Di bawah langit yang buta, Igho hilang akal, melajukan mobilnya tunggang langgang sembarangan arah.
Yang terpenting ia pergi dari rumah saat itu dan tidak melihat Mama dan Ayahnya.
Sebenarnya Igho berharap Mama Lia akan mendukungnya, hingga ada sedikit celah untuk menolak permintaan Ayah Manaf. Tapi nyatanya Mama Lia malah semakin menyudutkannya dengan tamparan sadis di pipinya itu.
Sepanjang perjalanan Igho masih mengingat dan merasakan tamparan itu melayang di pipinya.
Hingga perih di hatinya terlalu sulit untuk ia ungkapkan.
Masalah terberatnya hanya satu, yaitu mendapat tamparan keras dari Mama Lia.
Sedari kecil hingga ia tumbuh dewasa, Mama Lia selalu menganak emaskan Igho. Tapi sejak ia menikah, Igho merasa bukan jadi anak keduanya melainkan menjadi budak mereka.
Sebuah getar dari ponsel Igho masuk dan menderit di atas dashboard mobil.
Sambil mengemudi, Igho melirik isi penelpon dari layar ponsel itu.
"Mama?"
