"Satu minggu lagi usiamu sudah menginjak ke tiga puluh tahun dan kau masih saja sibuk melajang, apakah kau tidak menginginkan harta dan tahta dari ayah?"
Kevin mendumel sebal. "Ayah, tidak ada wanita yang membuatku terpikat. Semuanya terlihat sama, benar-benar menyebalkan."
Maria, ibu dari Kevin hanya bisa tersenyum tipis. Wanita penyayang itu mengusap bahu anaknya. "Nak, tidak semua wanita seperti itu. Lupakan masa lalu dan mulai berpijaklah menggali masa depan."
"Ibu, melupakan tak semudah itu," tungkas Kevin cepat.
"Ibu yakin, kau bisa. Carilah wanita untuk mendamping hidupmu dan tentunya jadilah pewaris tunggal dari keluarga Anuraga sebelum ayahmu menyerahkan itu pada sepupumu." Maria masih tampak sabar, memberikan petuah pada sang anak agar dia paham.
"Benar kata ibumu, baiklah ayah berikan toleransi. Waktumu mencari wanita menjadi tiga hari lagi, kalau melebihi dari itu maka bersiaplah ayah akan kirimkanmu ke luar negeri."
Tanpa disadari kedua tangan kevin terkepal di bawah sana, rahangnya mengatup keras, iris mata berwarna abu menatap bengis pada tembok yang tak berdosa.
"Kalau aku dapat menemukan wanita yang pas dalam waktu tiga hari aku ingin harta dan tahta semuanya milikku, tanpa satu persen pun jatuh pada tangan Aland." Kevin bernegosiasi, ia tersenyum miring kala memikirkan itu.
Aland merupakan sepupu Kevin, usianya sama dengan pria itu. Namun yang membedakan adalah otak cerdasnya. Aland jauh lebih jago berpikir dibanding Kevin. Itulah sebabnya sang ayah selalu membandingkan Kevin dengan sepupunya.
Maria menatap sang suami, menunggu jawaban apa yang akan diberikan pria yang usianya sudah hampir memasuki kepala enam itu.
"Baik."
****
"Bagaimana untuk transaksi hari ini?" Kevin duduk di kursi singgasana, menatap pada asisten sekaligus managernya yang tengah berdiri di sana. Tiga jari-jemarinya mengetuk-ngetuk meja jati hingga menciptakan nada tak berirama.
Devian, pria itu mendongak. "Untuk transaksi hari ini sangatlah baik, tak ada sedikit pun kendala yang terjadi. Awak dan nahkoda, mereka sangat mematuhi apa yang telah saya perintahkan," jelasnya penuh ketegasan.
Kevin tersenyum senang. "Bagus."
Memang, dari empat tahun yang lalu Kevin telah diangkat oleh keluarganya menjadi CEO di Perusahaan Anuraga Group. Akan tetapi sembilan puluh persen hasilnya tetap jatuh ke tangan ayahnya.
Dan, untuk mendapatkan kekayaan itu serta kekayaan yang lainnya Kevin diberikan satu syarat yang menurutnya sangat berat, yaitu menikah!
Memikirkan hal demikian membuat Kevin mengusap wajahnya kasar.
"Apakah ada tugas lain yang harus aku kerjakan sekarang?" tanya pria itu pada Devian yang masih setia berdiri.
"Tidak ada, Tuan."
Kevin bangkit dari duduknya, merapihkan jas kerjanya yang tampak sedikit kusut. Melihat arloji berwarna silver yang bermerk Rolex, jarum jam menunjukan pada angka sepuluh.
"Kita pulang sekarang, ini sudah hampir larut malam."
Kevin berjalan terlebih dahulu ke luar dari ruang kerjanya. Kemudian diikuti oleh Devian.
Lorong-lorong serta lobi sudah terlihat sepi hanya ada beberapa Office Boy atau Girls dan beberapa Cleaning Service yang masih barlalu lalang di sekitar sana. Mereka membungkukan sedikit badannya sebagai tanda penghormatan pada sang atasan.
Meski tak pernah dilirik sekilas pun oleh kedua pria berjabat tinggi itu. Senyuman manis yang terpatri di wajah para bawahan tak pernah sedikit pun luntur.
Kevin memasuki mobil sedan berwarna hitam yang pintunya sudah dibukakan oleh Devian. Memasang satblet guna melindungi tubuhnya agar tak terguncang.
"Lajukan mobilnya pelan-pelan saja, aku ingin merasakan angin malam."
"Baik, Tuan."
Sesuai perintah mobil sedan itu melaju dengan kecepatan minimal. Jalanan sudah mulai senggang, hanya ada beberapa kendaraan yang masih melaju tenang, malam ini langit begitu terlihat indah. Ada bulan sabit yang ditemani taburan bintang bercahaya.
Biasanya malam indah seperti ini digunakan oleh sepasang kekasih berpadu asmara.
"Berhenti!"
Sontak, Devian langsung mengerem mobilnya. "Ada apa, Tuan?" tanya pria itu dengan jantung yang bedegup kencang.
Namun, sang objek yang dituju justru bersikap santai. Kevin menatap Devian sekilas. "Aku melihat sesuatu."
Devian mengernyit heran. Mulutnya telah terbuka ingin bertanya, namun Kevin sudah keluar dari mobil terlebih dahulu.
Retina Kevin terfokus pada satu objek, seorang wanita berpakaian putih dengan rambut panjang hitam yang menjuntai ke depan tengah meringkuk di bawah pohon lebat nan rindang, sepertinya wanita itu sedang menangis dapat terdengar samar-samar suara isakan.
"Tuan, lebih baik kita pulang saja." Devian menggertak, tampaknya bulu kuduk Devian terasa meremang, ia mengusap-ngusap tengkuknya.
"Dasar penakut, kau pikir dia setan?" Kevin mendelik sinis. Ia terus melangkah tenang, kian dekat kian kencang juga suara tangisan tersebut.
Wanita berpakaian putih itu mendongak bertepatan dengan Kevin yang akan membuka suara.
Dua pria itu tersentak kaget kala netranya melihat betapa kusutnya wajah wanita itu.
"Ka-kalian siapa?" Naura Moore buru-buru mengusap pipinya dan mengambil kacamata bulat yang tergeletak di atas rumput. Menatap dua pria asing itu dengan kedua mata yang masih berlinang air mata.
Devian mengusap dadanya, Kevin berdehem kecil guna menutupi kecanggungan.
Aneh, biasanya Kevin tak pernah merasa canggung sama siapa pun terkecuali dengan masa lalunya.
"Apa yang tengah kau lakukan di sana? Apakah kau ingin menakut-nakuti orang-orang yang melinats di sekitar sini?" Kevin bertanya, nadanya terdengar sarkas yang berhasil membuat Naura beranjak dari jongkokannya.
Wanita itu merapihkan rambut panjangnya yang berantakan, sesekali membenarkan letak kacamata yang melorot. Tanpa tahu malu Naura menyedot ingus masuk ke dalam rongga hidungnya.
Kevin menatap jijik.
"To-tolong ba-bantu aku, Tuan," tutur Naura terbata-bata, menyisakan isakan yang berusaha ia pendam.
"Bantu apa? Apakah kau kehilangan uang recehan? Atau kau kehilangan bonekamu?" serbu Kevin. Senyuman miring terpatri di wajahnya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada mengisyaratkan betapa jumawanya seorang Kevin Milanesta.
Naura menggelengkan kepalanya pelan. "Ibuku masuk rumah sakit dan harus dioperasi." Bibir Naura bergetar dan air mata kembali berjatuhan. Ia mendongak, menangis sekeras-kerasnya.
"Hey hey, berhenti menangis!" Kevin kalang kabut, bisa-bisanya ia dipertemukan dengan wanita gila itu.
Sementara Devian, pria itu sedari tadi sudah masuk ke dalam mobil guna menghilangkan rasa takut yang tadi menderanya.
Kevin menatap bengis Naura. "Berhenti menangis! Nanti orang-orang berdatangan dan menganggap bahwa aku telah mencabulimu!"
Naura menghentikan tangisannya. "Bantu aku, Tuan. Aku tak punya uang untuk mengobati ibuku," pintanya lagi.
Otak Kevin berputar, ia menyipitkan kedua matanya menelisik penampilan wanita itu dari atas sampai bawah hingga berkali-kali. Ia mendecak mengusap wajahnya kasar. "Bagaimana kalau aku menawarkan sesuatu padamu?"
"Apa itu, Tuan?" tanya Naura cepat, raut antusias mulai hadir di wajahnya.
"Menikah kontrak denganku."