Chereads / The Darkest Side Human / Chapter 17 - Hadiah

Chapter 17 - Hadiah

(Noah Chandra)

Sesuatu yang menjadi penyebab ayah dan ibuku meninggal. Mereka benar-benar tidak meninggal dalam kecelakaan, melainkan sebuah rantai dendam yang mentakdirkan mereka harus mati. Mendengarkan kebenaran di balik kematian ayah dan ibu. Kakek Julian menceritakan semuanya padaku, kebenaran yang selama ini mereka tutup-tutupi dariku, hingga aku tumbuh dewas. Baru sekarang Kakek Julian menceritakan kebenarannya.

"Ayah dan ibumu menjadi target balas dendam seseorang, mereka tidak meninggal karena kecelakaan. Aku sebagai ayah dari Irene, tidak bisa memahami maksud putri dan menantuku. Irene sudah tahu keluarganya terancam, tapi aku tidak mau memahami putri sulungku, sehingga tragedi mengerikan itu terjadi."

"Kenapa ayah dan ibu meninggal? Apa yang membuat mereka mati?" tanyaku pada Kakek Julian.

Aku melihat wajah Kakek Julian yang sendu, memaksakan diri mengingat kembali kematian putri dan menantu tersayangnya. Wajahku memerah menahan amarah. Mengetahui ayah dan ibu meninggal karena bukan kecelakaan, melainkan dendam seseorang. Aku sangat marah dan ingin membalaskan dendam, kematian ayah dan ibuku kepada orang yang sudah merenggut kebahagiaanku.

Paman Bash masuk ke dalam ruangan, berdiri di samping Kakek Julian yang masih terdiam, belum memberikan jawaban dari pertanyaanku, membuatku semakin geram saja.

"KAKEK, JAWAB. SIAPA YANG SUDAH MEMBUNUH AYAH DAN IBU?" Aku berteriak marah, karena Kakek Julian hanya diam saja.

"Ayah dan ibumu ditargetkan tumbal balas dendam seseorang. Aku tidak tahu Silva pernah berselisih dengan siapa, tetapi Silva tidak pernah menyinggung siapa pun. Mungkin ada seseorang yang memang membencinya dan menargetkannya."

Paman Bash menjawab rasa penasaranku, hingga membuatku tadi berteriak marah pada Kakek Julian, kemarahan ku semakin bertambah. Ayah dan ibu meninggal karena seseorang. Aku tidak akan memaafkan orang itu yang sudah membunuh kedua orang tuaku. Aku akan balas dendam, mencari tahu siapa pelakunya. Merasakan kemarahan ku yang siap meledak.

"Aku akan membalaskan dendam mereka. Aku pastikan semuanya terwujud." Gigi-gigiku saling bergemeletuk, tanganku terkepal kuat, sampai buku-buku jariku memerah menahan amarah.

"Ingin membalaskan kematian orang tuamu boleh, tetapi jangan sampai kebencian itu menutup hatimu, Noah." Kakek Julian memberi nasehat dan pengertian dengan wajah teduhnya, malah membuatku semakin marah.

"AYAH, IBU PERGI MENINGGALKAN AKU SENDIRIAN. AKU INGIN TAHU SIAPA YANG SUDAH BUNUH ORANG TUAKU. KAKEK JANGAN MENGHALANGI AKU." Aku berteriak marah. Marah dan tangisan yang saling bercampur, rasa sakit yang tidak bisa di gambarkan.

Kakek Julian memelukku, pelukan yang sangat hangat dan mampu meredakan kemarahan ku. Aku tampak rapuh dan butuh seseorang untuk menjadi tempat bersandar. Kakek Julian selalu punya cara untuk menenangkan aku, dikala aku sedih dan marah. Aku kembali tenang. Meski wajahku masih basah dengan sisa-sisa air mata.

Terserah orang mengejekku sebagai laki-laki cengeng. Ini perasaanku sendiri.

Kakek Julian berjalan ke samping. Ada sebuah rak di balik lukisan, mengambil sebuah kotak berwarna coklat. Kakek Julian memperlihatkan isi kotak itu padaku. Sebuah kalung dengan bandul berbentuk kristal biru safir yang sangat indah sekali.

"Ayahmu dulu menghadiahkan kalung ini pada ibumu dan, setelah kamu lahir. Ibumu ingin menghadiahkan kalung ini padamu, Noah. Maaf Kakek baru memberikan ini padamu sekarang."

Aku menerima kalung itu dan mengenakan kalung itu. Aku bisa merasakan kehangatan orang tuaku lewat kalung ini. Kehangatan yang tidak pernah bisa aku rasakan.

Malam itu, kedatangan Kakek Julian membawa kebenaran atas kematian orang tuaku. Ayah dan ibu meninggal bukan karena kecelakaan, tetapi seseorang yang telah membunuh ayah dan ibu.

***

Malam pertama aku tidur di rumah orang tuaku. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Nyaman, empuk dan luas. Aku tidak pernah merasakan tidur di kasur yang nyaman. Selama aku tinggal bersama Paman dan Tante, mereka memberikan gudang tak terpakai sebagai kamar tidurku. Ranjang dan lemari pun seadanya, aku pun selalu di perlakukan seperti pembantu oleh mereka. Hanya karena ada Kakek Julian, Paman dan Tante bersikap baik padaku.

Aku menatap langit-langit kamar. Aku usahakan untuk tidur, tetapi tidak bisa. Sejak Kakek Julian menceritakan kebenaran di balik kematian ayah dan ibu. Aku semakin penasaran. Ayah dan ibu apa punya musuh di luar sana, sehingga mereka bersembunyi dari ancaman. Semuanya masih samar. Aku tidak tahu dan aku benar-benar bingung saat ini. Sampai aku sulit tidur.

Kalung pemberian ibu, aku menggenggamnya begitu erat. Menggumamkan kata-kata, 'Ibu, Ayah, tolong beritahu aku. Siapa yang sudah bunuh kalian?' Tidak ada jawaban. Aku pikir bisa menemukan jawaban dengan berkomunikasi lewat benda kesayangan ibu. Aku pernah membaca buku telepati, dimana seseorang bisa bertemu orang yang meninggal hanya lewat benda-benda kesayangan mereka. Ternyata tidak bisa.

Jarum jam di dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Aku semakin tidak bisa tidur. Aku keluar dari kamar, di luar sepi. Semua orang sudah tidur. Memutuskan jalan-jalan di tengah malam, mencari angin segar dan menenangkan diri. Aku menuntun motorku keluar dari halaman rumah. Kebetulan juga rumah orang tuaku ini tidak ada satpam, aku bisa mudah keluar dari rumah.

Setelah di luar. Aku menyalakan motor dan pergi, entah kemanapun aku pergi. Aku tidak tahu. Sepanjang jalan yang lengang, aku tidak tahu ingin kemana. Motor ku terus di bawa jalan. Sejam aku membawa motorku mengelilingi kota. Aku menghentikan motorku di Taman Cendana.

Aku sering ke taman ini, menenangkan diri jika sedang ada masalah. Aku ingin ke tempat favoritku. Ternyata sudah ada seseorang yang mengisi tempat itu. Gadis kasar dan tatapan matanya yang sombong tak bersahabat. Tapi aku melihat keanehan dari tatapan mata Clarissa. Tatapan mata kesedihan yang pernah aku rasakan.

Tak sengaja Clarissa melihatku. Dia memasang wajah menyebalkannya dan aku pastikan, tidak ada laki-laki yang mau dengan gadis bersifat kasar dan temperamen seperti itu.

"Kenapa kamu ada di sini?" Clarissa bertanya dengan nada ketus yang menjadi ciri khasnya.

Aku memasang muka luar biasa kesal. "Terserah aku. Aku sering ke sini. Kamu sendiri, kenapa ada di sini?"

Gadis itu tidak menjawab dan malah ingin pergi. Sebelum itu, aku menghentikannya dan melangkah pergi dulu.

"Silahkan saja kalau kamu mau. Aku juga tidak butuh tempat itu, aku bisa cari tempat yang lain."

Dari raut wajahnya saja, aku cukup mengerti dengan permasalahan yang Clarissa alami. Aku putuskan kembali ke motor yang aku taruh di parkiran. Menaiki motor, tetapi aku tidak kunjung menjalankannya. Pada akhirnya aku lebih memilih melamun di atas motor, memandang jalanan yang lumayan sepi.

Aku masih memikirkan Clarissa. Gadis itu sama seperti aku. Kalau boleh jujur, aku dan Clarissa ini sama, kami sama-sama kehilangan orang yang sangat disayangi. Aku kehilangan orang tuaku dan, Clarissa juga kehilangan ibunya. Sorot mata Clarissa yang aku lihat, mengingatkan saat aku dalam masa-masa tersulit. Memilih memendam kesedihan hanya untuk diri sendiri.

Saat aku terlarut dalam lamunan. Aku melihat Clarissa keluar dari taman dan menyebrang jalan yang lengang. Clarissa tak sengaja terjatuh dan gadis itu sepertinya sedang mencari sesuatu yang terjatuh. Tanpa gadis itu sadari, sebuah truk berjalan tak tentu arah. Sepertinya supir itu tidak bisa mengendalikan laju kendaraan dan ingin menabrak Clarissa yang masih fokus mencari sesuatu di terotoar jalan.

Aku bergegas berlari menyelamatkan gadis itu, hingga kami jatuh tersungkur di terotoar. Truk itu berhenti beberapa meter setelah hampir menabrak Clarissa.

"Kenapa kamu peluk aku? Mau cari kesempatan dalam kesempitan?"

Aku tidak sengaja memeluknya. Bukannya berterima kasih, malah memakiku. Dia melepas kasar tanganku. Aku dan Clarissa ikut berdiri, melihat keadaan kami yang baik-baik saja.

"Siapa juga yang mau dengan wanita kasar seperti kamu?! Heeh, kamu mau kemana?"

Clarissa yang wajahnya sudah memerah menahan amarah. Aku mengikuti gadis itu. Sopir truk yang hampir menabrak Clarissa keluar. Seorang pria tua berusia enam puluhan, keluar dan meminta maaf pada Clarissa, karena hampir saja menabraknya.

"Maaf Nak, Bapak tidak sengaja."

Bukannya memaafkan, Clarissa malah mencengkram kerah baju sopir truk itu dan menyudutkannya ke pintu mobil.

"ANDA SUDAH GILA YA, SAYA HAMPIR TERTABRAK TAHU!" Clarissa berteriak marah.

"Woy, Cla. kamu gila ya, dia ini bapak-bapak. Kamu sopan sedikit sama yang lebih tua." Aku memegang bahu Clarissa, mencoba membuat gadis itu tenang.

"Diam!" Clarissa menunjuk jarinya di depan mataku.

Sedangkan sopir tua itu ketakutan melihat wajah Clarissa yang marah, takut jika Clarissa melaporkan ke polisi. Sampai mengadu memohon ampun.

"Bapak sekali lagi minta maaf Nak. Sumpah, Bapak tidak sengaja."

Aku tidak tega melihat wajah orang tua ini ketakutan, Clarissa sudah sedikit keterlaluan. Jika marah, jangan seperti ini sama yang tua.

"Cla, lepasin tangan kamu. Tenang lah. Jangan emosi seperti ini."

Setelah aku bujuk baik-baik, akhirnya Clarissa melepaskan tangannya yang mencengkram kerah baju sopir itu. Meski masih ketakutan, sopir itu berkali-kali minta maaf, dan meminta jangan melaporkan ke polisi. Tapi, Clarissa bersikukuh ingin melaporkan sopir itu ke polisi.

"Jangan laporin saya kepolisi, Nak. Saya mohon." Bapak sopir itu mengatup kedua tangannya, sambil menangis meminta ampun.

Clarissa tidak menggubris. "Tetap anda salah, karena anda hampir membuat saya mati tertabrak."

"CLA!" Aku memanggilnya dengan nada tinggi.

"APA?"

Clarissa mulai kesal dengan situasi ini dan mungkin, karena ada masalah lain yang membuat moodnya tidak bagus. Clarissa mendengus dan membuang muka.

Aku mengalihkan situasi tegang, bertanya baik-baik pada sopir itu yang masih ketakutan.

"Saya juga tidak tahu Nak. Saat saya masih bisa mengendalikan setir kemudi. Tapi, tiba-tiba saya tidak bisa mengendalikannya, seperti ada yang mengendalikan setir kemudi saya."

"Memang hantu, bisa menyetir mobil."

Aku mengabaikan mulut pedas Clarissa.

"Bapak sebaiknya tenang dulu."

Bapak sopir itu kembali tenang dan Clarissa juga tidak membuat masalah. Aku berjalan ke arah pintu mobil truk. Aku melihat dua buah benda di jok samping sopir. Aku mengambilnya. Sebuah boneka dari serat kayu dan topeng wajah. Guratan bibir merah membentuk senyum, mata kecil membentuk bulir padi.

"Ini punya anda?" Tanyaku pada bapak sopir.

"Bukan. Itu bukan punya saya. Saya tidak punya benda seperti itu, malah saya heran, kenapa benda itu ada di mobil saya."

Ini aneh sekali. Aku merasakan dua benda ini memiliki aura jahat. Seperti ada yang sengaja, ingin membuat Clarissa celaka.

"Apa itu?"

"Sepertinya, ada yang mau mencelakai kamu."

"Hah?"