Kami mengitari perkotaan menuju tempat yang ingin dia kunjungi. Aku tidak bisa menolak atau pun cerewet dengan tujuannya. Karena aku hanya istri sementara, jadi aku harus menuruti sepenuhnya. Dengan begitu, aku damai dan aman. Memang meresahkan bagiku.
Mobil sport ini berhenti di sebuah parkiran tengah pemukiman perumahan. Aku terheran-heran ketika Jose memarkirkan sebuah mobil di sana. Memang sebuah parkir, tetapi ini bukanlah tempat wisata, melainkan sebuah perumahan elite.
Dia menengok ke arahku, sambil mendongak dagu sekali. "Udah, turun dulu!" ketusnya memerintah.
Pintu mobil terbuka secara otomatis, lalu kakiku berpijak pada lantai ruangan parkir yang luas. Aku menunggu kehadiran Jose untuk menunjukkan arah tujuannya. Sepertinya aku sangat mengenal daerah ini.
'Ini udah nggak jauh dari monas.'
Kepalaku memutar untuk memperhatikan ke segala arah. Jose kemudian menarik tanganku dengan paksa. Sekali lagi, dia harus menarikku dengan kasar menuju entah ke mana? Rasa kesalku malah meronta-ronta.
Tanganku mengibas genggaman tangannya agar melepas. "Lepasin ah! Gue bisa jalan sendiri. Lagian kenapa sih pake dipegang begitu? Sakit tau!" keluhku memutar pergelangan tangan yang sudah mengerang karena ulahnya.
Jose menatap wajahku, lalu melanjutkan perjalanan hingga tidak menyahut keluhanku. Aku harus mengikuti langkah kakinya mengitari perumahan elite ini.
Akhirnya aku mengejar posisi agar sejajar dengannya. "Sebenernya kita mau ke mana sih?" tanyaku terheran.
"Mau ambil motor gue," sahutnya.
"Hah, motor?" Mulutku miring, aneh karena tiba-tiba berubah menggunakan motor.
Jose membelokkan arah perjalanan menuju satu rumah yang ada di tengah. Rumah minimalis ini terlihat sangat sunyi. Tapi ada banyak penduduk yang tinggal di sini. Jose memasuki halaman depan, lalu membuka kunci garasi tersebut.
Tak kusangka, sebuah motor memang ada di sana. Sebuah motor Sport Fairing 250 cc, berwarna hitam gelap terparkir elok di dalam sana. Jose meraih helm lalu dipakai dan membunyikan motor tersebut.
Brem!
Gas kalem, lembut, dan terdengar garang mulai mendekati diriku. Jose berhenti tepat di mukaku, lalu menjulurkan helm keren hitam pekat kepadaku. "Pake!" Lalu dia turun, kembali dan menutup rapat garasi itu lagi.
Aku yang termangu diam, akhirnya mengikuti arahannya. Setelah memakai helm yang dia berikan padaku, aku langsung bertanya ketika dia mulai duduk di atas motornya. "Ini rumah siapa?" tanyaku penasaran.
"Ini perumahan gue semua," ungkapnya.
Sementara kakiku spontan naik ke punggung belakang motor, memiliki body yang tinggi, berpenampilan keren.
Duduk di belakang punggungnya terasa seperti anak muda saja.
'Nih orang kenapa sih pake motor? Ada mobil malah pake motor.'
Gerutuku dalam hati, dan harus memegangi sisi pinggangnya. Jose merasakan dekapan tanganku berada di sisi depan, lalu dengan gesit, motor sport ini meraung garang ke jalanan. Kami melewati satpam yang mengacungkan jemari kepada dirinya.
Anehnya, satpam itu bahkan merunduk dan menyapa dengan hormat. Pantas saja, pria dingin ini adalah pemilik perumahan.
Kami melewati taman kota, yang kemudian mengitari beberapa pemukiman sempit. Sejauh perjalanan dia berputar dan mulai memelankan sepeda motor di depan pintu masuk ke area monas.
Menara paling terdominan merupakan kebanggaan di kota Jakarta. Aku turun, lalu mencabut helm miliknya, rambutku aman karena terlindungi. Jose menaruh helm di atas badan motor depan, lalu meraih helm yang kuberikan padanya.
"Kita ke monas kok naik motor? Kan bisa pake mobil tadi," keluhku curiga.
Jose tersenyum sinis, lalu melewati diriku tanpa nada seirama menyegarkan. Aku hanya bisa melihat posisinya berada telah berlalu begitu saja. Rupa pria dingin tidak pernah berubah, dia tetap menatapku dengan datar sekaligus senyuman sinis.
Dia mengitari halaman monas, sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tak lama kemudian, beberapa pria menyambut dirinya di tengah sambil bercakapan. Aku yang masih berada agak jauh menjadi canggung.
Dia bersama para pria kaya, sedangkan aku hanyalah istri simpanan. Kepalaku menunduk, mengurungkan niat untuk melanjutkan langkah.
Tapi Jose malah menoleh ke arahku sambil melambai agar cepat berangkat. Aku melihat dirinya memanggil diriku, lalu dengan semangat aku maju. Kenapa aku jadi sebahagia ini setelah dia melambai padaku?
Anehnya, aku mulai melangkah satu kaki ke depan. Tiba-tiba seorang pria menabrakku dengan kasarnya. Tubuhku terayun spontan dan geloyor ke belakang, tetapi pria ini menangkap tubuhku agar tidak terjengkang ke tanah lapang.
"Hah!" sergahku menatap pria tersebut.
Pria itu menatapku, lalu menegakkan kembali tubuhku. Mataku melihat sosok pria ini sangat mirip dengan pria yang pernah aku temui. "Hah!" Mulutku menganga lebar, spontan menangkupnya dengan kedua telapak tangan.
Pria ini, yang pernah aku tumpahi dengan kopi busuk di hotel—tempatku bekerja kemarin.
"Hai, kita ketemu lagi. Kayaknya kita emang jodoh, ya?" sapanya melambai, lalu menjauh dariku hingga melepasnya.
Kemudian dua pria menyusul dirinya, mulai menghampiriku lebih dekat. Kepalanya menunduk, hingga menatapku dengan jelas. "Wow, ternyata kamu lebih cantik ketika di luar! Apa lagi sekarang kamu udah jadi istri orang kaya, lebih terlihat cantik. Kamu cocok untuk jadi model atau pemain film."
Aku termangu diam. Tapi pria di depanku ini malah menyeringai tertawa geli. "Oh, yah! Nggak usah formal deh, kita pake bahasa di sini aja biar keliatan akrab gitu. Masih kenal kan ma gue kemarin? Baron Chris, nama beken gue yang suka jahilin cewek cantik kayak lu."
Tanpa kuduga, Jose merampas tanganku hingga menarikku ke belakang punggungnya. Jose kini sejajar dengan pria tersebut. Tubuh Jose lebih mewakili dari ketiga pria tersebut.
"Wow, Man! Keren banget! Kayaknya acara pemancingan hari ini bener-bener dipertemukan dengan kawan baru, hahaha." Ledekan pria itu—Baron Chris mengendurkan tubuhnya miring setengah badan.
Jose masih tetap memegang tanganku dengan erat, yang akhirnya membuatku terpesona seketika. Padahal aku tidak menyukai situasi ini. Kepalaku jadi menunduk malu, menyelinap di balik punggungnya yang tinggi tegap.
Pria di hadapanku memiliki rupa mirip dengan khas kebaratan. Matanya yang lancip sungguh memelotot visus mengarah Baron.
"Jangan ganggu dia lagi. Di sini nggak ada hubungannya sama lo ketemu ma dia di acara waktu itu." Jose melemparinya dengan kata-kata datar. Lalu dia memutar tubuhnya, hingga menarik paksa diriku menjauh dari mereka.
"Jose, gue udah ketemu sama istri lo. Mungkin, dia agak penasaran sama perjalanan bisnis e lo!" Baron berteriak lantang, tidak peduli akan terdengar oleh orang banyak.
Jose seketika berhenti, lalu memiringkan tubuhnya hingga melesat pandangan ke arah Baron. Dia terdiam dan tidak mempedulikan ucapan Baron kepadanya. Pria dingin ini sudah tidak takut lagi akan berita atau kejahilan orang lain.
Aku sempat melihat rupa Baron yang tersenyum-senyum nakal. Lalu aku melesat pandanganku cepat, mengabaikan raut Baron—pria kaya yang masih belum aku ketahui kejelasannya.
Jose memasuki area pemancingan yang memang tidak jauh dari sana. Dia menatapku dengan matanya yang sinis.
"Ngapain lo ngajak bicara tuh orang?! Jangan sok kalem!!" hardik Jose kepadaku.
Sontak mataku menjelengar ketika suaranya begitu lantang.
"Kalo sekali lagi lo ngomong ma dia, tamat riwayat lo ma keluarga lo!" ancamnya.