Chapter 3 - 3. Kematian (3)

Nafasku sejenak terhenti. Kenyataan bahwa aku telah menjalani banyak kehidupan sebelum ini, namun tidak ada satupun kehidupan yang kuingat, membuatku tercekat. Aku sudah memiliki gambaran sejak pertama kali mendengar tentang reinkarnasi, namun mendengarnya secara langsung dari malaikat ini menambah efek kejut yang kurasakan. Bulu kudukku sedikit berdiri memikirkan itu semua.

"Apa itu artinya timbangan kebaikanku cukup berat di kehidupanku sebelumnya? Sehingga aku dilahirkan di keluarga yang kaya raya, mendapat banyak hak khusus yang dapat mempermudah banyak hal dalam kehidupanku?" Tanyaku.

Malaikat itu hanya terdiam, dengan tetap memasang senyuman di wajahnya. Dia menurunkan tangannya dari bahuku dan berbalik membelakangiku.

"Aku tidak memiliki kewenangan untuk menjawab pertanyaan itu, tapi kurasa kau cukup cerdas untuk mengambil kesimpulan yang kau butuhkan." Malaikat itu kembali berjalan menjauh, membuatku mengekor dibelakangnya. "Seperti yang kubilang, ada hal-hal yang tidak bisa kukatakan, meskipun kau akan melupakan semuanya saat kau dihidupkan kembali nanti."

Aku mengangguk paham. Sepertinya benar apa yang kupikirkan. Aku banyak berbuat baik di kehidupanku sebelumnya, dan dihidupkan kembali sebagai putra pewaris perusahaan terbesar di bumi. Hanya saja kemudahan yang kudapatkan didapat dari keringat dan darah mereka yang tereksploitasi, jadi aku tidak bisa sepenuhnya menganggap itu sebagai sebuah hadiah dari perbuatan baik. Bagiku itu lebih terlihat seperti ujian. Aku jadi penasaran kehidupan seperti apa yang membuatku terjebak hidup sebagai seorang Ephraim Sigret.

"Kau tidak perlu memikirkan itu semua. Ingatanmu akan kehidupanmu sebelumnya, dan apa yang kita bicarakan disini, akan hilang saat kau dihidupkan kembali," tukas malaikat wanita didepanku.

"Sekarang, setelah kita membahas timbangan perbuatanmu, selanjutnya adalah menentukan kehidupanmu berikutnya. Ephraim, mengingat timbangan perbuatan burukmu sangatlah berat, kau akan dihidupkan di dunia yang penuh kekacauan. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari Bumi. Dunia ini telah lama tidak mendengar kedamaian. Peperangan, bencana, dan segala bentuk penderitaan merupakan hal yang biasa terjadi di dunia ini. Kau harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup. Kejahatan akan mengintaimu dari seluruh penjuru. Karaktermu benar-benar akan diuji, apakah kau akan menyerah dan mengikuti jalan menuju kegelapan itu atau kau akan menjadi salah satu cahaya yang menerangi dunia ini dengan kebaikan."

Aku menelan ludah. Deskripsi malaikat ini benar-benar membuatku merinding. Aku menjadi sedikit sangsi, tidak mungkin ada dunia seperti itu, kan?

"Apa itu artinya aku tidak akan reinkarnasi di bumi?" Tanyaku. Malaikat itu mengangguk pelan.

"Ya, ini adalah dunia yang terletak jauh dari bumi. Semesta kita tidak hanya terbatas pada bumi saja, melainkan ada banyak dunia yang terkandung didalamnya. Dan dunia ini memiliki banyak perbedaan dengan bumi. Perbedaan paling mendasar yang mungkin akan menjadi aspek terpenting bagimu adalah bahwa di dunia ini, kau bisa mempelajari apa yang kalian manusia sebut sebagai magis."

Mataku terbelalak lebar. "Magis? Seperti memanggil meteor untuk menyerang musuh, dan semacamnya?"

"Ya. Kau akan mengetahui lebih jauh jika kau sanggup bertahan hidup di dunia ini, bahwa ada banyak bentuk magis yang bisa digunakan oleh manusia, dan ras lainnya."

"Ras lainnya? Itu artinya bukan hanya ada manusia di dunia ini? Apa maksudmu seperti Elf dan Kurcaci dan lainnya?"

"Ya. Kau mungkin saja dilahirkan bukan sebagai manusia." Senyum malaikat ini menjadi terlihat jenaka sekarang.

Jantungku berdebar-debar. Sebagai penikmat fiksi fantasi di bumi, aku tentu saja tidak asing dengan kisah fantasi dan ras-ras lain selain manusia yang ada dalam fiksi semacam itu. The Lord of the Rings, Harry Potter, dan Game of Thrones merupakan sedikit dari banyak kisah fantasi yang menjadi bacaan favoritku ditengah-tengah padatnya jadwal dari Joseph. Kesempatan untuk hidup di dunia seperti itu tentu saja tidak akan aku lewatkan.

"Tapi melihat kau mengiyakan adanya ras seperti Elf dan Kurcaci, bukankah dunia ini memiliki kesamaan dengan fiksi yang ada di Bumi?" Pertanyaan yang kemudian muncul di otakku ini kuutarakan begitu saja. "Apa itu artinya beberapa penulis karya ini sebelumnya hidup di dunia fantasi seperti yang kau bicarakan dan kemudian reinkarnasi di bumi..."

"Ada hal lain yang lebih penting untuk kau khawatirkan," potong sang malaikat. Aku mengernyitkan dahi.

"Beratnya timbangan perbuatan burukmu tidak cukup hanya dengan membuatmu lahir kembali di dunia penuh kekacauan ini. Kau juga akan lahir dengan banyak kekurangan, jauh berbeda dengan kesempurnaan yang kau dapatkan saat dilahirkan di keluarga Sigret. Kau mungkin akan merasa tidak adil dengan kekurangan-kekurangan ini nantinya, tapi mengertilah bahwa ini merupakan akibat dari perbuatanmu di kehidupan sebelumnya," lanjut malaikat itu. Aku menyeringai.

"Kesempurnaan apa... Lahir di keluarga Sigret justru terlihat seperti sebuah kekurangan bagiku," decakku tidak puas. Tapi malaikat didepanku hanya tersenyum.

"Lalu bagaimana dengan timbangan baikku? Apakah itu bisa sedikit mengurangi kekurangan yang akan kualami dalam kelahiranku ini?"

"Ya atau tidak. Karena kehidupan sebelumnya yang kau alami, dan dengan mempertimbangkan kehidupan-kehidupanmu sebelumnya, kau mendapat hak untuk memutuskan, apakah timbangan kebaikanmu digunakan untuk memberikan keuntungan dalam kelahiranmu, atau untuk menjadikannya sebagai satu permintaan untukmu, yangmana permintaan itu akan dikabulkan sesuai dengan porsi timbangan kebaikan yang kau miliki."

Aku mencerna baik-baik penjelasan dari sang malaikat. "Jadi pada dasarnya, aku bisa memilih untuk menggunakan timbangan kebaikanku untuk memperbaiki kondisi kelahiranku, atau untuk meminta sebuah permintaan, apapun itu?"

"Ya. Dan pilihan itu sepenuhnya menjadi hakmu untuk memutuskan," tambahnya.

Aku tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memilih. "Satu permintaan, kalau begitu," kataku dengan penuh keyakinan.

Malaikat wanita didepanku ini tetap dengan senyumannya, "semoga kau tidak menyesal dengan pilihanmu," katanya, membuatku menelan ludah.

"Kau tahu, senyumanmu terlihat menyenangkan di awal pertemuan. Tapi melihatmu terus tersenyum seperti itu, aku jadi merasa agak seram," aku mengungkapkan apa yang kurasakan sejujurnya. Aku bersumpah melihat sudut bibir malaikat itu sedikit bergerak.

"Apa kau sudah siap dengan permintaanmu?" Tanya sang malaikat, mengabaikan komentarku tentang senyumannya. Dia tetap tersenyum, tentu saja.

"Ah, ya. Aku ingin agar..."

"Kau tidak perlu mengucapkannya dengan keras," potong malaikat itu, "cukup katakan dalam hatimu saat aku mengirimmu untuk terlahir kembali."

"Oh, baiklah. Lalu, apalagi yang akan kita bicarakan?" Tanyaku, siap mengumpulkan informasi lebih banyak dari malaikat pengawasku ini. Dengan permintaan yang kusiapkan, informasi lebih banyak akan sangat membantuku di kehidupan selanjutnya.

"Tidak ada. Aku akan mengirimmu sekarang jika kau sudah siap."

"Eh?" Aku terkejut. "Tidak ada lagikah sesuatu yang ingin kau sampaikan? Sesuatu yang lain tentang hukum semesta, misalnya?"

"Tidak ada. Semua yang harus kusampaikan telah kusampaikan. Ini waktunya kita berpisah."

"Tunggu, tunggu," aku memutar otak dengan cepat. Informasi apa yang bisa berguna bagiku, bukan hanya di kehidupan selanjutnya, tapi juga di kehidupan setelahnya? "Kenapa kau memotong saat aku ingin mengungkapkan permintaanku tadi? Apa kau tidak ingin mendengar apa permintaanku?"

"Aku tidak perlu mendengar apa permintaanmu," malaikat itu menggelengkan kepalanya pelan, "karena aku juga akan mengetahuinya nanti saat mengawasimu."

"Kalau begitu kenapa tidak mengetahuinya sekarang langsung dariku? Kenapa repot-repot mencari tahu sendiri nanti? Permintaanku adalah aku ingin..."

"Sepertinya kau sudah siap. Kalau begitu selamat tinggal, dan sampai jumpa nanti," malaikat itu memotong kalimatku dengan cepat dan melambaikan tangannya. Tubuhku mulai berubah transparan, dimulai dari kakiku.

"Wah, tunggu, tunggu!" Teriakku, tapi suaraku tidak keluar. Aku hanya ingin menggodanya, tapi sepertinya dia benar-benar tidak ingin mendengar permintaanku sekarang. Apapun itu, nuraniku mengatakan lebih baik jika aku tidak memberitahunya saat ini. Karena itu sebelum aku mengucapkan permintaanku di dalam hati, aku mengutarakan satu pertanyaan terakhirku. Meskipun tidak akan ada suara yang keluar, aku tahu dia bisa membaca gerak bibirku.

"Siapa namamu?" Tanyaku dengan suara keras, tapi benar saja, tidak ada suara yang terdengar. Aku jadi terlihat seperti sedang berpura-pura berteriak.

Bibir malaikat yang tersenyum itu sedikit bergerak, menunjukkan senyuman yang sedikit lebih lebar. Kemudian mulutnya terbuka, dan dari gerak bibirnya, aku bisa mengetahui jawaban dari pertanyaanku.

"Mikaila... Terima kasih," Aku mengucapkan kalimat terakhirku sebelum bibirku mulai berubah transparan. Dan seiring kepalaku mulai menghilang, aku mengucapkan permintaanku dalam hati.

'Aku ingin agar ingatanku tentang kehidupanku sebagai Ephraim dan tentang tempat ini, tentang percakapanku dengan Mikaila, tidak hilang. Aku ingin agar aku mengingat semuanya saat aku terlahir kembali.'