Malam Sabtu, matanya menyorot tajam ke arahku. Mengeluarkan suara yang mencekam, tetapi tidak meneriakiku. Di saat bersamaan, dua mataku berkedip genit. Tiba-tiba saja aku melupakan identitasku selama ini.
Hingga dua tanganku mendorong paksa tubuh Jose naik ke atas lantai dua.
"Kenapa sih lo dorong-dorong gini?" keluhnya mencoba mempertahankan posisi tubuhnya agar di hadapanku.
Tanpa sadar, aku terus mendorong dan tidak memedulikan kakinya harus melangkah satu per satu anak tangga ke selanjutnya.
Tapi dia masih saja menerawang yang ada di balik tubuhku. Aku pun berusaha berteriak keras.
"Hah!! Ada yang pengen gue tunjukin ke e lo sekarang juga. Jadi ikut aku cepet yuk!" paksaku memakas senyum. Lebih lebar dari sebelumnya, berpura-pura terjadi sesuatu yang ada di lantai kedua.
Antara kebingungan dan pemaksaan, Jose akhirnya penurut. Sembari membalikkan tubuhnya dan akhirnya fokus ke depan.
Mulailah kami menginjakkan kaki di lantai yang terakhir. Dimana ruangan kosong di sini sangat bergema. Tidak sebelumnya aku bersama adik sepupu laki-laki. Tadinya kami sempat berpesta kecil.
Sayangnya, Jose hadir di waktu yang kurang tepat. Ini pertama kalinya lebih liar dari sebelumnya, kepalaku malah berputar sambil meninggikan sebelah tangan. Mengelilingi segala arah, lalu melangkah beberapa langkah ke depan.
Jose terheran-heran, menatapku aneh dan curiga.
Dia masih memegangi dasi yang ingin dilepas olehnya. Tapi aku tidak menghiraukan dirinya sama sekali tidak.
Dia menarik lenganku, hingga tubuhku sontak berhenti di saat itu juga.
"Apa?"
Dia menarikku kasar.
Tubuhku terdorong mengikuti arahan yang dia tarik. Wajahku terlempar hingga ke depan tatapannya. Masuk perangkap dimana bidang dagunya sedikit mengingatku pada kejadian sebelumnya.
Yang pernah terjadi ketika minggu kemarin saat pertama bersama.
"Apa yang pengen lo tunjukin ke gue? Jangan buang-buang waktu," ketusnya bernada sangat datar. Sekilas sorotan memaksa keras mendesakku untuk berkata.
Dua mataku masih saja bergeming, berupaya tenang agar dia tidak merasa terbebani. Hari ini, aku benar-benar sudah lebih liar dan berani menatapnya.
Dua tanganku menarik cepat dasinya mendekati diriku. Kami mendekati dan saling menatap begitu dekat.
Mataku bermain api, berputar-putar mengelilingi penglihatan yang dia alihkan. Tapi jeratan tanganku terlalu mengurungnya hingga tak pernah lepas.
Jose yang sempat memegangi lenganku akhirnya berpindah pada bagian belakang punggungku. Aku ditarik kembali, hampir saja pipi kami tersentuh.
Dia menatapku. "Ooh … lo pengen ya?" bisiknya ketika kepalanya berpindah ke samping telingaku.
Suaranya terdengar merdu dan menggoda. Tapi aku malah melesatkan pandangan hingga menutupi mata.
Dua tanganku mendorong tubuhnya lagi, tak ingin berlanjut untuk lebih berkata mesra padanya. Kepalaku menunduk, mengelus lengan sambil menggosok-gosok.
Aku menggeleng. "Nggak!" tegasku.
Aku mundur, tapi Jose menarik lengan kembali dua lenganku. Kemudian dia meraih daguku untuk diperhatikan jelas olehnya.
Jose menyorot pandangan ke arahku begitu menyayatnya. Dia menikam asmara tanpa kata, berbahasa tubuh dengan kedipan mata genit.
Dua tangannya memeluk tubuhku, lalu mendorong untuk melangkah ke dekat pintu.
"Tunggu!" cegahku dengan menaruh salah satu kaki ke belakang.
Jose ikut berhenti. Kami bersitegang.
"Kenapa? Kan emang mau kan?" Dia mengulangnya lagi.
Oh, aku muak! Terasa sempit jarak kami untuk segera berpisah. Rasanya dadaku semakin sesak ketika harus berhadapan dengan suami mata keranjang dan hidung belang.
Sudah aku dengar kabar tentangnya dari adik sepupuku, kalau suami ku ini adalah.
Ya, kurasa tidak usah disebut lagi sebagai apa? Dia sudah jelas karena permainannya. Ketika pertama kali dia berani menyentuh alat vital dan paling sensitif di muka bumi ini.
Dia sangat berani menyentuhnya. Tidak salah lagi, dia sudah sering melakukannya.
Mataku mengernyit, alisku sedikit naik turun. "Lo, emang sering ngelakuinnya kan?" Berhenti dan melanjutkan lagi. "Saat lo ngelakuin ke gue lo nggak gemetar sama sekali. Apa lagi, lo udah mahir dengan caranya sendiri. Walau lo udah nikah, tapi agak berbeda kalo lo—"
Nadaku terputus.
Jose menatapku datar, kurasa dia mengerti apa yang aku katakan. Ya, memang benar kan? Tapi kenapa? Dia malah mendekati bibirnya mengarah bibirku. Kepalaku mundur hendak menolak ciumannya.
Wajahku miring, tidak memberi harapan kepadanya. Dua tanganku mendorong, bahkan dia juga tidak memaksa.
Aku berpaling, melangkah lebih jauh tanpa memperhatikan keningnya yang sedang berkerut-kerut. "Hentikan! Gue nggak suka." Nadaku cukup memberi penjelasan. Ini berarti, aku dan dia harus segera diberi jarak.
Entah itu dengan dinding pemisah atau sekadar ruang lebih luas. Supaya napasku lega dan menarik udara lebih banyak.
"Gue pengen kita tidur terpisah, mulai hari ini gue agak kurang sehat." Aku menunduk, memegangi dua lenganku.
Secara pelan aku melangkah mendekati pintu yang sudah di depan mata. Tapi Jose malah termangu diam menatap kepergianku.
Dia mematung bodoh atau memang sedang membiarkanku melakukan demikian.
"Lo udah tahu?"
Aku mendengar suara Jose, dia pasti menurunkan kepalanya sambil menggeleng-geleng. Karena penasaran, aku sedikit memiringkan pandangan kepadaku ke belakang. Benar, dia melakukannya begitu, seperti kataku. Berarti, aku mahir dalam berakting dan menulis karakter seseorang.
Sedang apa yang dia lakukan saat ini.
"Gue capek," singkatku memajukan langkah.
"Heuh!" Dengusannya lebih terdengar datar. Napasnya yang keluar dari hidung seakan terpaksa mendesak.
Tapi aku sudah di depan pintu, segera memegang gagang pintu untuk meninggalkan Jose seorang diri.
"Dalam perjanjian itu, seorang istri tidak boleh melayani suaminya ketika sedang sakit." Aku memastikan memorinya agar dia tidak melupakan isi dari perjanjian yang disebutkan.
Luar biasa dan selamat! Aku berhasil masuk tanpa harus dicegah lagi oleh suamiku ini.
Jose masih berdiri dan membisu di tengah ruangan. Suara telapak sepatunya seakan tidak terdengar lagi. Mungkin dia sengaja melepaskannya atau malah termenung memikirkan ucapanku tadi.
Pintu yang sudah kututup, sedangkan tubuhku menyender pasrah dan lega. Tanganku mengusap wajah dan menekan dada seakan lebih terasa luang.
Mataku mencelang, lalu menghampiri ponsel lamaku yang ada di atas meja. Ruang sempit ini lebih kusenangi dibanding bersama si suami sementara.
Jemari lentikku mengusap layar putih bersinar terang. Mencari nama yang kukenal dekat, dialah si adik sepupu. Dengan sebutan 'anak kelinci'. Aku senang memanggilnya dengan sebutan anak kelinci.
Karena dia memang mirip kelinci yang suka melompat ketika kecil. Itu sebutannya di waktu masih menjadi bocah ingusan.
To: anak kelinci.
[Ko, maaf ya. Kakak nggak bisa nemenin lo pulang. Suatu hari nanti, bakal kakak kenalin lo ke dia.]
Terkirim.
Aku mengangkat dagu tinggi. "Huuft!"
Tak lama mengirim pesan. Suara getar ponsel berdering sekali.
Drrt!
@anak kelinci.
[Awas aja kalo kakak sampe ternoda sama dia! Kakak masih punya harapan masa depan.]
Aku tertawa geli. "Hah, dasar nih anak!"