"Dasar pemalas, kenapa kau belum bersiap-siap?" Kevin menatap nyalang pada Naura yang tengah berduduk santai di balkon kamar.
Seketika Naura beranjak, berbalik, membenarkan letak kacamatanya. "Ada apa, Tuan?" tanyanya polos.
Kevin merotasikan kedua bola matanya jengah. "Sudah tiga kali aku mengingatkanmu, jika hari ini kita akan pindah ke apartemen! Kau tuna rungu, hah?"
Bukannya merasa takut dengan bentakan tersebut, justru Naura kian menatapnya polos. "Tuna rungu itu apa, Tuan?"
Kevin melotot, hampir saja bola matanya akan menggelinding ke luar, mulutnya terbuka lebar, tatapan amarah berubah menjadi tatapan cengo. "Kau …!" ucapnya dengan suara rendah. "Kau manusia keturunan dari mana? Apakah kau alien?" lanjutnya berkata tanpa titik dan koma.
"Aku manusia keturunan kakekku dan aku bukan alien, Tuan," jawab Naura, memainkan rambut kepangnya bak anak kecil.
Kevin mengusap wajahnya kasar, jangan sampai ia melemparkan wanita itu ke bawah. "Berbicara denganmu hanya membuatku emosi saja," ujarnya bergumam kesal.
"Sekarang kau bereskan barang-barangmu dan masukan ke dalam koper. Sekali lagi aku ingatkan bahwa hari ini kita akan pindah ke apartemenku, paham!"
Naura mengangguk cepat. "I-iya paham, Tuan." Wanita itu langsung ngacir masuk ke dalam kamar tanpa permisi membuat Kevin lagi-lagi harus menggelengkan kepalanya.
Setengah jam telah terlewati, Naura tersenyum tipis setelah berhasil membereskan barang-barangnya.
Wanita itu menggeliat sembari menguap lebar. "Hoam, aku lapar."
Berbeda, jika orang lain menguap pertanda bahwa rasa ngantuk mulai menyerang namun Naura ketika menguap maka yang menyerang adalah rasa lapar.
Naura melihat jam besar yang tertempel rapi di atas dinding. "Ini sudah jam sebelas siang, pantas saja cacing-cacing di perutku sudah menangis." Sebuah tangan bergerak mengusap perut datarnya.
"Selamat siang, Nak. Kau baru bangun tidur?" sapa Arumi kala melihat sang menantu memasuki area dapur.
"Aku tidak tidur, aku baru selesai membereskan barang-barangku," ungkap Naura jujur. Tanpa rasa malu ia membenarkan rok polkadotnya yang tampak sedikit melorot.
Arumi tertawa geli, menurutnya Naura merupakan wanita paling lucu yang pernah ia temui.
"Setelah membereskan itu semua, pasti perutmu langsung lapar, bukan?" tebak Arumi tepat sasaran. "Ya sudah kau pergi ke ruang makan saja, di sana sudah ada beberapa makanan yang tersaji, kau bisa memakannya terlebih dahulu," lanjutnya berucap tanpa menunggu Naura memberikan jawaban pada tebakannya tadi.
"Baiklah, terima kasih sebelumnya, Nyonya." Naura berbalik.
"Mulai sekarang jangan panggil saya nyonya, panggil ibu saja."
Naura kembali membalikan badannya, kerutan halus tercipta di keningnya. "Eum, okey." Kedua bahunya terangkat acuh tak acuh, baginya itu tak masalah.
Kedua netra Naura berbinar cerah, melihat-lihat betapa banyaknya hidangan yang tersaji di atas meja makan. Salah satunya adalah sepiring ayam goreng, makanan favorit Naura sedari kecil.
Wanita itu berjingkrak-jingkrak penuh kesenangan. Kedua tangannya terkepal ke atas.
Beruntung di sana belum ada orang selain Naura.
Naura mengambil satu potong ayam goreng tersebut, kemudian memakannya dengan lahap. Kedua pipi gembulnya mengembung menandakan betapa banyaknya daging yang masuk, pun rempah-rempah yang berasal dari daging belepotan bebas di sekitar bibirnya.
Tak cukup satu, Naura kembali mengambil potongan daging kemudian melahapya. Hingga piring besar berwarna putih yang semula terhiasi oleh tumpukan potongan ayam goreng kini luwis ludes hanya menyisakan tulang saja.
"Astaga, apa yang telah kau lakukan?"
Naura tersentak, wanita itu membalikan badannya, mulut yang masih penuh dengan daging secara refleks berhenti mengunyah, menatap tak berdosa pada pria yang tengah berkacak pinggang memandang dirinya tajam.
"Naura!" Kevin menggeram marah.
Naura menelan bulat-bulat kunyahannya. "Kenapa kau ada di sini?"
"Seharusnya aku bertanya kepadamu! Kenapa kau ada di sini?" Hidung Kevin tampak kembang kempis bagaikan banteng yang sudah siap menyeluduk si pengganggu.
"Makan," jawab Naura tetap polos. Kembali mengusap bibirnya.
"Ada apa ini?" Agraham beserta Anuraga datang, kedua pria tersebut dibuat penasaran kala tak sengaja mendengar keributan dari ruang makan.
Kevin mendelik sekilas, Naura berdiam.
Anuraga menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir akan pertingkaian pengantin baru itu. "Sudah, tidak baik bertengkar di depan rejeki," ucapnya memberikan petuah.
"Ayah, apa ayah tidak lihat wanita itu telah mengabiskan seluruh ayam goreng masakan ibu!" adu Kevin sembari menunjuk Naura lalu piring yang berisikan tulang-tulang.
Arah pandang Anuraga dan Agraham tertuju pada objek yang dituju barusan, tampaknya mereka tersentak kaget, baru menyadari hal utama yang membuat Kevin marah.
Tentu ayam goreng itu merupakan makanan favorit Kevin juga, bahkan anggota keluarga yang lain tidak boleh mencicipi makanan itu sebelum Kevin yang memerintah.
Anuraga meringis. "Ayah tidak ingin ikut campur," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan ke atas pertanda menyerah.
Pria dermawan itu menarik pergelangan tangan Agraham, menjauhi ruangan itu dan membiarkan Kevin menyelesaikan masalahnya sendiri.
****
"Diam di sini! Jangan ke luar sebelum aku yang menyuruh!"
"Tapi aku ingin makan." Naura beralibi, tapi sedikit sesuai denga kenyataan perutnya masih berkeroncongan.
Saat tadi, Kevin langsung menyeret Naura ke kamar. Menghempaskan wanita itu ke atas sofa dan mengucapkan segala macam sumpah serapah untuk meluapkan amarahnya.
Naura berdiri, sedikit pun tak merasakan sakit di area bokongnya. "Aku ingin makan, aku juga lapar!" ucapnya lagi. Naura berjalan melewati Kevin begitu saja.
Namun baru juga dua langkah tangannya langsung dicekal kuat oleh Kevin. "Hey, kenapa kau jadi mengesalkan? Aku sudah mengatakannya untuk tetap diam di sini! Dan apa tadi katamu? Kau masih lapar?"
Naura mengangguk.
"Astaga." Kevin benar-benar tak habis pikir, ternyata benar kata kakeknya, Kevin telah kerasukan apa hingga mau menjalankan pernikahan dengan wanita polos semacam Naura? "Kecil-kecil tapi rakus, kau telah menghabiskan satu piring besar ayam goreng kalau kau lupa!"
"Iya, tapi aku ingin makan lagi." Naura membantah, ia masih belum puas memanjakan perut karetnya.
"Aku yakin urat malu wanita ini sudah putus," gumam Kevin kesal. Ia melepaskan cekalan tangannya yang kemudian kembali berkata, "Terserah kau saja, asal jangan duduk di dekatku."
"Aku juga tak ingin duduk dekat denganmu." Naura melengos. Kevin menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria itu pun sudah nyerah.
"Permisi, selamat malam, Tuan!"
Kevin menghentikan langkahnya yang hendak akan ke ruang makan. "Ada apa?" tanyanya pada Devian.
Devian berdiri di hadapan Kevin dengan kedua tangan yang menyatu di belakang pinggang. "Mohon maaf, Tuan. Ada informasi penting yang baru saja saya dapatkan, ini perihal perusahaan," tuturnya masih bersikap tenang.
Kevin mengernyit. "Katakan!"
"Salah satu awak melakukan tindakan kesalahan yang disengaja hingga membuat transaksi gagal dan sang penerima seketika membatalkan semua pesanannya."
Bugh!
Kevin meninju penyangga tangga, Devian teperanjat, dari awal Devian mewanti-wanti jika majikannya itu akan marah.
Kedua mata Kevin berkilah marah, rahangnya mengatup keras. "Kita pergi ke perusahaan sekarang! Buat hukuman yang membuat bilah masalah itu jera!"