Bab 40
Kami tiba saat azan Zuhur sedang berkumandang dari masjid satu-satunya di kampungku. Bendera kuning yang terpasang di gapura desa membuatku semakin sedih. Akhirnya mimpi yang kualami malam tadi menjadi kenyataan.
Rumahku ramai oleh keluarga dan kerabat, tapi bukan untuk berpesta. Melainkan untuk turut berdukacita cita karena meninggalnya ayahku.
Mobil Pak Arfan sudah terparkir di halaman tetangga sebelah rumahku. Aku langsung turun dari mobil dan berlari menuju ke rumah. Tak kuhiraukan pandangan para pelayat yang menatapku dengan iba.
Sampai di pintu, aku sudah bisa melihat jasad ayah yang telah terbujur kaku di tengah ruangan.
"Ayah!" seruku sambil berlari ke arahnya.
Aku duduk bersimpuh di samping tubuh ayah yang sudah tak bernyawa. Aku merasa menyesal karena belum bisa memberikan dia kebahagiaan, bahkan, keinginannya untuk menimang cucu dariku pun belum bisa diwujudkan.