Chereads / Magus di Dunia Lain / Chapter 8 - Suram

Chapter 8 - Suram

Setiap makhluk hidup memiliki meridian dalam tubuh mereka. Meridian itu ada di sekujur tubuh mereka apapun bentuk kehidupan mereka. Itu mengakar dalam tubuh setiap makhluk hidup membentuk jaringan struktural yang menopang kehidupan mereka.

Namun tidak semua meridian akan tampak seperti apa yang terlihat, mereka terkadang menyebar ke seluruh tubuh bergerak tak menentu dan tidak memiliki wujud pasti, meridian ini akan selamanya begitu dan selalu seperti itu. Meridian ilusi ini ada di setiap makhluk hidup, namun berbeda dengan meridian normal yang menopang kehidupan mereka, meridian ini ada sebagai penghubung antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya.

Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak meridian aneh ini, tapi orang-orang terdahulu telah menemukan keberadaan meridian ini dan mereka kemudian menyebutnya sebagai Tujuh Gerbang Surgawi. Mereka kemudian menamai masing-masing gerbang sesuai tingkatan kejelasan makhluk hidup, dengan tingkat pertama yang mereka sebut dengan Gerbang Kebijaksanaan.

Ketika makhluk hidup lahir, pikiran mereka belum sepenuhnya terbuka, mereka hanya bertindak berdasarkan naluri mereka, namun saat itu mereka sudah memiliki apa yang mereka sebut kapasitas berpikir. Bahkan serangga terkecil sekalipun memiliki kapasitas berpikirnya dan Gerbang Kebijaksanaan pada dasarnya meningkatkan kapasitas berpikir mereka.

Dan ketika gerbang ini terbuka, pikiran manusia akan mengembang, mereka dapat merasakan sekeliling mereka lebih jelas dan lebih detail. Indera mereka menjadi lebih tajam daripada sebelumnya, dan saat itu mereka akan dapat merasakan keberadaan energi yang ada di sekelilingnya.

Namun keberadaan Tujuh Gerbang Surgawi tidak hanya berhenti di situ. Ketika mereka telah membuka gerbang pertama, mereka kemudian menyadari bahwa ada beberapa meridian aneh yang keberadaannya tidak ada di dalam tubuh mereka, tapi ada sekeliling mereka berputar mengelilingi mereka layaknya sebuah planet yang mengitari bintang.

Mereka pada akhirnya sadar, bahwa setiap makhluk hidup memiliki apa yang mereka sebut sebagai domain, sebuah gravitasi. Gravitasi ini ada pada setiap makhluk hidup walaupun itu hanyalah gravitasi kecil yang tidak berdampak besar terhadap benda-benda di sekitarnya.

Namun keberadaan gravitasi itu berdampak besar bagi mereka terutama sebagai ruang mandiri yang menghubungkan mereka dengan alam dan kehidupan yang ada di sekitar mereka, lebih tepatnya sebuah insting atau intuisi pada makhluk hidup.

Ketika seseorang tiba-tiba merasakan ada yang mencoba membunuh mereka, secara tidak sadar tubuh mereka akan merespon, mencoba untuk bertahan. Namun apa yang mereka tidak sadari ada bagian tertentu yang merespon lebih cepat dari tubuh mereka, lebih cepat dari indera mereka dan itu adalah insting mereka, sebuah domain.

Domain itu mengelilingi mereka, melindungi dan menghubungkan mereka dengan lingkungan sekitar. Dan di dalam domain itu terdapat titik-titik ilusi yang berputar-putar di ruang domain, titik itu adalah meridian ilusi yang mereka sebut dengan Gerbang Dunia.

Ketika gerbang pertama ini terbuka, sebuah jembatan kemudian terbentuk menghubungkan mereka dengan elemen dunia, membuat mereka dengan mudah mengendalikan elemen di dunia, karena itu tingkat pertama Gerbang Dunia disebut Gerbang Elemen.

....

Jauh di pusat dimensi, di tempat yang lebih suram dari kematian itu sendiri, sebuah peti mati hitam dengan tenang terkubur di dasar tanah. Peti mati itu diam tetap tenang berada di tanah suram itu, samar-samar itu mengeluarkan aura kuno dan bau darah yang sedikit menyengat.

"Siapa? Siapa itu yang mengganggu rencana Yang Mulia." Suara kuno tiba-tiba menghancurkan kedamaian tempat itu. Aura suram seketika menyelimuti seluruh ruang, menggetarkan ruang hampir menghancurkannya.

"Mmm!? Sialan, jadi ternyata itu dia!" Suara terkejut secara tak terduga datang dari pemilik suara kuno itu, aura suramnya yang hampir menghancurkan ruang seketika melemah hampir menghilang dari ruang.

Hening kemudian menyelimuti ruang itu, sebelum suara itu dengan enggan serta takut melepaskan niatnya. "Yang Mulia telah memerintahkan aku untuk tidak mengganggunya. Kamu beruntung."

....

Sementara itu, Dean yang saat ini telah menyelesaikan terobosannya dengan tenang merenggangkan tubuhnya, mencoba membiasakan kekuatannya.

"Haaah. Sangat disayangkan, setelah semua kerja kerasku ternyata dunia ini pelit." Dean mengerutkan keningnya, sedikit jengkel merasakan bola ilusi yang berputar-putar di sekelilingnya, hanya sedikit lagi dan dia akan sepenuhnya membuka keseluruhan Gerbang Elemen.

Menghela napas pasrah, Dean kemudian mencoba menggenggam tangannya merasakan kekuatannya, namun gerakan singkat tadi tanpa dia sadari menyebabkan ruang di depannya robek secara alami.

"Hah!? Apa-apaan!" Mengendurkan kekuatannya, ruang tiba-tiba sembuh dengan cepat. Merasa semuanya seolah mimpi, Dean dengan kosong mengulanginya lagi, tapi kejadian itu terulang kembali.

"..., Harus aku katakan, ternyata kamu sangat.. sangat.. sangat luar biasa." Tertawa kecil, Dean dengan gembira mencoba kekuatannya. Dia tidak pernah mengharapkan bahwa dunia yang awalnya dia sangka pelit, ternyata sangat murah hati, memberikan sesuatu yang lain sebagai imbalan atas bantuan yang dia berikan.

Puas dengan hasilnya, Dean akhirnya menyadari bahwa langit telah gelap. Melirik gunung tempat dia berada, dia merasa sedikit malu menyebabkan tempat ini hampir hancur. Dengan rasa tidak bertanggung jawab, dia kemudian pergi meninggalkan gunung gersang tanpa peduli dengan kerusakan yang telah dia perbuat.

"Sampai jumpa, semoga kita bisa bertemu lagi."

Kata-kata terakhir Dean dengan tenang menyebar menyelimuti gunung gersang, melirik tempat ini dia kemudian menghilang dari wilayah ini tanpa tahu kemana dia akan pergi.

Sosok gadis cantik perlahan keluar dari balik batu, mengawasinya pergi dalam diam tidak mengganggunya dari awal hingga akhir. "Sampai jumpa lagi, Dean."

Alisa dengan tenang berdiri di tempatnya, memperhatikannya pergi sambil memegang tas kain yang dia letakkan di lehernya. Dia dengan sedikit kosong berdiri di sana, tanpa tahu ada sosok lain yang telah berdiri di sampingnya.

"Dia telah pergi?"

"Iya." Merasa sedih karena kepergiannya, Alisa kemudian menatap sosok di sampingnya dengan penuh harap. "Guru, kamu sebelumnya memberitahuku bahwa menghormatimu sebagai guruku akan membuatku lebih dekat dengannya. Apakah pernyataanmu ini sepenuhnya benar?"

Sosok itu terdiam sesaat, kemudian dia menatapnya tanpa bisa berkata-kata. "Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan. Aku tahu bahwa kamu menghormatiku sebagai gurumu karena bocah itu memintamu, bukan karena kamu memang bersedia menjadi muridku."

"Hehehe. Guru, kamu memang paling mengerti murid ini." Alisa tertawa kecil, tidak malu sedikitpun karena dia telah terekspos.

"Sekarang akulah yang meragukan keputusanku sendiri, apakah ini baik-baik saja memiliki murid sepertimu." Sosok itu dengan pasrah menerima takdirnya, menghela napas memiliki murid seperti ini. "Kerena bocah itu mempercayakan kamu kepadaku, baiklah aku pasti akan merawatmu sampai waktunya tiba."

Merasakan tatapan matanya, sosok itu menghela napas kecil dengan sabar menjelaskan apa yang dia tahu. "Aku hanya sedikit tahu mengenai siapa dirinya, pasalnya sangat sedikit orang yang tahu siapa dia namun orang-orang itu bahkan tidak sepenuhnya yakin tentang identitasnya."

"Wow, sangat misterius." Alisa kagum mendengar penjelasan gurunya, namun wajah kagumnya berubah menjadi lebih berseri-seri. "Namun aku suka itu, tampan dan sangat misterius."

Sosok itu yang merupakan guru Alisa menjadi terdiam, meragukan keputusannya sendiri, namun upacara guru dan murid telah dilakukan, jadi dia hanya bisa menerimanya.

Melihat gunung gersang yang porak-poranda, dia sekarang sepenuhnya mengerti bahwa dia tidak bisa lagi lari dari takdirnya ini. Mungkin tindakan dia yang pada awalnya tertarik untuk menjadikan gadis kecil ini menjadi muridnya sendiri sudah ada dalam rencananya.

Guru Alisa hanya bisa menggelengkan kepalanya, membuang pikiran itu dari benaknya. Namun, dia sadar bahwa itulah yang sebenarnya terjadi, tapi dia tidak ingin memikirkannya, tidak ingin terlibat lebih dalam lagi.

"Jadi guru kapan kita akan berangkat." Alisa tidak bisa menahan kegembiraannya lagi, sudah lama dia menantikan keluar dari kota kecil ini.

"Setelah kamu mengemasi barang-barangmu." Melirik pohon besar tidak jauh darinya, guru Alisa tiba-tiba menghela napas lagi. "Tentu saja, setelah gadis kecil itu mengemasi barangnya juga."

Tiba-tiba Tina keluar dari balik pohon dan berlari dengan gembira menuju mereka sebelum bersujud di depan guru Alisa. "Guru, murid ini memberi hormat. Jadi siapa nama guru."

Guru Alisa menatap langit dengan pasrah, merasa langit di atas sedikit mendung seperti masa depannya yang sekarang terlihat lebih suram. "Namaku Elayan."