Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Magus di Dunia Lain

Dre_Am
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.7k
Views
Synopsis
Mata tak selamanya melihat kebenaran. Segalanya bisa saja ilusi. Dunia kita bukan hanya milik kita, mereka juga ada di dalamnya. Namun jangan pernah terpikirkan olehmu bahwa mereka sama seperti kita. Karena mereka menipu, menggoda, dan memperdayai kita. Menunggu kita untuk lengah.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kontraktor

Dunia yang kita tinggali ini, yang tampak di depan mata kita hanyalah ilusi optik yang sengaja dibuat untuk kita, manusia. Kita tidak tahu apa yang ada dibalik ilusi ini namun satu hal yang pasti, mata kita telah menipu kita.

Mereka membuat dunia ini seolah tampak seperti apa yang manusia inginkan, mereka menghapus semua jejak mereka dari sejarah seolah mereka sengaja menghilang dari dunia kita.

Namun, mereka telah ada bahkan sebelum manusia sempat mendominasi dataran ini, mereka meninggalkan jejak-jejak mereka di sungai sejarah namun mereka juga menghapus jejak-jejak itu seolah mereka menginginkan diri mereka sebagai fantasi di mata manusia.

Jauh sebelum peradaban manusia sempat mendominasi dataran ini, mereka telah menyaksikan satu persatu peradaban mendominasi dataran ini. Mereka menyaksikan peradaban itu naik satu demi satu dan runtuh satu demi satu, seperti menyaksikan kerumunan semut bermain-main satu sama lain.

Mereka tampaknya baik hati, hanya dengan tenang menyaksikan kita tanpa mengganggu kita. Tapi baik hati bukanlah sifat mereka, mereka diam-diam menarik benang dari belakang layar memainkan kita semua layaknya sebuah boneka.

Namun mereka tidak pernah menyangka bahwa peradaban yang jatuh satu persatu telah menyisakan remah-remah kecil, remah-remah yang menyibak keberadaan mereka, keberadaan yang bernama... Spiritling.

....

Kuburan Kuno, Tanah Terlantar.

*Caw*

*Caw*

Kawanan gagak berkicau di tanah terlantar ini, mereka berkerumun, bertengger, dan menyaksikan manusia kecil itu berbaring di tanah berjuang bertahan hidup. Mereka menunggu dalam diam, menunggu napas terakhir keluar dari mulutnya, menunggu santapan lezat itu siap di depan mereka.

*Caw*

Salah satu gagak tidak bisa menahan lagi, itu terbang ke bawah menuju manusia kecil itu. Bertengger di tubuhnya, gagak itu mencoba mematuknya ketika tiba-tiba erangan keluar dari mulutnya.

"Ugh." Menyibak gagak itu dari tubuhnya, bocah itu dengan bingung melihat sekelilingnya, dia kemudian duduk dan menatap langit dengan hampa.

*Caw*

*Caw*

Menyadari keberadaannya hanya gangguan di tempat ini, dia kemudian berdiri dan berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat suram ini. Namun satu pernyataan tidak bisa menghilang dari pikirannya seolah matahari terbit yang menghilangkan kegelapan, aku masih hidup.

Menghilang dari pandangan gagak, mata bocah itu tiba-tiba menajam, dia menatap ke kejauhan seolah sedang menyaksikan kejadian itu terulang lagi dan lagi. Melirik ke belakang, bocah itu mengepalkan tangan dan diam-diam mengubur kenangan itu dalam-dalam.

"Penghinaan ini, aku akan membalasnya berkali-kali lipat. Tunggu saja, aku pasti akan kembali."

Menggertakan giginya, bocah itu mulai berjalan dan menghilang dari pandangan dunia. Tak ada satupun bayangan tentang dirinya yang terlihat, keberadaannya, masa lalunya, semuanya menghilang dari dunia seolah kepulan asap yang tak pernah ada.

Hari demi hari berlalu, musim silih berganti, tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan bocah itu. Tiga tahun kemudian di kerajaan tertentu di dataran tengah, seorang wanita dewasa dengan sedih menatap ke luar jendela istana kerajaan.

"Apakah kamu sudah menemukan pangeranmu."

"Maaf Ratuku. Pelayan ini belum menemukannya." Dari udara tipis suara merdu terdengar di ruangan, tidak ada satupun orang yang terlihat, satu-satunya orang di ruangan hanyalah wanita itu.

"Pergi temukan dia, bahkan jika itu berarti kamu harus membalikan dunia." Kesedihan di matanya menjadi lebih dalam ketika mendengar laporannya, namun itu tiba-tiba berubah menjadi ketajaman.

"Kamu tahu siapa itu?" Sikap wanita itu tiba-tiba berubah tajam, perlahan mendekati jendela wanita itu dengan dingin menatap kejauhan, aura bangsawan tak tertahankan keluar darinya.

"Pangeran pertama beserta ibunya." Suara merdu itu menanggapi dengan tenang tidak peduli dengan keduanya.

"Hahaha. Jadi kedua ibu dan anak itu sudah kehilangan kesabarannya." Wanita itu dengan dingin mengingat keduanya, dia tidak pernah menduga keduanya akan begitu berani. Merenung sejenak, dia kemudian berbalik dan menatap ruang di depannya. "Apakah dia tahu?"

Hening menyelimuti ruangan, pelayan itu ragu-ragu untuk menjawabnya namun dia kemudian memberanikan dirinya.

"Ya, Baginda Raja mengetahuinya."

"Sepertinya dia menjadi lebih dan lebih angkuh lagi." Kemarahan tak tertahankan keluar dari wanita itu, namun itu hanya sesaat sebelum dia menjadi sedih lagi.

Melambaikan tangannya, dia dengan tenang kembali duduk dan mengusirnya. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."

"Ya, pelayan ini mengerti." Bayangan gelap tiba-tiba bergerak cepat keluar dari ruangan, mengembalikan ruangan ke keadaan sebelumnya.

"Anakku di mana kamu, Ibu merindukanmu. Apakah kamu masih hidup? Apakah kamu makan dengan baik? Apakah kamu merindukan Ibu? Di mana kamu?"

Tak lama kemudian tangisan pilu memenuhi ruangan, wanita itu yang sebelumnya mengeluarkan aura bangsawan sekarang tampak seperti wanita lemah yang memerlukan perlindungan orang lain. Dia dengan lemahnya merangkul dirinya sendiri, menutupi dirinya dengan selimut, memikirkan anaknya lagi dan lagi, berdoa akan keselamatannya.

Dua tahun berlalu tanpa sadar, tidak ada banyak perubahan di dunia kecuali anak-anak kecil yang mulai tumbuh dewasa, seperti yang ada di sudut benua tepatnya di lapangan pusat yang berada di Kota Celis. Beberapa anak kecil mulai berkumpul bersama, mereka dengan gembira duduk di lapangan mendengarkan penjelasan pelatih mereka.

"Tubuh yang kuat adalah cerminan dari jiwa yang kuat, dan jika jiwamu kuat maka kalian juga akan memiliki pikiran yang kuat. Itulah fondasi yang harus kalian bangun, ketika kalian sudah memiliki tubuh yang kokoh selanjutnya kalian bisa mengikuti kakak-kakak kalian."

Tidak jauh dari mereka beberapa remaja dengan semangat melatih tubuh mereka, mereka telah lama melewati fase mendengarkan seperti anak-anak kecil itu. Sekarang mereka dengan senang hati memperagakan tubuh mereka seperti yang telah diajarkan, berharap bahwa mereka akan dapat merasakan energi yang ada di sekitar mereka.

"Lalu apa yang selanjutnya kita lakukan?"

Mengangguk senang melihat antusias mereka, pelatih itu dengan sabar menjelaskan. "Ketika kalian sudah menyelesaikan keduanya, kalian akan merasakan energi yang ada di sekitar kalian dan saat ketika itu datang kalian akan menjalin kontrak dengan keberadaan lain di dunia kita."

"Paman, keberadaan apa yang kamu maksud itu?"

Pelatih itu merenung sejenak sebelum menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, banyak yang menganggap mereka sebagai dewa, ada juga yang beranggapan bahwa mereka adalah peri. Namun apapun mereka, itu tidak akan mempengaruhi kita."

"Mengapa?" Anak kecil yang lebih cerdas berpura-pura berpikir tentang itu.

"Karena leluhur kita telah ribuan kali menyempurnakan kontrak kita dengan mereka agar keberadaan itu tidak merugikan kita semua." Pelitih itu tersenyum dan bangga mengingat leluhur yang belum pernah dia temui. "Karena itu kalian harus bersyukur dan bangga bahwa leluhur kita telah mencurahkan darah dan keringat mereka agar kehidupan kita menjadi lebih baik."

"Yaa!!"

"Baiklah, kalian harus kembali sekarang." Melihat langit telah cerah, pelatih itu membubarkan mereka semua. "Ingatlah agar tidak bermain sampai sore, jangan buat ibumu khawatir."

"Baiklah."

"Sampai jumpa lagi paman."

Pelatih itu dengan tersenyum melihat kepergian mereka. Mengalihkan pandangannya dia kemudian memeriksa kemajuan remaja-remaja yang berlatih tidak jauh darinya.

"Bagaimana dengan kemajuan kalian?" Berbanding terbalik dengan perlakuannya terhadap anak-anak kecil tadi, sikap pelatih itu sekarang menjadi lebih tegas.

Melirik satu sama lain, salah satu pemuda menjawab dengan bangga. "Aku sudah bisa merasakannya."

"Wow, bukankah dia baru berusia sepuluh tahun."

"Jenius kita memang luar biasa. Berbeda dengan dia yang masih belum merasakannya sampai sekarang."

"Apakah perlu membandingkan sampah dengan jenius kita."

"Hahahaha. Kamu benar."

Masing-masing dari mereka tiba-tiba menatap seseorang yang berdiri di sudut lapangan dan mengejeknya. Mereka kemudian menatap bocah jenius itu yang sedang membusungkan dadanya sambil memuji-mujinya.

"Diam! Lihatlah kalian semua, kalian bahkan belum membuat kontrak dan berani angkuh di depanku." Pelatih itu dengan tajam menatap mereka, dengan seringai kejam di wajahnya dia tiba-tiba berkata. "Besok adalah waktu dimana kalian akan membuat kontrak, jika ada di antara kalian yang gagal mendapatkan kontrak, pelatihan kalian akan dilipat gandakan."

"Apa!?"

"Ayolah pelatih."

Pelatih itu puas dengan reaksi mereka, dia diam-diam melirik remaja yang berada di sudut lapangan. Remaja yang saat ini menundukkan kepalanya sembari menyapu lapangan dengan tenang, tidak sedikitpun terusik dengan ejekan remaja-remaja ini.