" Mas kamu itu kenapa gak bisa naik jabatan sih? kaya suami tetangga sebelah selalu naik jabatan, rumahnya semakin besar aja, setiap hari shopping gak kaya kita!" Hardikku kepada mas Dandi.
" Sabar Lis semua butuh proses, butuh kesabaran gak ada yang sat set sat set langsung naik jabatan gitu aja, belum rejeki sabar saja"
"Sabar-sabar mulu capek aku mas"
" Kamu itu ya semakin hari marah-marah terus bandingin aku terus sama tetangga sebelah itu gak baik Lis" Aku berusaha menahan emosiku.
" Gimana gak bandingin, kamu itu gini-gini aja kerjaannya capek aku, suntuk, pengen shopping juga sama teman-teman ku!"
"Pokonya kamu harus tingkatkan kualitas kerja kamu biar kamu naik jabatan, aku gak mau ya sampai kamu dalam satu tahun ini gak naik jabatan!"
Aku hanya berucap istighfar dalam hati, bagaimana bisa dalam setahun? Tapi tidak apa-apa aku akan usahakan, tapi bagaimana kalau itu semua tidak bisa aku gapai?
Aku hanya sebagai staf di kantor ini, sedangkan tetangga yang selalu dibanggakan istriku itu sekarang sudah menjadi managerku. Namun entah kenapa setiap kali aku bertemu si tetangga itu sebut saja Dion, ia selalu menatapku sinis.
Aku tidak tahu mengapa seperti itu? Kalau dia iri kan tidak mungkin ya kan jabatan dia tinggi, apa dia tidak suka aku bekerja dengannya satu kantor hmm sudahlah yang penting sekarang aku harus fokus agar bisa naik jabatan.
"Dan di panggil manager tuh kamu"
Kata teman sebelah ku.
"Kenapa ya?"
Temanku hanya mengidikkan baju menandakan juga tidak tahu.
"Permisi" aku mengetuk lalu membuka pintu ruangannya.
"Ada apa pak?"
" Saya panggil ke sini cuma mau bilang, gak usah sok sok mau gantiin saya menjadi manager di sini kamu gak akan mampu! haha"
Dia tertawa meremehkanku. Tapi dia tahu darimana aku tidak pernah bercerita sebelumnya dengan siapapun kecuali istriku.
Apa istriku? Ah tidak mungkin, ngapain juga istriku cerita ke dia.
"Kenapa bengong ? pasti lagi mikirin siapa yang ngomong kan?
" Iya" jawabku cuek
" Kepo deh lu"
Dia terus tertawa. Akhirnya aku mengalah saja bagaimanapun aku masih bawahannya.
" Aku pamit undur diri pak, terimakasih"
"Iya sana aja, aku cuma bilang jangan sampai kamu ingin mengejar menjadi manager tapi malah masuk tahanan wk"
Aku mulai tersulut emosi.
" Apa maksudmu? Saya sudah berusaha menghormati mu, katakan apa maksudnya?"
Aku terus memegang dasinya, emosi yang kutahan sedari tadi akhirnya tidak tahan juga. Dion berusaha melepaskan kerahnya. Akhirnya aku melepaskannya.
"Gak usah pegang pegang baju saya"
" Kamu punya mulut dijaga awas aja kamu" Hardikku lalu pergi keluar dari ruangan tersebut.
Sungguh aku benar-benar tidak habis pikir ia bisa selancang itu ikut campur urusan rumah tangga ku, apa mungkin Lisa selalu curhat masalah rumah tanggaku kepada Dandi dan istrinya ya.
Sungguh tega jika benar, aku saja tidak pernah curhat masalah ini ke Tama sahabatku, aku menutup kuat aib rumah tanggaku, aku ingin menangis saat ini. Jangan katakan lelaki tidak bisa nangis, lelaki juga bisa menangis jika ia sudah lelah akan semua beban yang ia hadapi sendiri.
Tidak lama suara azan zhur berkumandang menandakan bahwa waktu sholat telah tiba aku bergegas untuk pergi ke mesjid dekat kantor ku ini. Aku mencari Tama untuk pergi bersama-sama namun aku tidak menemukannya. Ternyata Tama sudah berada deluan saat aku sampai di mesjid.
"Assalamu'alaikum Tama, aku tadi mencari mu"
"Aduh aku tadi melihatmu masuk ke ruangan Pak Dandi mangkanya aku deluan saja ke sini"
"Kamu dengar percakapan kami Tam?" aku khawatir jika ia mendengarnya.
"Hmm tidak, yaudah sholat sana aku tunggu di depan ya"
Tama bergegas pergi meninggalkan ku. Syukurlah jika ia tidak mendengarnya.
"Maaf Ren aku berbohong kepadamu" Tama membatin
Setelah melakukan sholat ku, aku berdoa kepada Tuhan untuk terus menyabarkan diriku dalam menghadapi istriku dan aku berdoa semoga istriku diberikan kesadaran.
Di mesjid ini aku menemukan ketenangan batin, ingin rasanya lama-lama di dalam mesjid ini.
"Ren!" Panggil Tama
"Yaampun Tama" Kaget ku, karena aku lagi duduk termenung
"Kamu aku tunggui di depan udah 25 menitan lebih lagi "
"Yaampun maafin aku Tama, duh tadi aku gak sadar mengantuk" tidak enak rasanya diriku .
"Kamu bohong Ren" aku membatin, dan aku memperhatikan wajahnya yang sangat lelah dan mempunyai beban yang begitu berat ia pikil. Aku kasihan dengannya namun aku juga tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya.
"Iya udah gak apa-apa, ayo kembali ke kantor Ren"
"Iya Tam"