Cuaca nampak cerah di luar ruangan. Pada lintasan jalanan Ibukota sebuah mobil sedan biru melaju dengan kencang melintasi pusat kota Jakarta. Di dalam sana sudah ada sepasang mata yang tengah meneliti satu demi satu bangunan yang menjulang tinggi diantara sisi-sisi jalan raya. Matanya yang tajam seolah menyimpan rindu yang sudah lama tertahan. Setelah asyik melihat pemandangan yang ada, ia segera mengalihkan pandangannya pada layar ponsel yang sedang berada dalam genggaman tangannya. Tangannya perlahan mencari playlist lagu kesukaannya.
"Sudah banyak yang berubah ternyata," ucapnya di dalam mobil.
Perjalanan yang cukup jauh membuatnya sangat kelelahan. Tubuhnya sudah hampir tumbang namun ia tahu bukan saatnya untuk mengeluh sekarang. Rumahnya belum juga terlihat, dan itu berarti ia belum bisa merebahkan tubuhnya dengan manja di atas tempat tidurnya yang nyaman.
Musik perlahan mengalun. Tanpa melihat sekeliling lagi, ia akhirnya memilih untuk menutup mata sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran mobil yang sedang ia tumpangi.
"Tuan muda tampaknya kelelahan sekali," ucap sang supir ketika melihat seseorang yang berbalut jas biru navi tertidur lelah di jok mobil bagian belakang.
Dua puluh menit telah berlalu dan kini mobil yang sedang ditumpangi oleh lelaki yang bernama Kyle Al Jerome William telah tiba di depan rumah mewah berdesain american classic. Sang kemudi membunyikan klakson mobilnya sehingga pagar dengan otomatis terbuka. Mobil sedan biru itu pun melaju masuk ke dalam kediaman Jason dan berhenti tepat di depan pintu rumah yang di tuju.
"Tuan muda, Tuan, kita sudah tiba di rumah."
"Udah nyampe ya Pak," ucapnya sambil melihat sekeliling.
"Iya Tuan, udah sampai. Tuan Besar dan Nyonya sudah menunggu di dalam."
Dengan cepat sang supir membuka pintu mobilnya kemudian keluar lalu lanjut untuk membuka pintu mobil untuk Jerome.
Di depan pintu sudah ada Bodi yang menyambut kedatangannya dengan sebuah senyum hangat. Salah satu orang terpercaya keluarganya sejak dua puluh lima tahun silam. Bahkan sebelum dirinya dilahirkan, Bodi sudah bekerja untuk keluarganya.
"Selamat datang kembali di rumah ini Tuan Muda. Tuan Besar dan Nyonya sudah menunggu Tuan Muda sejak tadi. Mari silahkan masuk," ucap Bodi dengan punggung yang sedikit membungkuk. Supir yang mengantar Jerome tadi, pun ikut mengekor di belakang keduanya sambil menyeret koper dan barang bawaan Jerome yang lainnya.
"Sebaiknya Tuan Muda langsung mandi saja dulu dan langsung istirahat. Soalnya sebentar malam akan ada acara penyambutan untuk Tuan Muda."
"Oma mana?"
"Ada di ruang kerja Tuan Besar. Sepertinya sedang ada hal penting yang sedang dibicarakan di sana."
"Oh ya sudah. Aku mau nyamperin Oma dulu, Pak. Tolong bawain koper saya ke kamar yah," ucap Jerome sambil melihat keberadaan supir yang mengantarnya tadi.
"Iya, Tuan."
Jerome berjalan masuk ke dalam rumah yang sudah lama iya tinggalkan itu. Di amatinya ornamen-ornamen yang ada di setiap sudut ruangan tersebut dengan sangat teliti tanpa terlewat satu detail pun.
"Aku pikir banyak yang berubah dari rumah ini, ternyata masih sama seperti 10 tahun yang lalu saat terakhir kali aku melangkah pergi dari sini," ucapnya dalam hati.
Dengan langkah yang lamban Jerome berjalan menaiki anak tangga satu demi satu. Berjalan menuju ruang kerja papanya yang berada di lantai dua. Ketika tiba di depan ruangan yang akan ia tuju, Jerome berhenti sejenak. Dengan langkah pelan ia berjalan maju, memegang gagang pintu dan mendorongnya dengan pelan hingga pintu terbuka sedikit.
Kedua matanya melihat sekeliling ruangan itu. Memastikan tidak mengganggu orang yang sedang berada di dalam sana. Bodi sebenarnya sudah menyuruhnya untuk istrahat, namun karena rasa rindunya terhadap keluarganya sehingga membuat Jerome diam-diam mampir ke ruangan itu terlebih dahulu sebelum akhirnya ia memasuki kamarnya.
Melihat pintu yang sedikit terbuka, membuat Bella mengarahkan pandangannya ke arah pintu. Meskipun hanya sekilas namun ia mampu melihat keberadaan anaknya di balik pintu tersebut. Senyum bahagia pun terpancar dengan jelas di wajahnya.
"Pa, Jerome udah datang," jelasnya dengan wajah berseri karena bahagia. "Sini sayang. Kok malah ngumpet gitu di belakang pintu. Nggak tahu apa kalau Mama udah kangen banget sama kamu," lanjutnya lagi.
Pintu terbuka lebar dan masuklah Jerome ke dalam ruangan itu. "Tadi kata Pak Bodi kalian sedang berkumpul di sini. Makanya aku mampir sebentar sebelum ke kamar."
"Gimana perjalanannya Jerome?" tanya Oma.
"Yah capek dong tentunya. Oma sih nggak jemput aku. Tapi tadi jalanan ya lumayan lancar-lancar aja. Cuman parah sih Jakarta, udah banyak yang berubah. Karena kelelahan perjalanan jarak jauh, aku juga sempat tiduran di mobil. Kaget pas bangun eh tau-tau udah di depan rumah aja. Oma sehat?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang. Oma kan selalu baik-baik saja."
"Kamu udah makan Jer?"
"Belum sih, tapi masih kenyang kok Ma."
"Ya udah kalau gitu kamu mandi aja gih. Biar segar. Terus istrahat. Pasti capek kan abis perjalanan jauh."
"Ya udah, kalau gitu aku ke kamar dulu yah."
"Iya. Hati-hati sayang."
Jerome pun berjalan keluar meninggalkan ruang kerja papanya. Setelah melihat punggung cucunya berjalan keluar meninggalkan ruangan itu, Tari mengambil gelas yang terletak di meja dan menenguk tehnya secara perlahan. Wajahnya berubah serius setelah meletakkan kembali gelas teh yang dipegangnya itu.
"Sekaranglah saatnya, kita harus memikirkan masa depan perusahaan. Dengan merencanakan sebuah pernikahan untuk Jerome. Terlebih lagi jika mengingat kondisi kesehatan kamu yang sudah tidak terlalu fit lagi," jelas Tari sembari menatap anaknya, Jason.
"Bukankah itu masih terlalu dini Ma, kenapa kita tidak tunggu saja sampai Jerome lulus kuliah. Lagi pula umurnya juga masih cukup dini untuk urusan pernikahan," ucap Bella menyanggah perkataan Tari barusan.
"Ini adalah salah satu tugas penting bagi penerus perusahaan. Umur Jerome memang masih sangat muda, tapi untuk urusan pernikahan sepertinya dia sudah cukup matang untuk itu. Dan kamu tahu sendiri kan pesan ayahmu sebelum meninggal, Son."
"Apakah Jerome akan menerima rencana ini Ma?"
"Jason, sekali janji tetaplah sebuah janji. Sebelum ayahmu meninggal dia sudah mengamanatkan pesan ini kepada Mama. Dan Mama nggak bisa megabaikan begitu saja pesannya kali ini. Dan kamu tahu sendiri kan, Jerome nggak mungkin mengelola perusahaan sebelum ia menikah. Bagaimanapun kondisinya. Itu sudah aturan dalam keluarga kita. Jika Jerome ingin menjadi pewaris Wiliam Ains Soft, itu berarti dia harus mengikuti keinginan ayahmu. Termasuk menikah dengan wanita pilihan Ayah kamu juga."
Tari menarik napas sejenak sembari mengingat amanah terakhir dari suaminya sebelum ia pamit pergi meninggalkannya ke surga untuk selama-lamanya. "Bahkan hingga detik-detik Ayah kamu menghembuskan nafas terakhirnya pun ia terus saja mengingatkan Mama dengan janjinya itu. Beberapa tahun belakangan ini aku sudah mencoba untuk mencari tahu keberadaan anak dari teman ayahmu itu. Menurut Bodi, katanya dia memiliki seorang cucu perempuan yang ternyata seumuran dengan Jerome. Bukankah ini menjadi berita baik bagi kita."
"Dimana tempat tinggalnya Ma?"
"Karena itulah kita harus segera menemukannya."
"Tapi apakah cocok Ma. Terlebih untuk kemudian membiarkan Jerome menikah dengan seorang gadis biasa saja? bahkan kita pun belum pernah melihat dan tidak mengenalnya dengan baik. Bagaimana keluarganya dan apakah Jerome akan menyukainya," Bella bertanya penasaran.
"Yang namanya janji haruslah ditepati, itulah prinsip ayahmu sejak dulu. Tidak peduli kepada siapa janji itu kamu berikan. Dahulu ketika ayahmu masih hidup ia selalu memperlihatkan kepada Mama bahwa orang biasa pun tetap bisa hidup berdampingan dengannya. Itu artinya kasta bukanlah suatu penghalang untuk keluarga kita. Apalagi ini menyangkut amanah darinya. Dan itu berlaku juga untuk penerus perusahaan kita. Termasuk Jerome. Tidak bisa disangkal. Jika Jerome menolak, itu berarti dia tidak berhak atas perusahaan."