Bab 29
"Katakan, Intan. Mengapa kami bertindak begitu bodoh? Bukannya aku sudah memberi tahu kamu kalau Aleysa tak boleh makan es krim selalu banyak?"
Suara Pak Arfan begitu menakutkan bagiku saat itu. Aku tak bisa mengelak saat Pak Arfan bertanya padaku soal es krim itu. Sungguh aku merasa menyesal jadinya.
Kalau saja aku tahu Aleysa akan sakit, tak mungkin aku akan memenuhi permintaannya kemarin. Aku begitu ceroboh membiarkan di memakan es krim begitu banyak.
"Saya minta maaf, Pak. Tadinya saya hanya ingin menyenangkan dia karena saya terlambat menjemputnya.
Aku pun menceritakan semuanya pada Pak Arfan.
"Mungkin kalau dia hanya makan satu atau dua saja masih tidak apa-apa. Kenapa sampai tiga buah, Intan?" tanya Pak Arfan kesal.
"Maaf, Pak. Tadinya juga saya hanya ingin memberikan dia saja. Tapi di Supermarket, dia mengamuk minta dibelikan tiga. Saya terpaksa, Pak. Karena dia tak mau pulang jika tidak dibelikan," jawabku membela diri.
"Halah, kamu jangan mencoba membela diri, Intan. Itu hanya alasan kamu saja agar saya tidak menyalahkan kamu!" sentak Pak Arfan membuatku kaget.
Rasanya baru kemarin aku memuji kebaikannya karena membawa ayahku ke kota untuk berobat serta menanggung semua biayanya. Sekarang Sekarang, seperti nya aku harus meralat pikiranku itu.
Dia ternyata berpikiran sempit dan dangkal. Seenaknya saja dia menuduhku ingin mencelakai putrinya. Apa dia lupa kalau Aleysa juga anakku?
"Jawab Intan, kamu sengaja melakukan hal itu kan?" ulang Pak Arfan lagi.
"Jangan seenaknya bicara, Pak. Untuk apa saya mencelakai Aleysa. Apa bapak lupa kalau dia itu juga anak saya!" tandas ku.
Pak Arfan langsung terdiam begitu mendengar perkataan ku. Pasti dia Tukad akan menyangka kalau aku berani bicara seperti itu.
"Tunggu sebentar, Pak!" kataku lagi.b
Aku berlari ke kamar. Mengambil buku tabungan di mana hajiku selama bekerja di rumah itu aku simpan untuk masa depan aku.
"Saya minta maaf kalau selama ini sudah membaut kecewa, Bapak. Dari pada saya terus dihantui rasa beelaah karena tuduhan Bapak itu, saya memilih berhenti saja! Ini uang dalam tabungan ini, mudah-mudahan cukup untuk mengganti semua biaya yang sudah bapak keluarkan untuk pengobatan ayah saya!" ujarku sambil menyerahkan buku tabungan itu padanya.
"Apa ini, Intan. Saya tidak bermaksud untuk menyalakan kamu. Saya hanya kesal saja karena Aleysa sakit karena kecerobohan kamu. Maafkan saya, Intan. Simpanlah buku tabungan kamu ini. Aku ikhlas menolong keluarga kamu."
Pak Arfan menolak buku tabunganku, kemudian berlalu begitu saja amwnjggalakna kamarnya Aleysa.
"Bu Intan, uhuk-uhuk."
Aleysa memanggilku. Rupanya dia sudah terbangun dari tidurnya.
"Iya, Sayang. Kamu butuh apa?" tanyaku.
"Haus, Bu," jawabnya lemah.
Segera kuambil ikan segelas air yang langsung diminumnya sampai tak bersisa.
"Intan, makan, ya. Ibu sudah masakan bubur ayam kesukaan Intan," kataku.
"Iya, Bu."
Aku pun membantu Aleysa untuk duduk kemudian menyuapinya. Namun, baru dua sendok saja bubur yang ditelannya, Aleysa sudah menolak untuk makan lagi.
"Sudah, Bu. Sudah kenyang," tolaknya.
"Baru juga dua suap, Sayang," bujukku.
Aleysa tetap menolak suapanku. Baiklah, aku pun menyerah. Sebagai gantinya aku membuatkan dia segelas susu setelah dengan rasa kacang ijo kesukaannya. Syukurnya dia mau meminumnya sampai habis.
Drrttt! Drrttt! Drrttt!
Ponselku tiba-tiba berbunyi kencang. Segera kuangkat panggilan dari ibuku.
[Assalamualaikum, Bu"] salamku.
[Waalaikumsalam, Nduk. Kamu gak datang ke sini. Apa kamu sibuk?] tanya Ibu di seberang sana.
Astagfirullah, aku lupa memberitahu ibu kalau aku tidak bisa datang hari ini, karena Aleysa sedang sakit.
"Aduh, Bu. Maafin Intan. Lupa kasih tahu kali Intan gak bisa datang. Anak yang Intan jaga sedang sakit, Bu. Maaf, ya, Bu!] ucapku merasa bersalah.
Syukurlah ibu memahami dan berkata kalau aku tidak usah risau dengan keadaan ayahku. Beliau berangsur-angsur pulih. Semoga saja Salaam waktu dekat ayahku sudah bisa pulang ke rumah. Kasihan ibu harus terus menginap di ruang sakit untuk menjaga ayah.
"Siapa yang sakit, Bu?" tanya Aleysa.
Rupanya dia mendengarkan percakapanku dengan ibu di telepon tadi.
"Ayah Ibu, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Makanya kemarin ibu terlambat menjemput kamu," terangku.
"Oh, jadi ayahnya Bu Intan sedang ada di ruang sakit. Kita jenguk, yuk!" ajak Aleysa.
"Kamu kan sedang sakit, Intan. Mana boleh berkeliaran seperti itu. Papa bisa marah nanti," tolakku.
"Aleysa minta maaf, ya, Bu. Gara-gara Aleysa bandel gak dengarkan cakap ibu, Papa jadi marah sama Ibu!"
"Eh, kok, kamu tahu?" tanyaku dengan kaget.
"Aleysa udah bangunan sejak tadi, Bu. Jadi Aleysa dengan semua pembicaraan dan Papa tadi.
Apa? Dia mendengar semuanya? Jangan-jangan ....
"Aleysa juga dengar perkataan ibu kalau sebenarnya Aleysa ini anak ibu. Apa itu benar, Bu?"
Deg! Benar, kan? Aleysa mendengar hal itu juga. Bagaimana ini? Apa yang akan aku katakan padanya? Aku harus berpikir keras agar bisa mengarang cerita untuk agar Aleysa percaya padaku.
"Oh, yang itu. Sebenarnya ibu memang sudah menganggap Aleysa sebagai anak ibu. Jadi ibu juga bakalan sedih kalau sampai Aleysa sakit, paham kan maksud ibu?" Aku merasa lega bisa memberi dia jawaban yang masuk akal. Semoga saja dia percaya dan tidak banyak pertanyaan lagi.
"Jadi, Aleysa bukan anak ibu. Aleysa pikir itu benar," ujarnya kecewa.
Maafkan ibu, Aleysa! Suatu saat kamu akan paham dengan semua yang terjadi. Biarlah sekarang kamu tetap pada posisi seperti sekarang dan menganggap kalau Bu Mia lah Mama kamu yang sebenarnya.
***
Dua hari kemudian Aleysa sudah sembuh. Tubuhnya sudah tidak demam lagi. Namun, manjanya masih belum hilang. Ke mana-mana materi bersama ku. Bahkan dia selalu minta digendong. Aku sampai kecapekan karena menggendongnya terus.
Pagi itu, aku sudah izin untuk menjenguk orang tuaku di rumah sakit. Sementara itu, Laeysa akan bersekolah seperti biasa.
Pukul setengah tujuh, aku sudah selesai memasak untuk kubawa ke rumah sakit. Semur ayam dan catur capcay, ibu pasti suka sekali.
"Ibu mau ke mana? Kok udah rapi?" tanya Aleysa.
Pagi itu aku memang sudah bersiap karena akan ikut dengan mobil Pak Arfan bersama dengan Aleysa yang akan pergi ke sekolah. Biasanya aku bersiap saat Alys asudah berangkat sekolah, jadi dia tak pernah melihat aku bersiap ke rumah sakit.
"Ibu mau ke rumah sakit menjenguk ayahnya ibu. Nanti diantar sama papa," jawabku.
Pak Arfan yang baru keluar dari rumah sakit langsung ditanyain smaa Aleysa
"Beneran, Pa. Bu Intan mau ke rumah sakit?" tanyanya.
Pak Arfan mengangguk lalu mulai menikmati sarapannya dengan menu yang sama dengan menu yang akan kubawa ke rumah sakit.
"Aleysa ikut, ya Bu?"
Bersambung.