Arabella berdeham pelan, "saya rasa tidak main bagi kesehatan jiwa dan jantung saya jika Anda terus berkata seperti itu itu, Grand Duke," ujarnya.
"Kenapa begitu?" Julian mencondongkan wajahnya ke arah Arabella, "apakah Anda berdebar karena saya, Lady?"
Ukh, rasanya Arabella ingin memalingkan wajahnya secepat kilat agar tidak perlu bertatapan dengan mata merah darah seperti pertama Ruby itu. Tapi, jika Arabella melakukan hal itu, Julian pasti tau bahwa Arabella benar-benar berdebar karenanya.
Sebagai balasan, Arabella membuka kipas tangannya dan membatasi antara wajahnya dengan Julian, "bukankah Anda yang selalu berdebar karena saya, Grand Duke?" tuding Arabella datar. Matanya terarah lurus pada Julian yang menatapnya lekat.
Tawa kecil terdengar dari bibir Julian, "benar, Lady. Saya selalu berdebar karena Anda," aku Julian.
"Yah, saya mengerti. Tapi.. mungkin ini sudah saatnya saya pulang, Grand Duke."
"Ah," netra merah darah itu bergulir menatap langit senja, "benar juga. Tapi rasanya saya masih tak rela," gumam Julian.
"Anda harus tetap rela. Karena saya putri kediaman Marquess Falzen, bukan Duchess di sini. Jadi Anda tidak bisa menahan saya lebih lama lagi, Grand Duke. Ada banyak mata yang menaruh perhatian terhadap pertemuan kita kali ini," tutur Arabella.
"Lebih tepatnya, mereka penasaran dengan Lady yang berhasil membuat seorang Grand Duke mengundangnya secara pribadi. Mereka pasti bertanya-tanya kelanjutan hubungan kita, jadi kalau di hari pertama bertemu saja kita sudah sampai larut malam, bisa-bisa saya dicap sebagai wanita penggoda."
Julian manut-manut, ia setuju dengan perkataan Arabella. Di zaman ini, pria jarang disalahkan. Jika dalam suatu hubungan terjadi masalah, maka pihak wanita yang disalahkan. Pria selingkuh? Berarti wanitanya yang tidak becus dan kurang sempurna. Pria pulang malam? Berarti wanitanya yang terlalu pintar menggoda. Semuanya dititikberatkan pada wanita.
"Baiklah. Saya akan mengantar Anda secara langsung dan menyapa Marquess sekilas," putus Julian.
"Anda tidak perlu repot-repot, Tuan Felix saja sudah cukup," tukas Arabella yang agak ingin menghindar. Berurusan dengan Julian hari ini sudah membuatnya lelah. Bagaimana mungkin Arabella malah diantar pulang oleh Julian juga? Bisa-bisa Arabella tiba di rumah dalam keadaan kering kerontang karena terlalu frustasi menghadapi Julian.
"Saya jadi bertanya-tanya, apa yang sedang dipikirkan kepala cantik Anda itu sekarang. Bolehkah saya tau?" tanya Julian.
"Apakah Anda berniat membuka kepala saya langsung untuk mengetahui apa yang sedang saya pikirkan?" Arabella balik bertanya.
Para pelayan dan kesatria menegang, Arabella benar-benar patut diacungi jempol keberaniannya. Mungkin karena wanita itu sudah tau seberapa sukanya julian pada dirinya?
Julian terkekeh merdu, tampak manis, padahal biasanya ia terkekeh mengerikan, "tidak, Lady. Saya kan sudah bilang bahwa saya itu menyukai Anda, benar-benar menyukai sebagai pria pada wanita. Bukan untuk.."
"Dibunuh?"
"Ya, benar. Saya ingin melindungi Anda, bukan sebaliknya. Jadi anda boleh tenang, Lady." Julian berkata dengan lembut.
Arabella menyingkirkan kipas yang membatasi wajah mereka, senyum lebar menghiasi wajahnya, menampakkan deretan gigi yang putih dan rapi.
"Terima kasih."
"Hm," Julian agak tersipu mendapat senyum secantik itu dari wanita yang ia sukai, "kalau begitu, kita berangkat sekarang?" tanyanya.
"Baiklah."
Felix dan rombongan pekerja di rumah itu, selain yang sedang membereskan kekacauan meja rusak, semuanya mengikuti Arabella dan Julian ke pintu utama mansion.
"Mari, Lady," Julian menyodorkan tangannya untuk membantu Arabella naik ke kereta kuda.
" Sebentar, Grand Duke," Arabella berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah rombongan pekerja kediaman Grand Duke yang sedang berdiri mengantar kepulangannya.
"Terima kasih atas kerja keras kalian semua hari ini, saya senang bertemu dengan kalian. Sampai ketemu di lain waktu," ucap Arabella dengan senyum ramah.
"Astaga, beliau sungguh seperti malaikat," lirih beberapa pelayan.
"Jangan ragu untuk mengirimiku surat ke kediaman Marquess, kita bisa menjadi teman. Siapapun boleh," ujar Arabella lagi.
"Baik, Lady. Terima kasih," ucap para pekerja dengan kompak.
Arabella tersenyum senang, sejak dulu ia selalu ingin dekat dengan semua orang—termasuk pelayan atau bahkan rakyat biasa sekalipun. Arabella suka berteman, dan sayangnya di kehidupan yang lalu Arabella tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan hal itu. Ia menyambut sodoran tangan Julian dan naik ke atas kereta kuda.
Kini hanya ada mereka berdua di dalam kereta kuda, membuat Arabella agak sedikit salah tingkah karena Julian terus menatapnya tanpa beralih sedetikpun. Tapi untungnya Arabella bisa menyembunyikan semuanya di balik wajah tanpa ekspresi yang sudah ia latih sejak terlahir kembali.
"Apa Anda tidak merasa risih karena saya tatap terus, Lady?" lontar Julian.
"Memangnya kalau saya risih, Anda akan berhenti melakukannya?" balas Arabella telak.
"Ah.. ya, benar. Saya tidak mungkin berhenti melakukannya karena saya sangat menyukai Anda," kekeh Julian.
"Grand Duke," Arabella menahan suatu pertanyaan di ujung lidahnya. Ia dan Julian saling berpandangan, "ada yang ingin saya tanya."
"Apa itu? Tanyakan saja. Anda adalah satu-satunya orang yang saya beri kebebasan secara penuh untuk melakukan apapun yang Anda inginkan pada saya, Lady. Sebesar itulah saya menyukai Anda," terang Julian.
"Sebenarnya, saya sejak tadi penasaran hal ini. Tapi saya tidak ingin para pelayan mendengarnya. Kenapa Anda menyukai saya? Bahkan saat kita baru bertemu dua kali."
Pertanyaan Arabella membuat Julian membeku. Ia sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Arabella itu.. terlalu indah, tapi Julian bukan hanya sekadar menyukai karena fisik. Arabella juga sangat pintar dan selalu berhasil membuat Julian terpana, terkejut, tertawa, dan berbagai macam perasaan aneh lainnya. Tapi, jauh sebelum mengetahui hal itu pun Julian sudah jatuh hati pada Arabella. Klise, mungkin. Jika dikatakan bahwa Julian jatuh hati pada Arabella sejak mereka pertama kali bertemu.
"Sejujurnya, saya sendiri pun tidak bisa menjelaskannya, Lady. Sejak pertama kali kita bertemu, saya sudah tertarik dan bisa dibilang menyukai Anda. Dari saat itu, entah kenapa di pikiran saya hanya selalu ada Lady," papar Julian.
"Jadi, apakah Anda memang mencintai saya? Anda bilang jatuh hati, terpesona, menyukai, dan sebagai pria pada wanita. Apakah itu termasuk mencintai, Grand Duke?" tanya Arabella penasaran.
"Saya tidak begitu mengerti apa itu cinta, sebenarnya. Karena satu-satunya orang yang pernah saya cintai adalah ibu saya, tapi saya pikir perasaan saya pada Lady bukan seperti pada ibu. Ini berbeda. Jadi saya menganggapnya, ya. Saya mencintai Anda, Arabella Fay Falzen."
Ini pertama kalinya, Arabella dicintai oleh seorang pria. Dan rasanya Arabella jadi aneh. Wajahnya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat, matanya pun terasa berkabut.
"Lady?" Julian memanggil Arabella lantaran melihat mata wanita itu berkaca-kaca.
"Apakah ada kata-kata saya yang membuat Anda tidak nyaman?" tanya Julian yang tak ingin Arabella menangis. Ia merasa sesak entah di bagian mana ketika melihat raut Arabella yang seakan ingin menangis itu.
"Maafkan saya jika Anda tidak nyaman. Tolong jangan menangis," pinta Julian.