Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Who Am I

🇮🇩Leo_Nil01
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.4k
Views
Synopsis
Semua orang menyebutku MONSTER! Gadis terkutuk atau si anak pembawa sial. Aku juga tidak tahu mengapa, mereka memanggilku begitu. Sampai disuatu malam yang tak terduga aku akhirnya tahu, jika aku berbeda. Bertanduk dan memiliki sayap seperti seekor kelelawar, aku pikir aku seburuk-buruknya ciptaan Tuhan. Namun, seseorang membisikan padaku kata-kata yang begitu manis. Sampai membuat diriku lupa, jika aku juga bisa berubah menjadi buas kapan saja. "Ssttt... kau tak perlu cemas. Meskipun malam begitu gelap dan dingin, namun kegelapan juga bisa membawamu dalam kedamaian." Ikuti kisah ini, ya. Sampai jumpa dichapter pertama:)

Table of contents

Latest Update2
Bab 22 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

"Hey, hey kemari!"

"Kalian sudah tau belum, kalau salah satu tetangga kita punya anak mirip monster!"

"Astaga, yang benar? Kupikir monster itu hanya ada difilm kartun..."

"Seperti apa? Apa dia mirip Godzilla? Atau suka menghisap darah layaknya vampir?"

"Hiii... Mengerikan!"

"Tidak semengerikan itu kok, coba lebih dekat ke sini. Nanti aku tunjukkan wujud monster itu seperti apa."

Buk... Buk...

"Ayo lempari lagi dengan batu, Ibuku bilang dia sembunyi dibalik jendela kayu itu."

Buk... Buk...

Kriett...

"Huwa!"

"Gila, dia beneran ada. Lari!" teriak mereka berlima saat melihat diriku dari balik jendela.

Anak-anak itu bahkan pergi tanpa meminta maaf terlebih dahulu. Padahal, jelas-jelas salah satu batu yang mereka lempar mengenai kepalaku sampai berdarah.

Aku yang masih termenung ditempatku berdiri hanya bisa menatap anak-anak sepantaranku itu sendu. Kadang perasaan iri itupun singgah, namun aku kembali sadar tatkala melihat pantulan diriku sendiri dibalik cermin oval yang memang sengaja Ibu sediakan dikamar.

Aku yang begitu berbeda dan hampir tak bisa disebut manusia.

"Sherafim! Apa lagi yang kau lakukan, huh?!" teriak Ibu tiba-tiba sudah didalam kamar.

Aku yang cukup tersentak langsung menyoroti wanita berpenampilan lusuh itu dengan tatapan penuh ketakutan. Apalagi kini ada sebotol miras kosong ditangan kanannya.

Sempat akalku berpikir, jika wanita itu akan memukul kepalaku dengan benda itu.

"I-ibu!" jawabku panik.

Padahal aku tak melakukan kesalahan apapun, tapi aku sudah sering dibuat mati kutu dengan kedatangan wanita tua itu.

"Berapa kali aku bilang, jangan pernah menampakkan diri. Dasar anak terkutuk! Kau pikir aku tidak lelah mendengar gunjingan mereka?"

"Karena kau juga, keluarga kita jadi dikucilkan! Ah, aku benar-benar bisa gila jika terus begini. Kenapa dulu aku tak membunuhmu saja ya, saat masih dalam kandungan?"

Nyut!

Sebenci itukah Ibu padaku?

"Ta-tapi Fina tidak..."

"Diam! Aku tak menyuruhmu bicara!" sentaknya.

Air mataku tanpa sadar menetes. Sekali saja, aku juga ingin berkeluh-kesah dan didengarkan Ibu. Sekali saja, aku juga ingin mendapat sedikit perhatian seperti anak-anak pada umumnya.

"Ibu tidak mengerti!" teriakku sambil terisak.

"Ibu bahkan tidak peka padaku! Padahal jelas-jelas, dahiku mengucurkan darah. Dan Ibu tidak pernah sekalipun bertanya apa aku baik-baik saja?"

Plak!

"Siapa yang mengajarimu untuk melawan, huh? Kau pikir aku peduli!"

Sekali lagi air mataku mengalir deras. Kukira, jika aku bersikap berani sedikit dan mencoba menyatakan apa yang aku rasakan Ibu akan lebih peduli. Atau, setidaknya wanita itu akan bersikap lebih lembut padaku.

Nyatanya, aku salah. Dia justru semakin gelap mata dan kembali menyiksaku seraya melontarkan berbagai macam cacian yang menusuk. Aku yang mirip monster dan dianggap pembawa sial.

Bruk!

Kurasakan pening yang luar biasa saat tubuhku Ibu dorong ke arah tembok membabi buta. Wanita tua itu bahkan tak segan menghantamkan botol miras yang sempat ia penggang tadi ke atas luka basah dikepalaku.

Detik itu juga, darah kembali merembes keluar memenuhi permukaan wajah. Mengaburkan pandangan mata, sampai aku susah dibuat untuk melihat sekitar.

"Hahahaha! Mati kau! Anak sepertimu memang tak seharusnya muncul di dunia!" ucap Ibu, yang samar-samar masih kudengar.

"Kau gila! Dia anak kita Oliv!"

Ayah?

Apa benar itu suaramu?

"Dia bukan anakku, tapi anakmu! Mana mungkin aku punya anak seorang monster!"

"Cukup! Kau bisa membuat dia mati. Akan lebih baik jika kau rawat dia sampai tiba saatnya aku jual ke salah satu temanku. Setidaknya, dia akan menghasilkan uang untuk kita."

Kenapa?

"Ah, benar juga katamu. Itu akan lebih baik daripada dia tak berguna sama sekali."

Kenapa mereka sama saja?

Kenapa semua orang tak ada satupun yang benar-benar tulus padaku?

"Cari tali, lalu ikat dia agar tak kabur."

"Tunggu, kita harus menyumpal mulutnya juga agar dia tak bisa berteriak meminta tolong."

Bahkan orang tuaku juga.

Mengapa?

Aku...

Aku ... Selalu diperlakukan seperti ini?

Disaat kesadaranku perlahan mulai memudar, aku mendengar teriakan Ibu yang memanggil nama Ayah. Entah apa yang terjadi berikutnya, yang pasti kegelapan lebih dulu merenggut kesadaranku sepenuhnya.

Mungkin lebih dari dua jam pingsan, aku akhirnya sadarkan diri. Tapi, situasinya terlihat berbeda tidak sebegitu mencekam dari tadi.

Bahkan Ibu juga, dia terlihat seperti orang gila dengan senjata laras panjang ditangannya. Jangan lupakan tawa setannya yang bebas, terkadang masih membuatku bergidik ketakutan. Lalu Ayah? Aku tak melihat pria itu.

Di kamarku hanya ada aku, Ibu dan beberapa pria berseragam yang sibuk berlalu-lalang entah melakukan apa.

"Lapor Pak, kami hanya menemukan mayat seorang pria di sini. Seorang remaja dengan kondisi mengenaskan dan wanita berpakaian lusuh yang memegang senapan berlaras panjang."

"...."

"Ya, kami sudah mengamankan TKP ..."

"...."

"Kemungkinan besar, pelaku adalah si wanita tua itu. Baik, kami akan membawanya ke kantor sekarang. Siap, Pak."

Diam-diam aku mendengarkan percakapan salah seorang pria berseragam itu. Kelihatannya mereka bukan orang jahat, hanya saja aku masih merasa jika keberadaan diriku bisa membuat mereka berpikiran macam-macam. Terlebih dengan wujudku yang sering disebut monster ini.

"Kau sudah sadar, Nak?" tanya pria tua yang kuamati tadi, setelah tak sengaja beradu pandang denganmu.

Aku yang kurang bersosialisasi dengan orang asing hanya bisa menatap pria itu lamat-lamat tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Kau baik-baik saja, kan? Aku harap perbuatan mereka yang keji ini tidak membuatmu mempunyai trauma."

Apa aku tidak salah dengar? Aku merasa pria berseragam itu sedikit melontarkan kekhawatiran padaku.

"Dia terluka parah dibagian kepala Pak. Pelipisnya robek dan perlu dijahit. Seharusnya bapak segera membawa dia ke rumah sakit, bukannya bertanya apa dia baik-baik saja?!" celetuk pria berseragam yang lain.

"Ya, kau benar. Seharusnya aku segera melarikan gadis ini ke rumah sakit. Oh ya, ngomong-ngomong siapa namamu, gadis manis?"

"...."

"Bapak terlihat menyeramkan dengan kumis tebal itu. Mungkin itu yang membuatnya takut sedari tadi."

"Astaga James! Aku tidak bertanya padamu, kenapa kau selalu menganggu percakapan kami, huh?"

"Saya hanya menyampaikan isi hati yang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata."

"Oke, oke. Kemari, Nak bapak akan membawamu ke rumah sakit. Tidak perlu takut, kami ini polisi bukan orang jahat."

Setelah mendengar itu, aku hanya bisa menurut saat pria tua berseragam tadi menggendongku.

Jujur, ini pertama kalinya aku merasakan hangatnya dekapan seseorang. Sekaligus sedikit perhatian dari orang lain. Tak hanya itu, ini juga pertama kalinya aku melihat dunia luar yang begitu indah.

Kulihat hujan telah reda. Mendung pun meninggalkan langit, yang kini menyisakan sang rembulan yang malu-malu mulai menampakkan dirinya.

"Anak monster! Aku pasti akan membunuhmu!"

Sayangnya, kecantikan itu ternodai oleh teriakan Ibu yang lagi-lagi mencaciku.