Ify tak bisa tidur meski malam telah menyambut dengan gersangnya. Ia kepikiran Naran. Namun, enggan untuk menghubunginya karena gengsi setinggi langit.
Ia sudah memutuskan akan membiarkan Naran, menguji apakah lelaki berengsek itu masih peduli kepadanya atau tidak. Jika peduli, harusnya dia meneleponnya, kan?
"Setidaknya masih peduli pada anaknya. Dia menghubungiku untuk menanyakan anak di perutku saja sudah cukup," harap Ify dengan suara sepelan mungkin.
Wanita itu mulai menangis lagi. Meremas rambutnya frustrasi. Baginya, semua terlalu cepat berlalu. Kebahagiaannya dengan Naran. Padahal baru saja dibangun, tetapi sudah dihancurkan begitu saja.
"Sialan! Semua gara-gara si Beno! Kenapa, sih, dia itu punya mulut, kok ember. Bisa-bisanya bilang ke si Sofia!"
Entahlah. Sebenarnya masalahnya hanya satu. Dia ingin Naran datang atau menghubunginya, tetapi saking kesal yang ditunggu tak ada menghubungi apalagi mendatangi, akhirnya Ify mengungkit semua hal yang membuatnya bad mood.
