Dean dan Saphira pulang ke rumah dengan perasaan kecewa, namun mereka sedikit senang. Alicia, kemungkinan ia masih dalam keadaan hidup. Namun, di hati Saphira masih ada rasa kuatir.
Bagaimana tidak, hati seorang ibu tidak akan lepas dari rasa kuatirnya. Anaknya sedang sendirian berada di hutan, dan ia tidak tau bagaimana keadaan Alicia sebenarnya di hutan itu. Pikiran Saphira terus menduga, ketakutan tetap saja menghantui dirinya.
Sejenak, pikirannya ke masa di mana dia dan Dean memaksanya untuk ikut bersama rombongan peserta perkemahaan Cornwall di musim hujan ini. Alasannya, Alicia anak yang introvernt, walau ia terbilang jenius namu ia selalu terlihat minder. Punya dunia sendiri dan selalu asik sendiri dengan kegiatannya. Bahkan, ia bisa seharian tidak keluar kamar melakukan hobinya. Menggoreskan kertas dengan pinsil dan penanya, selalu melakukan itu.
Sebenarnya, Dean dan ia tidak pernah melarangnya. Ia sangat senang bila Alicia punya kegiatan positifnya. Tetapi, Alicia tidak mau berbicara sama sekali dengan orang-orang di sekitarnya. Saphira kuatir Alicia akan selalu sendiri sampai tua dan tidak bisa mendapatkan teman hidupnya. Saphira juga kuatir dengan keadaan rumahnya yang selalu sepi tanpa kehadiran mereka setiap saat.
Andaikan ia dan Dean tidak memaksa Alicia untuk mengikuti perkemahan itu, mungkin puteri satu-satunya akan selalu bersamanya. Akan selalu tersenyum lebar walau ia tertutup terhadap orang lainnya.
Saphira memainkan kuku-kukunya, ia biarkan kuku-kukunya itu saling beradu hingga menimbulkan suara yang cukup menarik perhatian Dean. Laki-laki yang menikahi Saphiran selama 19 tahun, menolehnya. Ia melihat istrinya memandang setiap senti jalan raya yang mana pinggirannya di penuhi pohon-pohon rindang yang menyejukan mata.
Namun, tatapan mata istrinya terlalu kosong. Ada segurat kekuatiran yang amat mendalam yang selalu ia tunjukan pada Dean. Tangan kiri Dean bergerak lambat, menyentuh lembut kulitnya. Ia berharap, sentuhan tangannya bisa menenangkan rasa takut juga kuatirnya saat ini.
"Alicia pasti bisa ditemukan!" ujar Dean memberi semangat dengan seulas senyuman manisnya. Senyuman yang selalu membawa Saphira merasa tenang dan tersenyum.
Tapi kali ini Dean gagal melakukannya. Saphira hanya menolehnya sebentar, lalu memandang kembali ke luar jendela mobilnya.
"Entahlah, Pah! Aku hanya kuatir dengan keadaannya. Ia sendirian di hutan itu, ia pasti kedinginan di luar sana. Apakah ada hewan buas yang menerkamnya atau tidak? Bagaimana dia makan dan minum? Apakah ia terluka atau tidak aku juga tidak pernah tau? Dan hatiku selalu saja berkata bahwa anak kita tidak dalam keadaan baik-baik saja di dalam hutan itu," sahutnya berspekulasi dengan batinnya yang terus menghantui dengan ketakutan.
"Hei, dia pasti baik-baik saja. Aku yakin polisi dan petugas pemadam kebakaran pasti bisa menemukan anak itu!" Dean terus berusaha menenangkan ketakutan Saphira. Ia menggenggam erat agar istrinya tidak lagi memainkan kuku-kukunya.
Saphira hanya mendengus tanpa kata. Terdiam dalam bisu, dan membungkam dam kesunyian. "Mudah-mudah saja."
Lalu kembali hening di sepanjang jalan menuju rumah.
****
Di tengah hutan,
Satu pukulan keras mendarat di tekuk leher iblis itu, berhasil membuat adiknya tumbang.
Di belakang sana, malaikat berdiri dengan nafas menderu. "Dasar tuli, udah gue bilang menjauh dari gadis itu." Ujarnya kesal. Lalu melihat ke arah Alicia yang masih syok atas apa yang ia alami saat ini. "Elu!!" Tunjuknya pada Alicia. "cepat kita pergi dari sini sebelum dia terbangun."
Alicia mengikuti kemana kaki malaikat maut menapaki jejaknya. Terus melangkah masuk kedalam hutan tak berpenghuni. Pohon-pohon tinggi dan rindang menutupi langit yang masih terlihat gelap. Awan hitam terlihat sebentar oleh matanya saat ia mendongakkan kepala. Hujan masih terus membasahi tanah, di tanah, tercetak jelas telapak kaki malaikat.
Lalu ia melihat ke depan, mata Alicia terus memandang punggung malaikat maut. Sayap itu tidak bisa digunakan lagi. Patah. Luka-luka menghias punggung berotot besar. Bukan hanya di situ, di lengan berbisep gede yang menyumbul itu masih ada bekas darah yang belum kering. Walau hujan sudah berkali-kali menyeka darah itu dari tubuhnya, tetapi darah itu terus mengalir dari luka. Sesekali Alicia melihat Malaikat meringis kesakitan, ia menyadari walau Malaikat itu menyembunyikan rasa sakitnya.
Entahlah, Alicia tidak tau harus apa? Yang pasti ia terlihat sangat menyesal telah melakukan tindakan bodoh hingga buat malaikat maut terluka parah. Dan karena perbuatan bodohnya juga dia tidak bisa menjalankan tugasnya. "Bodoh, seharusnya aku mendengarkan semua perintah malaikat itu. Bisa saja semua ini tidak terjadi padanya dan juga padaku," pikir Alicia menyesalinya.
"Hei, apakah punggungmu tidak apa-apa?"
"Elu bisa lihat sendiri kan? Dan bagaimana bisa punggung gue gak apa-apa dengan darah yang terus menetes seperti ini?" jawab Malaikat itu tidak sedang ingin bicara. Tangan kanannya memegang lengan atasnya yang kesakitan itu.
"Maaf!" ucapnya menyesali, lalu kakinya berhenti melangkah. "Kalau begitu, kamu bisa ninggalin aku di sini!"
Malaikat itu ikut berhenti melangkah, "Jangan bodoh! Ini perintah Raja Akhirat, aku harus mengantarkan manusia yang tidak jadi mati sampai ke rumah. Kalau tidak, maka anak buah Iblis itu akan mendatangimu dan juga menggeragoti tubuhmu sedikit demi sedikit!"
"A-apa?" kata Alicia. "Kamu sedang menakut-nakuti aku, huh?" tanya gadis itu mulai jengah Malaikat itu terus menerus membicarakan Iblis dan juga menakut-nakutinya seperti anak kecil.
"Siapa yang bilang gue lagi nakut-nakutin elu, huh? Gak ada!" seru Malaikat itu kesal melihat Alicia bertingkah seperti anak kecil. "Lambat laun bau tubuh elu akan tercium oleh anak buah Iblis itu. Jiwa yang kembali lagi ke tubuhnya menimbulkan bau yang berbeda sehingga para anak buah iblis itu akan terus menerus berdatangan padamu, lalu tubuh elu itu akan di gerogoti sedikit demi sedikit dan jadi membusuk," lanjut Malaikat itu menjelaskan.
Alicia bergidik ngeri mendengar cerita Malaikat itu. Ia sangat mual saat membayangi apa yang Malaikat itu katakan.
"Jadi, elu masih mau ikut sama gue? Atau tetap di sini?" tanya Malaikat Maut memberi penawaran.
Gadis itu mengangguk.
"Jangan cuma mengangguk, bilang 'iya' kalau memang iya, kalau tidak bilang 'tidak', yang jelas!" ucap Malaikat itu tegas.
"Iya ... iya ... bawel. Itu jawabanku!"
Malaikat itu berdehem, sambil tersenyum. Ia pun membalikkan tubuhnya, "Ternyata di anak yang penurut!" gumamnya pelan. Dan melangkah kembali.
Alicia menatap kesal, "Kenapa sih, dia gak bisa selembut Iblis? Padahal kan dia Malaikat? Apa jangan-jangan cuma dia yang jutek begini sama manusia? Sebab, dia kan Malaikat maut yang terkenal dengan sifat sombongnya," gerutu Alicia kesal. Kemudian ia mengejar Malaikat Maut yang sudah jauh di depannya. "Hei, kamu bisa kan jalannya pelan-pelan? Tunggui aku dong!"
Malaikat itu tak menjawab. Ia terus berjalan sambil menyembunyikan wajah tersenyumnya dari Alicia.
Dan sementara itu, Iblis bangkit dari pingsannya. Ia mengelus tekuk leher yang sedikit sakit akibat pukulan keras dari kakaknya. Matanya bergegas mencari sosok Alicia dan Malaikat Maut di sekitar tempatnya berada. Mereka sudah pergi sebelum ia tersadar. "Sial, mereka pergi!" gerutunya kesal, dan ia tidak bisa mencium keberadaan Malaikat Maut dan Alicia.
Ia berdiri dan lalu menggerakan tangannya. Seberkas cahaya kemerahan muncul di tangan. Ia menghempaskan jauh kedepan. Tiba-tiba sebuah pintu terbuka lebar. Dan di saat itu juga langit menjadi sangat gelap dan petir menyambar di atas langit. Tak lama, sosok mirip anjing muncul dari pintu itu. Anjing yang sangat besar. Sebenarnya, mahluk apa itu? Dan bagaimana nasib Malaikat yang terluka?
****
Bersambung.