Chereads / Who Am I / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

"Dengarkan aku baik-baik, Nak. Jangan pernah keluar dari sini. Tapi, jika keadaannya mendesak kau harus kabur dan jangan pedulikan aku. Oke?"

Aku hanya mengangguk pelan saat mendengar ucapan Tuan Scot-pria tua berseragam yang menggendongku keluar tadi.

Entah, mengapa semenjak kepergianku dan pria tua itu menggunakan mobil polisi. Kami seolah-olah sedang dibuntuti oleh mobil sedan  berwarna gelap.

Awalnya, mungkin kami berdua tak menyadari hal itu. Namun, saat sampai ditengah-tengah perkebunan jagung yang luasnya berhektar-hektar. Mobil sedan hitam itu tiba-tiba menyalip dari sisi kanan, lantas berhenti tepat di depan mobil Tuan Scot. Membuat mobil yang kami tumpangi ini, mau tak mau mengerem dadakan.

Cklek...

Kudengar pintu mobil ditutup keras oleh Tuan Scot dari luar. Seperti intruksinya tadi, aku tak berani beranjak dari kursi belakang dan hanya mengintip sedikit dari kaca depan.

"James?" panggil Tuan Scot yang masih bisa kudengar sedikit.

"Apa yang kau lakukan? Kau tahu, aku sedang terburu-buru ke rumah sakit untuk membawa korban," ujar Tuan Scot lagi.

Dari jauh, kulihat ia berbicara sambil melongokkan kepalanya ke dalam mobil bagian kemudi yang kacanya sengaja James buka.

"Korban?"

"Ya, bukankah kau yang memintaku untuk cepat-cepat membawanya ke rumah sakit, untuk menjahit luka di kepalanya?"

"Dia itu monster!"

"Sejak kapan? Dia cuma gadis remaja yang baru mengalami trauma. Sebenarnya ada apa denganmu, sih?" tanya Tuan Scot yang kudengar mulai emosi.

Blam!

Tampak James membuka pintu mobil sedannya kasar. Lalu meninju perut Tuan Scot tiba-tiba. Membuat pria tua itu jatuh tersungkur seketika. Aku yang melihatnya hanya bisa menutup mulut di dalam mobil.

"Kurasa, kau sudah tak diperlukan lagi, Pak. Lagi pula, atasanku sudah memberi perintah baru untuk membawanya ke markas, bukan ke tempat rehabilitasi," ucap James tenang, aku semakin ketakutan.

"K-kau, apa maksudmu? Apa kau baru saja berkhianat pada kepolisian secara terang-terangan?"

Sekilas kulihat senyum tipis tersungging dibibir James. "Tanyakan saja hal itu pada malaikat kematian."

Hanya selang beberapa detik saja. Kudengar suara tembakan beruntun sekaligus teriakan Tuan Scot yang teramat begitu kesakitan. Lain halnya, dengan James yang malah tertawa setan.

"Hey, gadis kecil. Aku tahu, kau masih bersembunyi di dalam mobil."

Cukup!

Kenapa, keadaanya sama saja?

Padahal, baru saja aku bisa memercai seseorang. Serta merasakan udara segar dunia luar. Tapi, mengapa?

Tuhan, seolah tak mau aku bahagia?

Saat sadar, rupanya aku telah terlambat beberapa menit. James-pria berambut blonde itu sudah lebih dulu mendobrak pintu bagian belakang. Membuat, kaca mobil pecah dan jatuh berserakan dikursi penumpang sebelah kiri.

"Kemari!" titahnya.

Aku semakin beringsut jauh ke sisi kanan.

"Cepat kemari, kubilang! Atau aku akan benar-benar membunuhmu juga hari ini." Sekali lagi, tangan pria itu berusaha menjangkau diriku. Namun, usahanya belum juga berhasil karena terhalang jendela mobil yang sempit.

"Cih, menyebalkan!" decih James, sebelum menendang pintu mobil bagian belakang sampai terbuka sedikit.

Aku yang melihat hal itu, sempat berpikir jika James bukanlah manusia pada umumnya. Meskipun aku tidak begitu mengenal dunia luar dengan baik, tapi rata-rata butuh beberapa kekuatan orang dewasa untuk mendobrak pintu mobil sampai terbuka.

"Akhirnya, kena juga kau!" katanya sembari tersenyum setan.

Jujur saja, melihat wajah James yang seperti itu membuatku merinding. Ekspresinya benar-benar berubah mengerikan, tidak seperti beberapa jam yang lalu saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu, James lebih tenang dan cukup tampan.

Srett...

"Lepas!"

Aku memekik, saat James berhasil menarik lengan kananku. Lantas menariknya dengan paksa sampai mendekat ke arahnya.

Sebisa mungkin, aku berontak. Hanya saja, tenagaku yang terbilang lemah ini tak bisa mengalahkan tenaga James yang sudah dewasa. Otomatis, pria itu bisa dengan mudah menghindar saat aku berusaha menyerang.

"Kau benar-benar, monster kecil yang merepotkan!" katanya.

Setelah itu aku tidak ingat apapun lagi, selain rasa sakit yang terasa dipermukaan lengan sebelah kiri.

***

Lagi-lagi aku tersadar setelah jatuh pingsan. Tentunya, itu bukan karena pukulan dari James, melainkan pria itu menusukkan sesuatu yang berujung runcing dibagian lengan kiriku.

Aku bisa tahu, karena kebetulan melihat James menusukan benda itu sebelum kegelapan benar-benar merenggut kesadaranku beberapa jam yang lalu.

Lantas kini? Aku tidak bisa menebak ada di mana.

Yang pasti, tempat ini begitu gelap dan dipenuhi teriakan memilukan dimasing-masing sisi.

Aku yang masih lemas, menurut saja saat James menggendong tubuhku layaknya karung beras dipundak sebelah kanan. Melihat lantai bangunan itu yang sepertinya lembab. Saking lembabnya, aku bisa melihat beberapa hewan melata yang lewat.

Uh, tempat ini benar-benar kumuh melebihi ruangan dimana Ibu mengurungku dulu.

Krieet ...

Suara pintu besi yang nampaknya sudah tua sekali, seketika mampir diindera pendengaranku. Aku yang telah yakin akan dikurung lagi hanya bisa menghembuskan napas berat tanpa melayangkan perlawanan sekali lagi.

Namun, anehnya. Saat pintu besi itu dibuka, tak kudengar lagi teriakan yang memilukan barusan. Malah, keheningan yang begitu sepi senyap seketika mengusik diriku.

"Duduk!" perintah James ketika pria itu telah menurunkan aku.

Sekali lagi, aku menurut. Membiarkan pria berambut blonde itu mengikat tanganku dengan rantai dikedua sisinya. James juga menambahkan rantai di leher serta pergelangan kakiku.

"Dengar, jangan pernah berusaha atau sekali-kali mencoba untuk keluar dari tempat ini. Ah iya, setiap sejam sekali akan ada beberapa petugas berbaju putih yang memeriksamu. Lalu, saat hari mulai gelap akan ada satu orang berpakaian kuning yang mengantarkan makanan. Terakhir, jika sampai kau membuat ulah, maka petugas berpakaian hitam yang akan mengeksekusimu, apa kau paham?" tukas James, aku mengangguk pelan.

"Bagus, kalau begitu aku pergi."

Lagi-lagi, aku ditinggal seorang diri. Tak hanya itu, mereka juga kembali mengurungku layaknya seorang tahanan. Padahal, aku tidak pernah tahu, apa yang salah dengan diriku.

Ayah, Ibu, mereka berdua juga tak pernah benar-benar merawat baik diriku. Lalu, setelah bertemu Tuan Scot, kukira hidupku akan sedikit mengalami perubahan? Sayangnya, pria tua itu malah mati mengenaskan karenaku.

Apa benar, kehidupanku ini membawa sial? Atau apakah hanya aku saja yang merasa jika hidup di dunia ini begitu menderita?

Tanpa sadar, air mataku kembali luruh. Tetes demi tetes, lantas berubah menjadi isakan dan raungan yang begitu menyesakkan.

Aku sakit, bukan hanya fisik. Tapi, mental dan psikologis. Akankah, suatu saat aku bisa menemukan secercah cahaya kebahagiaan?

Akankah aku bisa tersenyum tanpa harus merasa takut mereka akan memukul dan mengatai diriku? Atau akankah, aku bisa tertawa lepas sembari berlarian riang di antara luasnya ilalang?

Jika saja, kelak aku bisa merasakan semuanya. Biarkan sekali saja, aku menjadi orang yang berguna untuk semuanya.