pernah menyangka Aldi akan melakukan hal ini."
"Katakan padaku, apa yang membuatmu mengaku, hah? Apa ini juga rencana Aldi?" seru Ali menginvestigasi laki-laki di depannya itu.
Anita terlihat kikuk. "Ehm, tentang itu... sebenarnya karena aku yang memaksanya mengaku."
"Kamu?"
"Aku tak sengaja melihat Aldi dan dia berdua tepat di bawah ruangan kelasku."
"Aku sempat heran, kenapa mereka berdua tiba-tiba bisa akrab?"
"Tak lama kemudian, berita itu tersebar siang harinya. Entah kenapa, aku langsung terfikir saja menginterogasinya," papar Anita.
"Kamu memang sama seperti ibumu, Nit. Pantas jadi jurnalis investigasi," ledek Anggun.
"Sekarang, aku sudah boleh pergi?" ucap laki-laki bertopi itu.
"Ingat. Berpura-pura saja kami tak menangkapmu."
"Kenapa?"
"Aku ingin kamu tak diancam atau apapun."
"Tapi... bagaimana?"
"Tenang saja. Kalau kamu sedang butuh uang untuk pengobatan ibumu, aku siapa membiayainya. Ini kontakku. Kamu bisa menghubungiku," ucap Ali tegas.
Laki-laki itu berkaca-kaca. Ia tak menyangka justru dengan mengakui kesalahannya, ia mendapat nikmat tak terduga.
"Tapi... kamu tak menyuruhku berbuat aneh kan? Jujur, saya takut berurusan dengan Aldi. Saya berencana akaj mengganti nomor ponsel untuk menghilangkan jejak," laki-laki bertopi itu nampak ragu.
"Tenanglah. Aku tak memintamu banyak, kok. Aku tulus membantu ibumu yang sakit. Bagus kalau tak mau berurusan lagi," ucap Ali.
Laki-laki bertopi itu menganggukkan kepala, dan berlari menaiki anak tangga.
Anggun tersenyum bangga melihat sisi lembut Ali. Ali yang semula dikiranya amat sombong, ternyata memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Heh, ngapain senyum-senyum?" tegur Ali melihat Anggun.
"Eghem! Aku juga naik ke kelas dulu, ya. Obrolan selanjutnya biar untuk 20+!" ledek Anita.
"Heh! Kamu juga sudah 20+!" balas Anggun.
Akhirnya, tanpa menunggu lama pelaku foto itu tertangkap. Cinta pun makin tumbuh di antara Anggun dan Ali. Namun, apakah rencana Ali selanjutnya pada Aldi?
Tak ada yang benar-benar baik-baik saja di dunia ini. Yang kita kira baik, bisa jadi hanya karena ingin terlihat baik. Pun, yang kita nilai buruk, bisa jadi karena tak ingin kebaikannya dipedulikan orang lain.
Lalu, batas mana seseorang berhak menilai sesuatu baik atau tidak? Sampai di mana kewajaran kita bersikap sebagai pemaafan sesama manusia?
Dengan segenap rasa kesal dalam hati, Ali sedikit berlari. Sorot matanya yang tajam itu seakan ingin menyergap apapun di depannya. Namun, untung saja ia punya mata tak hanya tajam, tapi juga teduh di dalamnya.
"Hati-hati jalannya. Yang tenang, Sayang," pinta Anggun sambil terus berjalan dalam genggaman tangan Ali.
"Aku tahu. Tapi aku gak akan biarin laki-laki itu tak mendapat pelajaran!" gerutu Ali sembari terus mencari sosok yang sedang dicarinya. Tak lain adalah Aldi.
"Iya, tapi... bagaimanapun juga dia sahabatmu, 'kan?"
Pertanyaan itu ternyata malah menjedakan langkah Ali tiba-tiba. Hal yang semula dikawatirkan Anggun, kini malah bertambah kawatir.
Diamnya Ali di hadapannya, cukup membuat detak jantungnya tak karuan. Ia takut suaminya itu marah.
Sambil memegang lengan atas istrinya, Ali melebarkan ujung bibirnya. Terkembang senyum khas laki-laki dewasa yang ingin menangkan pasangannya.
"Sayang, aku minta kamu percaya sama aku. Itu saja. Ok?"