Chapter 2 - 2. Kematian (2)

Saat aku membuka mata, yang kulihat hanya hamparan warna putih. Hanya warna putih. Kalau bukan karena permukaan keras yang kurasakan di bawah tubuhku, aku mungkin akan merasa sedang terjatuh tanpa dasar.

Aku berusaha duduk, dan sadar bahwa luka-luka di tubuhku akibat kecelakaan truk itu menghilang. Malah, aku tidak mengenakan sehelai benang pun. Aku telanjang bulat. Aku baru sadar setelah melihatnya sendiri karena tidak ada hembusan angin yang membelai kulitku. Aku mencoba menarik nafas panjang dan menghembuskannya ke telapak tanganku. Tidak ada hembusan angin yang keluar.

Tempat dengan hanya warna putih. Tidak ada angin. Aku bahkan sulit mengidentifikasi jenis permukaan tempatku duduk saat ini. Terasa keras, tapi juga lembut. Otakku sulit mencerna kontradiksi permukaan putih ini.

Tapi satu hal yang pasti. Aku sudah mati. Dan tempat ini mungkin adalah alam setelah kematian.

Aku berdiri sembari tertawa kecil. Jika ada alam setelah kematian, apa artinya akan ada Tuhan juga?

Baru saja aku memikirkan hal itu, sebuah tangan menepuk pundakku dengan lembut.

Aku terlonjak dan menoleh. Sebuah kepala wanita melayang, tersenyum menatapku. Disampingnya sebuah telapak tangan juga melayang, melambai kecil.

"UWAAAHHH!" Jantungku berdebar kencang. Kepala dan tangan melayang?

"Kau sudah terbangun?"

Aku memicingkan mata. Kepala dan tangan itu ternyata tidak benar-benar melayang. Didepanku berdiri seorang wanita dengan gaun terusan berwarna putih. Kombinasi warna putih tempat ini dan gaun wanita itu sulit diproses mataku, sehingga membuat kesan kepala dan tangan wanita itu melayang.

"Kau... apa... kau Tuhan?" Kataku sedikit tergagap. Wanita itu tertawa renyah.

"Tidak, Tuhan adalah eksistensi yang lebih tinggi dariku. Aku adalah Malaikat-Nya, pelayan setia Tuhan Yang Maha Segala," jawab wanita itu.

"Wow... Jadi memang benar ada kehidupan setelah kematian..." gumamku pelan. "Lalu, apa yang akan terjadi padaku sekarang? Apa kau akan mengirimku ke neraka?"

"Ya, tapi tidak sekarang," wanita itu berbalik dan berjalan menjauh. Aku mengekor dibelakangnya. "Surga dan neraka adalah tujuan akhir dari perjalananmu. Saat ini, kedua tempat itu masih terlalu jauh untukmu."

"Maksudmu? Perjalananku masih panjang?"

"Tepat. Kau bahkan belum menyelesaikan setengah perjalananmu. Kehidupan yang baru saja kau jalani hanyalah satu dari sekian banyak kehidupan yang telah, dan akan, kau arungi," malaikat wanita itu berhenti dan menoleh padaku, "kau akan dihidupkan kembali."

Aku terdiam tanpa kata. Melihat responku yang minim, dia kembali berjalan dan melanjutkan penjelasannya.

"Namun tentu saja reinkarnasimu tidak sesederhana itu. Ada banyak variabel yang mempengaruhi reinkarnasi yang akan kau alami. Kau tahu, satu hukum absolut dalam semesta kita adalah hukum sebab akibat. Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai. Apa yang kau perbuat di kehidupanmu sebelumnya, akan mempengaruhi kehidupanmu selanjutnya."

Aku mulai memahami arah pembicaraan malaikat ini. Namun aku masih memutuskan untuk diam, menunggu dia selesai dengan penjelasannya.

"Perbuatan buruk akan membuat kehidupanmu selanjutnya menjadi lebih sulit. Begitu pula dengan perbuatan baik, yang akan membuat kehidupanmu menjadi lebih mudah. Pada dasarnya, timbangan perbuatanmu akan menentukan hak istimewa apa yang akan kau peroleh di kehidupanmu selanjutnya."

Aku menunggu malaikat itu melanjutkan penjelasannya. Saat dia terus berjalan dalam diam untuk beberapa saat, baru aku memberikan tanggapanku.

"Lalu bagaimana denganku? Bagaimana timbangan perbuatanku?" Tanyaku. Malaikat itu berhenti berjalan dan berbalik, masih dengan senyuman yang seakan tak pernah lepas dari rautnya.

"Ephraim Sigret. Kau terlahir dengan sendok perak di mangkokmu sejak kecil. Namun alih-alih menggunakan kekuatan yang kau miliki untuk kebaikan, kau justru melakukan pembiaran terhadap berbagai bentuk kejahatan yang terjadi disekelilingmu. Kau menyia-nyiakan kekuatan yang kau miliki dan menjalani hidup tanpa melakukan hal yang berarti. Secara garis besar, timbangan perbuatan burukmu sangatlah berat," Sang Malaikat itu menjatuhkan vonis padaku dengan masih memasang senyumannya. Aku memicingkan mata.

"Kediamanku masuk dalam kategori perbuatan buruk?" Tanyaku. Malaikat di depanku menganggukkan kepalanya.

"Ignorance is bliss, Ephraim. Ketidaktahuan adalah sebuah keberkahan. Namun mengetahui sesuatu yang buruk sedang terjadi dan tidak melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu sama saja dengan mendukung keburukan itu terjadi. Dan itu, Ephraim, menjadi sebagian besar timbangan buruk yang akan memberatkanmu di kehidupan selanjutnya."

"Bagaimana dengan timbangan si tua Joseph itu? Dia adalah dalang utama dari semua kebiadaban yang dilakukan oleh Cloud One. Sudah pasti timbangan buruknya jauh melebihi timbangan burukku?"

"Kita tidak membicarakan timbangan perbuatan orang lain disini, Ephraim. Tentu kau tahu istilah privasi. Meskipun kau akan kehilangan ingatanmu akan semua yang kita bicarakan di alam ini, hal-hal seperti timbangan perbuatan orang lain masuk dalam kategori informasi yang tidak dapat dibuka apapun yang terjadi. Yang perlu kau ketahui adalah hukum sebab akibat juga akan berlaku padanya, sebagaimana itu berlaku padamu."

Aku menghela nafas panjang. Sebagian dariku cukup senang mengetahui Joseph akan mendapatkan percikan neraka di kehidupan selanjutnya, namun sebagian lain merasa tidak nyaman dengan apa yang akan kuterima di kehidupan yang menungguku setelah ini.

"Lalu apa kau akan segera mengirimku ke kehidupanku yang berikutnya?" Tanyaku, sedikit was-was.

"Tidak perlu terburu-buru, Ephraim," Malaikat wanita itu menggelengkan kepalanya. "Kita belum selesai membahas timbangan perbuatanmu. Timbangan perbuatan burukmu memang sangat berat, tapi bukan berarti kau tidak memiliki perbuatan baik juga, kan?"

"Aku? Perbuatan baik?" Aku melongo. Aku mencoba mengingat-ingat apa perbuatan baik yang pernah kulakukan, tapi tidak ada yang muncul di ingatanku.

"Ya. Ada beberapa perbuatan baik yang kau lakukan saat kau masih kecil," Malaikat didepanku mengayunkan tangannya. Beberapa layar muncul disekeliling kami, menampilkan beberapa aktifitasku saat aku masih kecil. "Kau memberikan roti kepada nenek tua yang mengemis didepan sekolahmu. Nenek itu sudah tidak makan selama hampir tiga hari, dan kau baru saja menyelamatkan nyawanya." Malaikat wanita kemudian menunjukkan jarinya ke layar yang lain, "kau memaafkan petugas cleaning service yang tidak sengaja mendorongmu hingga terjatuh. Kalau saja kau mengadukan petugas itu ke ayahmu, petugas itu tak akan lagi bekerja di Cloud One esok harinya."

Malaikat itu terus menjelaskan beberapa kemurahan hati yang kulakukan, yang tertampil di layar-layar tersebut. Tapi aku tak mendengarnya. Pikiranku melayang, mengingat kembali masa-masa dimana aku masih berhati suci, dengan kebaikan-kebaikan tulus seorang anak yang belum ternoda oleh tirani ayahnya. Setitik air mata menetes dari sudut mataku.

"Ephraim, kau adalah jiwa yang baik. Itu tercermin dalam perilakumu saat kau masih kecil. Namun sayangnya, kau lemah. Kau tidak cukup kuat untuk melawan kehendak ayahmu, Joseph, dan menanggalkan kebaikanmu, menjadi pribadi yang acuh."

Kata-kata malaikat didepanku ini akhirnya menggema di otakku. Aku tidak bisa menyangkalnya, karena itu jugalah yang berada dalam pikiranku. Bahwa aku lemah. Bahwa aku tidak punya kekuatan. Bahwa aku hanya bisa menjadi domba yang mengikuti kehendak ayahku kemana dia mau.

"Tapi kau menunjukkan perlawanan. Kau menghentikan kebiadaban ayahmu dengan tanganmu sendiri. Kau membunuh ayahmu. Itu merupakan sebuah kebaikan tersendiri dalam hukum semesta, meskipun perbuatan pembunuhan itu sendiri masuk dalam timbangan buruk. Meski begitu, apa yang kau lakukan menunjukkan bahwa kau mampu melawan, bahwa kau mempunyai tekad yang kuat jauh didalam hatimu."

"Tapi aku bukan orang yang baik," kataku lirih. "Kau seharusnya tahu karena kau telah melihat kehidupanku. Aku membunuh Joseph bukan karena aku ingin menyelamatkan mereka yang tertindas olehnya. Aku membunuhnya karena aku sudah lelah dan muak dengan semua kekangannya terhadapku. Belum lagi perselingkuhanku dengan Lana. Aku tidak sebaik yang kau kira."

"Mungkin tidak, tapi semesta tahu, lebih daripada kita berdua, jiwa seperti apa dirimu," malaikat itu melambaikan tangannya lagi dan layar-layar yang menampilkan masa kecilku menghilang. "Semesta tidak menggeneralisir layaknya manusia, atau pula malaikat. Semesta menilai semua sesuai porsinya. Aku tidak pernah tahu bagaimana penentuan nilai timbangan perbuatanmu, namun aku tahu bahwa kau tidak sepenuhnya buruk seperti yang kau kira."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu pada diriku?" Aku menatap wajah malaikat didepanku yang masih dihiasi senyuman. Dia mendekat satu langkah kearahku, dan mengangkat tangannya, menyentuh bahuku.

"Karena aku telah melihatmu melalui banyak kehidupanmu. Kehidupan sebelum menjadi Ephraim, dan kehidupan sebelumnya, dan kehidupan sebelumnya lagi. Aku melihatmu semenjak kau tercipta, hingga kau sampai di titik ini. Aku melihatmu, Ephraim, karena aku adalah malaikat pengawasmu."