Jam 11:30 Malam.
Setelah bergumam, Tiara merebahkan tubuhnya di tempat tidur karena malam sudah sangat larut. Namun, ia kesulitan tidur karena hatinya begitu bimbang akan keputusan yang sudah ia ambil. Menikah baginya atau bagi semua orang adalah sekali seumur hidup.
Untuk itu, memilih pasangan yang akan menua bersama tidaklah seperti membalik telapak tangan, rasanya tidak cukup menilai seseorang itu pantas menjadi pasangan hanya karena mencintai atau usia yang sudah dewasa. Namun lebih dari itu, kesiapan dan tanggung jawab serta niat baik semata-mata karena ingin beribadah.
'Ya Allah! Kenapa susah sekali aku terlelap?'
Setelah lama berbolak-balik di tempat tidur, Tiara tiba-tiba teringat Hana. Tanpa menunggu lama, Tiara meraih ponselnya dan menggulir kontaknya untuk menemukan nomor Hana.
Sesaat kemudian, Tiara membuat panggilan ke Hana setelah menemukan nomornya. Hana adalah mahasiswi pascasarjana yang tidurnya amat kurang dan suka telat tidur. Jadi, Tiara tidak khawatir mengganggunya meskipun di tengah malam.
"Assalamua'alaikum solehaku! Kenapa belum tidur?" Terdengar suara lembut Hana dari seberang telepon.
"Wa'alaikumsalam. Hana, aku tidak bisa tidur karena hatiku sedang bingung dan galau tingkat dewa."
"Kalau begitu ambil air wudhu dan sholat dua rakaat insyaAllah pasti langsung tenang dan bisa tidur." Jawab Hana dengan santai.
"Udah kok. Tapi, tetap saja nyesek, hiikkk …"
"Ohhh … Kalau begitu, sholatmu belum benar!"
"Maksudmu? "
"Begini, bukankah sholat itu adalah penenang hati? Bukankah jarak paling dekat antara hamba dengan Tuhan-nya adalah ketika dia sujud? Tapi, jika kamu masih merasa galau dan maksiat begitu sulit kamu hindari maka sudah dipastikan sholatmu yang belum benar."
"Benarkah begitu? Memang sih Aku tidak bisa khsusuk shalat. Selain itu khsusuk sangat susah bagiku Han."
"Khusuk memang susah. Tapi, akan mudah apabila sebelum kamu sholat kamu berusaha untuk melepaskan urusan dunia sebentar! Sholatlah seolah hari ini adalah hari terakhirmu!"
"InsyaAlah akan aku coba nanti. Oh iya, selesai lebaran nanti aku akan menikah."
"MasyaAllah, selamat kalau begitu. Semoga diperlancar!"
"Tapi, aku masih bingung dengan perasaan dan keputusanku. Ia memberi kesempatan untuk saling mengenal selama tiga bulan."
"Itu ide yang bagus! Memang seharusnya begitu biar kita tidak seperti membeli kucing dalam karung. Akan tetapi jangan ulangi apa yang kamu lakukan di masa lalu! Jangan melampaui batas selama masa perkenalan! Ingat loh, cinta sebelum menikah itu adalah racun, sedang cinta setelah menikah itu adalah madu."
"Iya aku pasti ingat kok pesanmu! Aku akan berusaha menjaga hatiku kali ini agar tidak jatuh untuk kedua kalinya."
"Alhamdulillah kalau begitu. Kalau sudah begitu kenapa kamu masih merasa bingung? Biar hati tenang dan mantap kenapa tidak istiharoh dulu?"
"Aku masih belum kepikiran untuk Istiharoh. Mungkin setelah sebulan kenal aku akan melakukannya."
"Harusnya kamu istiharoh itu sebelum ia masuk ke hatimu agar hasilnya bisa maksimal. Bukan malah menunggu kamu jatuh cinta baru melakukannya, malah itu akan membuatmu semakin bingung."
"Baiklah, aku akan mengikuti saranmu. Terima kasih ya sudah mau mendengarkan curhatanku di tengah malam begini! Kalau begitu aku akan berusaha tidur lagi. Maaf sudah mengganggumu! He he"
"Hehehe … Dasar pengganggu! Ya sudah, selamat tidur! Assalamu'alaikum …"
"Hehehe ... … Wa'alaikumsalam."
Setelah berbicara dengan Hana, Tiara langsung merasa tenang dan tidur dengan lelapnya.
Beberapa hari Kemudian.
Tiara menjalani aktivitas seperti biasa. Namun hari ini tampak sedikit berbeda, sudah hampir dua bulan ia kenal dengan Angga dan akhirnya ia merasakan rindu yang teramat dalam dengan sosok Angga yang lembut serta perhatian.
Seiring berjalannya waktu, Tiara merasa nyaman dan jatuh hati pada Angga, mereka menjalani hari-hari penuh keromantisan karena Angga adalah sosok dewasa yang baik dan perhatian. Tiara merasa Angga benar-benar berbeda dengan Ferdinan, perasaan itu membuat Tiara lupa dengan pesan Hana.
Sesekali Tiara meluangkan waktu menerima ajakan Angga untuk jalan bersama, padahal Hana selalu memperingatinya agar menjaga hati dan kontak fisik seperti pegangan tangan atau saling merayu karena ujung-ujungnya wanitalah yang akan jadi korban.
"Ra! Kamu kemana saja? Kamu sekarang tidak pernah main ke rumah atau ke sekolah lagi? " Tanya Rasty dengan cemberut waktu Rasty akan menjemput Tiara untuk menghadiri resepsi teman mereka.
"Aku di rumah saja kok!" Jawab Tiara sambil tersenyum.
Rasty merasa kehilangan karena Tiara terlalu sibuk karena hubungannya dengan Angga.
"Wajahmu sangat bersinar, sepertinya kamu sedang jatuh cinta ya?"
"Apa sih kak Rasty ini? He ..." Ucap Tiara sambil tersenyum malu.
"Sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Ceritakan dong! Aku kan sahabatmu." Desak Rasty.
Tiara tersenyum malu dengan wajah yang cerah dan penuh semangat, dia merasa tidak perlu merahasiakannya lagi dari Rasty.
"Sebenarnya aku udah menerima Angga dan rencananya ia akan melamarku bulan depan setelah lebaran. He …"
"Benarkah? Apa itu berarti kamu akan menikah duluan dari aku?" Tanya Rasty dengan raut wajah yang rumit.
Melihat ekspresi dan nada bicara Rasty, ia langsung mengerti perasaan Rasty yang usianya lebih tua dari dia. Ia tau betul kalau Rasty sudah sangat ingin menikah tapi pacarnya masih mengulur waktu karena alasan belum cukup biaya.
"Sepertinya begitu. Memangnya, kak Rama tidak mau mempercepat rencana pernikahan kalian?"
"Sebenarnya Ibu, belum merestui hubungan kami berdua. Tapi, aku yakin kalau Rama adalah pilihan yang tepat buatku. Tapi, kami tidak bisa mempercepat rencana itu karena dia masih terikat kontrak dan belum bisa cuti." Jelas Rasty sambil menunduk.
"Kalau soal restu memang susah sih. Tapi kenapa dia terus berjanji begini, kemarin tahun ini sekarang tahun depan sebenarnya dia cinta apa tidak sih sama kakak? Dia gak mikir apa kalau usia kakak itu semakin bertambah dan orang tua sudah menuntut untuk segera menikah. Nanti kalau kakak nikah sama orang lain baru tau rasa dia."
"Aku yakin dong kalau dia cinta sama aku. Meski usianya lebih muda tapi dia sangat dewasa, aku gak bisa ngebayangin bagaimana kalau bukan dia yang jadi suamiku. Aku sadar dengan usiaku, tapi aku tidak mau lelaki lain selain Rama."
"Enggak tau kenapa, aku merasa dia tidak baik buat kakak. Karena Rama itu bicaranya sangat kasar sama kakak. Sebagai sahabat kakak, aku ingin kakak berjodoh dengan lelaki yang baik dan lembut. Atau kakak terima saja saran dari Ibu kakak untuk menikah dengan paman Irfan. Lagi pula usianya sama kakak hanya beda lima tahun doang. Bagaimana? He … "
"Terima kasih sudah memperhatikanku! Tapi, aku yang menjalaninya dan aku pula yang lebih mengenal Rama dari siapa pun. Meskipun dia orangnya seperti itu, tapi dia sangat perhatian dan hangat. Soal Irfan, itu adalah hal yang tidak mungkin secara kami tidak begitu saling mengenal dan tidak pernah bicara meskipun kami mengajar di tempat yang sama."
"Ya juga sih. Terserah kakak deh, aku hanya bisa berdo'a yang terbaik untuk kakak. He …"
Tidak lama setelah itu, Tiara dan Rasty berangkat sampai di lokasi pesta. Seperti biasa dua gadis itu menjadi sasaran empuk rekan-rekannya, meski begitu Tiara dan Rasty terlihat lebih santai daripada dahulu.